Membaca Peta Pemilihan Gubernur Lampung, Siapa Berpeluang Unggul?
Di tengah pergeseran tren elektoral dan potensi peran korporasi, siapa yang berpeluang unggul di Pilkada Lampung?

Lampung menjadi salah satu provinsi strategis di Indonesia. Dalam hal populasi, Lampung merupakan provinsi di luar Pulau Jawa dengan jumlah penduduk paling besar kedua setelah Sumatera Utara, yakni di atas 9 juta jiwa. Selain itu, dengan produk domestik regional bruto atau PDRB sebesar Rp 400 triliun lebih, provinsi ini juga memiliki besaran ekonomi yang relatif besar.
Sejauh ini telah muncul beberapa nama yang memiliki potensi untuk bertarung dalam Pilkada Gubernur Lampung. Beberapa nama yang telah muncul ini ialah Rahmat Mirzani Djausal dari Partai Gerindra, Hanan A Rozak dari Partai Golkar, Arinal Djunaidi dari Partai Golkar, Umar Ahmad dari PDI-P, dan Herman Hasanusi dari Partai Nasdem.
Di luar nama-nama ini, ada juga tokoh nonpartai yang mungkin ikut menyemarakkan kontestasi. Salah satunya adalah Jihan Nurlela, petahana DPD dari Lampung yang juga merupakan adik dari Chusnunia Chalim, mantan Wakil Gubernur sekaligus Ketua DPW PKB Lampung.
Selain pertimbangan kedekatan dengan elite politik, posisi tawar Jihan juga kuat mengingat suaranya di Pileg 2024 yang tembus 900.000 suara.
Baca juga: Politik Lampung Dikekang Kultur Patronase dan Modal Korporasi
Pergeseran penguasaan wilayah
Menakar potensi elektoral tiap sosok ini salah satunya bisa dilakukan dengan melihat peta politik yang kini terbentuk. Sebab, hasil pilpres dan pileg di level nasional hingga kabupaten dan kota yang diselenggarakan Februari lalu menunjukkan adanya pergeseran pada peta penguasaan politik di provinsi ini.
Secara historis, Lampung merupakan basis suara dari PDI-P. Hal ini tecermin dari penguasaan PDI-P di provinsi ini sejak Pemilu 1999. Saat itu, partai ini bisa meraup hampir 40 persen suara. Dominasi PDI-P di wilayah ini pun bertahan dari Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019 meskipun suaranya relatif menurun.
Pada Pemilu 2019, suara PDI-P di provinsi ini berada di kisaran 21 persen. Besarnya kekuatan partai ini juga terkonfirmasi dari dominannya suara Joko Widodo pada Pemilu 2014 dan 2019 di Lampung, yakni 53 persen dan 59 persen.
Kuatnya posisi PDI-P ini juga terlihat dari hasil kontestasi lokal. Hasil pemilihan kepala daerah periode sebelumnya menunjukkan 6 dari 15 kabupaten dan kota di Lampung dimenangkan oleh partai tersebut. Jumlah penguasaan kursi eksekutif daerah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan partai lain, seperti Nasdem (3 daerah), Demokrat (2 daerah), PKB (2 daerah) dan Golkar (1 daerah).

Selain menang dari segi jumlah, PDI-P dulu juga berhasil menguasai wilayah-wilayah kantong suara. Dari empat kabupaten kota dengan populasi terbesar, yakni Lampung Tengah (16,2 persen), Kota Bandar Lampung (12,9 persen), Lampung Timur (12,3 persen) dan Lampung Selatan (11,8 persen), dua di antaranya diduduki oleh kader partai tersebut. Kedua daerah ini adalah Lampung Tengah dan Kota Bandar Lampung.
Namun, peta penguasaan wilayah ini terlihat berubah pada Pemilu 2024. Hasil pemilihan presiden menunjukkan perolehan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung PDI-P hanya mendapat tak sampai 15 persen suara. Meski, perolehan legislatif di tingkat nasional masih relatif terjaga, ditandai dengan lolosnya tiga caleg dari partai ini ke Senayan.
Gelagat dekadensi PDI-P ini ditunjukkan dari hasil pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten serta kota. Pada Pemilu 2024, PDI-P ”hanya” mampu mengamankan 13 kursi dari 85 kursi atau setara dengan 15 persen dari kursi yang diperebutkan. Perolehan ini jauh lebih kecil dari Pemilu 2019, di mana partai tersebut bisa mendudukkan 19 calonnya di kursi DPRD, setara dengan 22 persen dari total kursi tersedia.
Selaras pada tataran kabupaten kota, PDI-P tampak hanya mampu menjaga dominasi di Lampung Barat, Tanggamus, dan Kota Metro. Adapun di wilayah kunci, seperti Bandar Lampung dan Lampung Selatan, justru bisa direbut oleh Gerindra. Bahkan, di Bandar Lampung, suara PDI-P masih kalah dari partai lain yang sebelumnya lebih inferior, seperti PKS dan Nasdem.
Baca juga: Dominasi Partai Politik Nasionalis di Provinsi Lampung
Potensi para kandidat
Merosotnya performa elektoral di pemilu lalu bisa menjadi petunjuk penting dalam membaca peta politik di pilkada mendatang. Salah satu preseden yang muncul dalam kontestasi ini ialah bahwa besar kemungkinan, basis massa dari PDI-P yang gagal dirawat berhasil direbut oleh mesin-mesin politik Gerindra dan Prabowo. Kesimpulan ini terkonfirmasi dengan melejitnya suara pasangan calon nomor 2 di Lampung dengan kemenangan di atas 70 persen suara.
Ditambah lagi, Gerindra mampu menambah suara di pemilu legislatif daerah secara signifikan. Hasil rekapitulasi menunjukkan Gerindra berhasil mengamankan 16 kursi dari 85 kursi atau dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hasil di 2019.
Di tingkatan kabupaten kota, Gerindra juga berhasil mendongkrak perolehan di beberapa daerah penting seperti Bandar Lampung (20 persen), Lampung Selatan (18 persen), Lampung Tengah (16 persen), dan Lampung Timur (16 persen).
Tentunya, hasil ini membuat calon dari Partai Gerindra, Rahmat Mirzani Djausal, menjadi yang paling diuntungkan. Hasil dari pemilu legislatif daerah menunjukkan setidaknya partai ini bisa mengamankan dua kantong suara, yakni Bandar Lampung dan Lampung Selatan, yang mewakili sekitar seperempat dari populasi pemilih.
Menguatnya suara di Lampung Utara, Pesawaran, dan Tulang Bawang bisa menambah modal penguasaan hingga di atas 40 persen dari total konstituen.
Bagi Mirza, opsi untuk membangun koalisi pun relatif lebih terbuka. Skenario pertama yang mungkin muncul ialah pasangan antara Gerindra dengan PKB. Dalam skenario ini, PKB bisa membantu Gerindra untuk mengamankan basis muslim tradisional di Lampung Timur dan Lampung Tengah.

Tak hanya itu, apabila PKB memasukkan Jihan Nurlela ke dalam kontestasi, tak menutup kemungkinan suara yang diperoleh pada pemilihan DPD lalu ikut teralirkan ke dalam kontestasi pilkada mendatang.
Selain skenario di atas, tak menutup kemungkinan juga jika nanti Gerindra berpasangan dengan PDI-P. Skenario ini pun menguat usai Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyampaikan proses komunikasi partainya dengan Gerindra terkait Pilkada Lampung di akhir Juni lalu. Apabila skenario ini yang muncul, PDI-P akan memberikan insentif suara di basis-basis agrikultural seperti Lampung Barat, Tanggamus, dan Tulang Bawang Barat.
Kendati begitu, potensi dari Golkar pada pilkada kali ini juga tidak kalah besar. Di atas kertas, dengan mengambil 13 persen porsi kursi DPRD provinsi, posisi tawar partai ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Terlepas dari faktor munculnya dua nama yang mungkin diusung Golkar di pemilihan mendatang.
Tak hanya itu, partai ini juga menjadi pemenang di Lampung Tengah yang menjadi daerah dengan persentase pemilih terbesar. Lebih lanjut, meski bukan menjadi pemenang, Golkar juga mampu menjaga suaranya di beberapa daerah seperti Lampung Timur dan Kota Metro.
Maka, koalisi antara Golkar dan PKB juga bisa menjadi opsi yang masuk akal untuk diambil. Sama dengan pada skenario koalisi Gerindra-PKB, PKB bisa jadi pilihan untuk melengkapi Golkar yang kuat di basis massa nasionalis. Meskipun, irisan penguasaan wilayah antara kedua partai ini cukup banyak, yakni di Pringsewu, Lampung Timur, dan Mesuji.
Di luar Gerindra dan Golkar, partai lain yang mungkin juga masuk ke dalam gelanggang pertarungan ialah Nasdem. Di satu sisi, perolehan partai ini di pemilihan legislatif provinsi tidak sebaik Gerindra, Golkar, PDI-P, dan PKB. Namun, di sisi lain, Nasdem jadi partai kedua dengan penguasaan kursi eksekutif terbesar kedua setelah PDI-P di pilkada sebelumnya.
Baca juga: Golkar Usung Arinal Djunaidi Maju Lagi dalam Pilkada Lampung
Politik transaksional
Menariknya, berdasarkan kejadian di Pilkada 2013 dan 2018, situasi terutama menjelang pilkada nanti bisa saja berubah secara drastis. Di luar peta penguasaan wilayah, faktor dukungan korporasi nyatanya menjadi salah satu yang memiliki pengaruh signifikan.
Ketua DPD Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Lampung Penta Peturun menekankan, campur tangan korporasi sulit untuk dihindarkan mengingat besarnya kebutuhan mereka untuk mengamankan kepentingan bisnisnya melalui perizinan lahan dan praktik bisnis seperti land clearing.
Besarnya kontribusi dari aktor privat ini pun disayangkan karena dapat mereduksi nilai demokrasi dan membentuk konstituen dengan budaya politik transaksional di Lampung.
Walakin, berbeda dengan pilkada sebelumnya, pergerakan dari modal korporasi ini tampak lebih subtil. Pada kontestasi sebelumnya, tampak sosok petinggi dari korporasi besar di Lampung secara terang-terangan berkampanye untuk calon gubernur yang bertarung. Maka, besar kemungkinan bahwa pihak korporasi akan ”bermain” dengan lebih senyap dalam Pilkada Lampung mendatang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menebak Arah Koalisi Partai Politik dalam Pilkada Lampung