Perjanjian Petrodolar Bagi Lanskap Energi Dunia
Petrodolar merupakan denominasi dolar AS dalam perdagangan minyak bumi antara Saudi Arabia dan Amerika Serikat.
Dalam beberapa waktu terakhir, istilah petrodolar cukup populer dalam isu perdagangan komoditas energi dunia. Hal ini dipicu dengan adanya rumor berakhirnya perjanjian antara Amerika Serikat dengan Arab Saudi terkait perdagangan komoditas minyak bumi dalam denominasi dolar AS atau dikenal dengan petrodolar. Perjanjian selama 50 tahun itu dikabarkan berakhir pada Juni 2024 lalu.
Dalam sejumlah pemberitaan media massa baik di dalam ataupun di luar negeri, dengan berakhirnya perjanjian petrodolar itu maka Arab Saudi beserta negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC dapat menjual minyaknya dalam berbagai satuan mata uang. Tidak harus terikat dengan dollar AS seperti selama ini.
Hal tersebut diperkirakan akan melemahkan denominasi dolar AS secara global. Daya beli dunia terhadap mata uang dollar AS semakin menurun sehingga nilanya menjadi relatif tidak stabil dan tidak kuat seperti sebelumnya.
Dapat dibayangkan, seandainya transaksi perdagangan komoditas minyak bumi dunia tak lagi mengharuskan menggunakan dolar AS, maka permintaan terhadap valuta asing ini akan menurun tajam. Menurut data Chatam House, pada tahun 2022, total seluruh perdangangan ekspor-impor dunia mencapai kisaran 8,8 triliun dolar AS. Dari seluruh perniagaan dunia itu, sekitar 47 persennya atau senilai 4,1 triliun dolar AS merupakan perdagangan yang berasal dari komoditas minyak bumi dan gas (migas). Jadi, betapa besarnya valuasi nilai dari tata niaga komoditas fosil dunia ini.
Bila dikerucutkan pada negara-negara eksportir minyak (OPEC) saja, maka jumlah nilai ekspor migasnya mencapai kisaran 1,3 triliun dolar AS. Jadi, bila negara-negara eksportir ini bersepakat untuk menggunakan satuan penjualan migasnya dengan denominasi selain dolar AS, maka mata uang “Negeri Paman Sam” berpotensi besar mengalami gejolak dan melemah nilainya di pasaran dunia.
Di sisi lainnya, rumor berakhirnya perjanjian petrodolar itu kian memperkuat posisi negara-negara eksportir minyak yang dipimpin oleh Saudi Arabia. Kelompok negara kaya minyak ini memiliki kekuatan geopolitik untuk mengatur hubungan diplomatik yang mengutungkan bagi negara-negara OPEC. Bahkan, bisa menunjuk atau menetukan mata uang tertentu dalam tata niaga komoditas rantai karbon andalannya itu.
Namun, langkah tersebut rentan menimbulkan gejolak harga dan inflasi dunia, terutama bila Arab Saudi dan OPEC memilih menggunakan satuan mata uang yang berbeda-beda dalam menetapkan harga minyak bumi. Negara-negara importir minyak yang sangat tergantung dari suplai dunia akan sangat rentan menghadapi volatilitas harga energi sehingga berpotensi mengalami gangguan dalam perencanaan keuangan pemerintah di masing-masing negaranya.
Baca juga: Saudi di Antara AS dan Rusia
Menguatnya isu petrodolar itu kemudian dikaitkan dengan tren kenaikan harga minyak bumi dunia yang mulai merangkak naik sejak bulan lalu. Jelang pertengahan Juni 2024, berdasarkan data oilprice.com, menunjukkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik mendekati 80 dolar AS per barel. Harganya terus merangkak naik di hari-hari berikutnya dan pada awal bulan ini sudah bertengger di kisaran 83 dollar AS per barel. Sepanjang tahun 2024 ini, harga minyak jenis WTI tertinggi mencapai 86,91 dolar AS/barel yang terjadi pada awal April lalu.
Umumnya, kenaikan harga minyak bumi secara wajar itu disebabkan oleh suplai yang kurang terpenuhi dalam target yang ditentukan. Dalam sehari, kebutuhan komoditas minyak bumi dunia mencapai kisaran 100 juta barel. Produk ini berasal dari suplai negara eksportir minyak (OPEC) dan negara-negara non-OPEC. Apabila ada suplai yang berkurang dari kedua kelompok supplier itu maka tren harga minyak dunia akan cenderung meningkat. Bila suplai tercukupi maka tren harga kembali menurun dan kembali normal di titik kesseimbangannya.
Perjajian petrodolar
Meskipun rumor tentang petrodolar itu menguat, tetapi nyatanya banyak pihak yang meragukan kebenarannya. Salah satunya adalah Javier Blas, kolumnis opini Bloomberg yang fokus di bidang energi dan komoditas. Javier menyatakan bahwa harga komoditas minyak akan tetap dihargai ketika dinilai dengan greenback atau sebutan untuk dolar AS. Nyatanya, Arab Saudi hingga kini, masih menjual komoditas minyaknya dengan satuan dolar AS.
Javier menyoroti pula tentang peristiwa yang dinilai sebagai penanda perjanjian petrodolar antara Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS). Ia menyebutkan sejumlah postingan di media sosial tentang peringatan 50 tahun pertemuan antara pejabat AS dan Saudi di Washington pada 8 Juni 1974, yang mengarah pada pembentukan Komisi Gabungan Ekonomi AS-Saudi Arabia. Saat itu, impor komoditas minyak bumi AS merupakan salah satu yang terbesar di dunia sehingga kerja sama itu merupakan kolaborasi yang sama-sama menguntungkan. Kerja sama ini dirumorkan sebagai asal muasal petrodolar; hari di mana ketika Washington dan Riyadh membuat kesepakatan rahasia untuk menghubungkan komoditas minyak dan greenback selamanya
Namun, hal tersebut dapat dipatahkan oleh sejumlah fakta. Menurut Javier, Arab Saudi sempat menjual minyaknya dalam mata uang lain, termasuk pound sterling, hingga akhir tahun 1974. Setelah itu, Arab Saudi memutuskan menggunakan dolar AS secara eksklusif dalam perdagangan mata rantai karbonnya. Namun, Arab Saudi terkadang menerima pembayaran selain dolar AS untuk komoditas minyak buminyaa, termasuk berupa pesawat tempur Inggris melalui perjanjian barter minyak-senjata yang kontroversial di Al-Yamamah pada tahun 1980-an dan 1990-an. Hal ini dapat terjadi karena pihak London sebagai penjualnya sehingga harga pesawat ditetapkan dalam pound sterling.
Lantas, apakah yang sebenarnya terjadi pada 50 tahun silam antara AS dan Arab Saudi? Javier menyebutkan bahwa langkah itu merupakan proses penyaluran kekayaan baru kerajaan Arab Saudi, setelah harga minyak melonjak pascakrisis energi pertama, ke pasar Treasury AS.
Jadi, petrodolar adalah semacam upaya mendaur ulang uang dari komoditas minyak. Saudi Arabia mengucurkan uang ke dalam utang negara Amerika, membantu Washington membiayai defisitnya, dan sebagai imbalannya AS menawarkan kerahasiaan mengenai hal tersebut, termasuk urusan keuangan dan perlindungan militer.
Baca juga: Saudi Jamin Pasokan Energi ke China Selama 50 Tahun
Pada saat perjajian kala itu, Arab Saudi memiliki surplus perdagangan internasional yang sangat banyak, sedangkan kapasitas penyerapan dalam negeri masih relatif minim. Pada tahun 1974, surplus transaksi berjalan Arab Saudi mencapai lebih dari 50 persen produk domestik bruto (PDB). Petrodolar mencerminkan surplus besar tersebut. Secara langsung, AS tidak mendapatkan keuntungan dari penetapan harga minyak dalam denominasi dollar AS itu, tetapi karena Arab Saudi mendaur ulang dana tersebut ke pasar utang Amerika maka aliran dana itu menjadi penguatan mata uang dolar AS.
Saat ini, pengaruh petrodolar terhadap pasar keuangan global tidak lagi signifikan seperti kisaran tiga dekade silam. Bahkan, selama lonjakan harga energi kurun 2003-2008, nilai dolar AS yang didaur ulang sebagai instrument utang AS kian terbatas. Arab Saudi dan negara-negara OPEC memiliki kebutuhan untuk menggunakan kekayaannya guna membangun kemajuan ekonomi domestiknya, termasuk impor barang dan jasa-jasa lainnya.
Arab Saudi hingga kini masih memiliki cadangan devisa dalam jumlah besar dan beberapa di antaranya diinvestasikan dalam Treasury AS. Hanya saja, nominalnya sekarang kalah jauh dengan Tiongkok dan Jepang dalam kepemilikian uang yang terikat dengan pasar utang AS.
Meskipun demikian, dengan kekayaan alam berupa minyak bumi itu, negara Arab Saudi dan juga negara-negara Timur Tengah termasuk anggota OPEC lainnya memiliki posisi sentral dalam memengaruhi kondisi geopolitik global. Terutama dari sisi penyediaan suplai komoditas minyak buminya.
Keunggulan absolut tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjalin kerja sama dengan negara manapun di dunia untuk penguatan ekonomi yang sama-sama menguntungkan. Selain meningkatkan jalinan kekuatan diplomatik, hal ini juga berpeluang bagi negara-negara kaya minyak untuk segera mentransisikan sumber perekonomiannya tidak lagi berbasis energi fosil.
Bagi negara-negara mitra kerja sama Arab Saudi, Timur Tengah (GCC), dan juga OPEC dapat mengakselerasi kemajuan ekonominya dengan peningkatan teknologi pengolahan minyak yang kian ramah lingkungan. Selain itu, meningkatkan pasokan energi guna mendukung perekonomian nasional negara bersangkutan. Dengan demikian, negara-negara kaya minyak akan kian memiliki jejaring kerja sama yang menguntungkan dengan sejumlah negara lainnya. Di mana, pada masa-masa sebelumnya cenderung hanya terbatas dikuasai oleh negara-negara maju. (LITBANG KOMPAS)