Keanggotaan BRICS Diperluas, di Mana Posisi Indonesia?
BRICS memperluas keanggotaannya dengan mengundang Malaysia, Argentina, Arab Saudi, Iran, UEA, dan 40 negara lainnya.
Oleh
GIANIE
·4 menit baca
Sebelum pandemi Covid-19, kekuatan ekonomi negara-negara berkembang yang tergabung dalam kelompok BRICS cukup diperhitungkan di tataran global. Pascapandemi, masih kuatkah kelompok ini memengaruhi perekonomian global?
Pertengahan Juni ini mencuat pemberitaan mengenai Malaysia yang tengah bersiap untuk bergabung dalam kelompok BRICS. Kantor berita Reuters, misalnya, menyebutkan Malaysia sedang bersiap untuk bergabung dengan kelompok negara berkembang BRICS (18/6/2024). Pemberitaan itu mengutip Perdana Menteri Anwar Ibrahim dalam sebuah wawancara dengan media China Guacha.
PM Anwar Ibrahim menyatakan mereka sudah mengambil keputusan dan akan segera mengikuti prosedur formalnya. Mereka tinggal menunggu hasil akhir dari pemerintah negara Afrika Selatan.
Kelompok negara BRICS mencakup Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan dengan tingkat perekonomian (sebelum pandemi) yang berkembang pesat. Adalah Jim O’Neill, mantan ekonom Goldman Sachs, yang pada tahun 2006 memunculkan istilah BRIC merujuk pada Brasil, Rusia, India, dan China.
Baru pada tahun 2010 Afrika Selatan bergabung dan akronimnya menjadi BRICS. Neill memperkirakan BRICS akan menjadi kekuatan ekonomi yang berkembang pesat di abad ke-21. Kelompok BRICS memiliki modal besar dilihat dari cakupan populasi dan skala perekonomiannya.
Kelompok ini sejak tahun lalu berencana memperluas keanggotaannya dengan mengundang Argentina pada Desember 2023. Sementara Arab Saudi, Iran, Ethiopia, Mesir, dan Uni Emirat Arab juga diundang untuk menjadi anggota pada 1 Januari 2024. Sebanyak 40 negara lainnya juga menyatakan minatnya bergabung dalam BRICS.
Perluasan ini untuk mengimbangi tatanan dunia yang didominasi oleh perekonomian barat. Nama untuk perluasan kelompok ini belum diumumkan secara resmi. Namun, kemungkinannya akan menjadi BRICS+.
Jika perluasan ini terjadi, maka kombinasi populasinya mencapai 3,5 miliar jiwa atau sekitar 45 persen dari total penduduk dunia. Sementara kekuatan ekonominya akan mencapai 29,5 triliun dollar Amerika Serikat atau sekitar 28 persen dari perekonomian global. Dibandingkan tahun 2015, kekuatan ekonomi BRICS baru sekitar 22,5 persen dari ekonomi global. Selain itu, dengan Iran, Arab Saudi, dan UEA sebagai anggota, kelompok BRICS+ akan memproduksi sekitar 44 persen dari total minyak mentah dunia.
China menjadi anggota dengan skala ekonomi terbesar, yaitu nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 17,96 triliun dollar AS. Dengan kekuatannya yang besar itu, menurut sejumlah pengamat, China berupaya memperluas pengaruhnya di negara-negara belahan Selatan, terutama di Afrika. Hal itu terlihat dari bentuk kerja sama yang dibangun terutama di bidang infrastruktur.
Pada tahun 2014, negara-negara anggota BRICS membentuk New Development Bank (NDB) untuk menyalurkan bantuan atau pinjaman bagi pembangunan infrastruktur. Pembiayaan infrastruktur ditingkatkan untuk membangun antara lain jalan, jembatan, jalur kereta api, dan proyek penyediaan air bersih. Inilah yang menjadi tujuan utama China dalam kerja sama ekonomi kelompok BRICS.
Sementara, bagi Rusia yang juga merupakan negara adidaya, tujuannya dalam kerja sama ekonomi BRICS agak berbeda. Rusia memandang BRICS sebagai peluang untuk menghadapi negara-negara barat, terutama dalam membantu mengatasi sanksi yang mereka terima akibat menginvasi Ukraina.
Di kawasan Asia Tenggara, Malaysia bukan satu-satunya negara yang menyatakan ingin bergabung dengan BRICS. Thailand, seperti yang diberitakan Reuters (20/6/2024) juga telah mengirimkan permintaan formal untuk bergabung dalam BRICS.
Thailand menunggu jawaban positif dan berharap bisa diterima sebagai anggota BRICS secepatnya pada saat diselenggarakannya pertemuan tahunan yang akan berlangsung di Rusia.
Myanmar dan Laos turut menyatakan minat bergabung dalam BRICS. Vietnam masih akan mempelajari peluang untuk menjadi anggota BRICS. Sementara Singapura dan Filipina belum menentukan sikap. Indonesia, melalui pernyataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Januari 2024, masih mengkaji lebih mendalam manfaat jika menjadi anggota BRICS.
Indonesia pada masa-masa awal terbentuknya BRIC sebetulnya digadang-gadang akan menjadi anggota BRIC sebelum Afrika Selatan. Hal itu mengingat modal besar yang dimiliki Indonesia dari segi jumlah penduduk yang besar serta skala dan pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu juga ditunjang oleh kondisi demokrasi dan stabilitas politik yang baik.
Kini, skala ekonomi Indonesia dilihat dari PDB tercatat sebesar 1,32 triliun dollar AS. Nilai tersebut berada di atas PDB Afrika Selatan. Di tataran global saat ini, Indonesia dihadapkan pada pilihan antara menjadi anggota Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dan BRICS itu sendiri.
Untuk meningkatkan perekonomian, investasi, dan perdagangan, negera-negara dunia berupaya menjalin kerja sama dengan kekuatan-kekuatan ekonomi yang akan membawanya menjadi negara yang maju. Tak terkecuali Indonesia yang berkeingainan menjadi negara maju pada tahun 2045 saat bangsa ini mencapai usia satu abad.
Ada pertimbangan kepentingan dari masing-masing negara. Namun, minat yang tinggi bergabung dengan BRICS di mana China menjadi kekuatan ekonomi yang dominan bukannya tidak mengandung risiko.
Salah satu hal yang potensial terjadi, terutama bagi negara-negara di Asia Tenggara, adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatan China.
Hal itu akan memberi China peran dan daya tawar yang lebih besar/tinggi dalam berbagai situasi, termasuk dalam situasi konflik dagang antara China dan Amerika Serikat, juga konflik yang menyangkut Laut China Selatan. Negara-negara Asia Tenggara dikhawatirkan akan berkurang tingkat kekritisannya terhadap China.
Tentunya, mengkaji dengan lebih mendalam untuk bergabung dengan BRICS, atau dengan kelompok kerja sama lainnya, merupakan langkah yang tepat agar terhindar dari konflik-konflik kepentingan yang bisa merugikan kepentingan bangsa di masa depan. (LITBANG KOMPAS)