Memetik Pengetahuan dari Akar Bangsa
Pendidikan kontekstual berbasis kebudayaan dipupuk melalui nilai budaya lokal sebagai sumber pengetahuan utama siswa.
Gelombang globalisasi membawa dampak yang mengancam nilai-nilai kebudayaan bangsa. Hal ini dapat mudah dicermati melalui betapa populernya produk kebudayaan bangsa lain di tengah masyarakat Indonesia.
Di masa sekarang ini penetrasi kebudayaan populer Korea (K-pop) dan Jepang (J-pop) telah berhasil menghanyutkan banyak generasi muda. Produk-produk kebudayaan dari dua negara itu, mulai dari makanan, minuman, pakaian, hingga bahasa, jamak digandrungi anak-anak muda, khususnya dari kalangan generasi Y dan Z.
Kekhawatiran tergerusnya nilai-nilai budaya asli bangsa di tengah gempuran globalisasi inilah yang membuat Pemerintah Indonesia semakin menggencarkan perlindungan dan pelestarian kehidupan kebudayaan Indonesia. Salah satunya melalui pendidikan kontekstual berbasis kebudayaan.
Langkah ini telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Secara spesifik, Pasal 7 undang-undang tersebut mengamanatkan supaya pemerintah pusat dan daerah melakukan pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan demi mencapai pemajuan kebudayaan.
Pemajuan kebudayaan yang dimaksud merupakan serangkaian upaya untuk meningkatkan ketahanan dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia. Sementara pengarusutamaan kebudayaan adalah strategi-strategi yang dilakukan secara sistematis dan rasional yang memperhatikan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.
Upaya pemerintah menghidupkan tradisi dan kebudayaan lokal bangsa menggunakan jalur pendidikan sejatinya telah dilakukan puluhan tahun yang lalu. Pada mulanya pendidikan berbasis kebudayaan di sekolah hanya berupa mata pelajaran menggambar pada era Hindia Belanda.
Seusai Indonesia meraih kemerdekaan, mata pelajaran menggambar lantas menjadi embrio bagi pengembangan pendidikan berbasis kebudayaan lokal di Indonesia. Salah satu evolusi mendasar pendidikan berbasis kebudayaan terjadi pada 1987 melalui pengenalan kurikulum muatan lokal.
Sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0412/U/1987, pemerintah berupaya mengimplementasikan program pendidikan yang isi dan media pengajarannya dikontekstualisasikan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya daerah setempat. Namun, kurikulum ini hanya diberlakukan untuk sekolah dasar dan masih menempel pada bidang studi lain, seperti pendidikan seni dan kebudayaan.
Implementasi pendidikan berbasis kebudayaan setempat semakin diperkuat pada 1994. Melalui UU No 2/1994 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum sekolah harus memperhatikan keadaan lingkungan, warisan budaya, serta kebutuhan lokal. Dengan adanya perubahan ini, sekolah bahkan diwajibkan mengalokasikan 20 persen waktu kegiatan belajar-mengajar berdasarkan kondisi lokal.
Kurikulum muatan lokal
Ini lantas menjadi landasan pacu pendidikan berbasis kebudayaan yang terus disertakan dan dikuatkan di kurikulum-kurikulum berikutnya. Terkini, kurikulum muatan lokal merupakan salah satu elemen utama Kurikulum Merdeka Belajar yang diimplementasikan pada 2022 dan diterapkan secara penuh pada 2024.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 12/2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, muatan lokal adalah muatan pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal berupa seni budaya, prakarya, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan, bahasa, dan teknologi.
Adapun muatan lokal dapat dilaksanakan secara fleksibel melalui tiga cara, yakni pengintegrasian ke dalam mata pelajaran lain, pengintegrasian ke dalam tema penguatan profil pelajar Pancasila, atau dijadikan mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Jalur informal pendidikan kontekstual berbasis kebudayaan
Pemerintah rupanya tak hanya berfokus pada jalur formal dalam mengarusutamakan pendidikan kontekstual berbasis kebudayaan. Salah satu bentuk pendidikan informal yang menjadi salah satu ujung tombak pendidikan berbasis kebudayaan adalah pendidikan masyarakat adat.
Menurut buku Pendidikan Kontekstual Masyarakat Adat di Indonesia (2019) yang diterbitkan oleh Kemendikbud, pendidikan kontekstual bagi masyarakat adat adalah pendidikan yang disesuaikan dengan letak geografis, lingkungan-ekologis, keberadaan masyarakat adat dengan akses pendidikan, dan sesuai dengan tradisi yang masih hidup di kalangan masyarakat adat.
Baca juga: Pendidikan Kontekstual Lindungi Kearifan Lokal Masyarakat Adat
Berdasarkan data Sistem Pendataan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Sidakerta) Kemendikbudristek, hingga 2024 terdapat 114 sekolah adat yang tersebar di 21 provinsi. Nusa Tenggara Barat menjadi provinsi dengan jumlah sekolah masyarakat adat terbanyak, yakni 18 atau 15,8 persen; disusul Banten dengan 15 sekolah. Sementara Jambi dan Nusa Tenggara Timur menempati posisi ketiga terbanyak dengan masing-masing sebanyak 14 sekolah masyarakat adat.
Sekolah masyarakat adat ini terbukti menjadi salah satu jalan ampuh menangkal kepunahan tradisi lokal. Hal ini dirasakan oleh masyarakat adat Kampung Adat Wainggai, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, NTT.
Berangkat dari keresahan masyarakat adat karena tradisi mereka kian dilupakan generasi muda, mereka lantas mendirikan sekolah adat Praing Laitaku Ndappaamu. Dengan pola tiga hari seminggu di luar jam sekolah formal, para pengajar adat memberikan pelajaran bahasa Sumba, permainan tradisional, dan tari-tarian tradisional kepada lebih kurang 90 peserta didik masyarakat adat (Kompas.id, 10/1/2024).
Selain itu, upaya menekankan pendidikan berbasis kebudayaan juga diwujudkan ke dalam program-program yang menarik dan menumbuhkan daya kreativitas siswa. Salah satu yang telah bergulir cukup lama adalah program Gerakan Seniman Masuk Sekolah.
Sejak pertama kali dilaksanakan pada 2016, gerakan ini telah diikuti oleh total 6.638 sekolah di 34 provinsi di Indonesia. Provinsi Lampung menjadi provinsi paling aktif mengikuti program ini dengan 534 sekolah, diikuti oleh Jawa Tengah sebanyak 482 sekolah dan Sumatera Barat sebanyak 428 sekolah.
Daya kreativitas murid
Program ini memberikan dampak positif langsung terhadap daya kreativitas murid. Salah satunya dirasakan siswa-siswi SMP Negeri 3 Manado, Sulawesi Utara. Karena didampingi khusus oleh seniman profesional Cordry Lewandatu, murid-murid tampil dengan sangat ekspresif membawakan tari kreasi baru ”Torang Semua Basudara”. Alhasil, sekolah menengah tersebut telah berkali-kali menjuarai lomba seni tari di tingkat nasional (Kompas.id, 18/12/2018).
Baca juga: Sekolah Mendukung Penguatan Budaya
Program memberdayakan daya kreativitas siswa melalui kesenian juga terus dikembangkan melalui program Penguatan Karakter Siswa Mandiri melalui Kreasi Seni atau Presisi. Program ini pertama kali dilaksanakan pada 2020 dan kini telah diikuti oleh sedikitnya 288 sekolah di 14 provinsi. Adapun program yang melibatkan 2.280 guru dan 150 fasilitator ini telah menghasilkan 2.023 ide karya yang dihasilkan oleh para murid peserta program.
Gagasan dasar dari model pendidikan ini adalah bahwa pendidikan tidak seharusnya terkungkung pada suatu model universal, tetapi tumbuh dan lestari di atas kekayaan kebudayaan setempat. Dengan demikian, peserta didik dapat cermat mengolah peluang-peluang lokal dan memiliki wawasan kontekstual yang kreatif dan mandiri.
Baca juga: Pendidikan Kontekstual Butuh Komitmen Semua Pihak
Evolusi pendidikan kontekstual berbasis kebudayaan di Indonesia mencerminkan upaya tak kenal lelah dari pemerintah untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa kepada generasi muda. Hal ini tampak melalui pengembangan kurikulum yang selalu menyertakan muatan lokal budaya setempat dalam kegiatan belajar-mengajar selama puluhan tahun.
Di samping itu, pemerintah juga menyadari bahwa diperlukan kolaborasi dengan elemen masyarakat lain yang diwujudkan dengan berbagai program kreatif dan inovatif. Diharapkan, upaya-upaya ini selalu berkembang dan menemukan inovasi-inovasi lainnya untuk dapat selalu menjawab tantangan zaman dan menyelamatkan kebudayaan asli bangsa Indonesia di tengah gempuran globalisasi.
(LITBANG KOMPAS)