Tren penguatan dollar AS memicu depresiasi mata uang negara lain, termasuk rupiah.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI
·5 menit baca
Melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir memantik kekhawatiran berbagai pihak. Meskipun begitu, pelemahan yang dipicu oleh tren penguatan dollar AS ini tak hanya dirasakan Indonesia. Dengan tidak ada tanda-tanda pergerakan dari The Fed untuk menurunkan suku bunga, tren depresiasi perlu terus diwaspadai.
Menguatnya posisi dollar AS ini salah satunya tecermin dalam angka US Dollar Index (USDX). USDX adalah pengukuran yang dilakukan untuk melihat nilai dollar AS secara relatif terhadap sekumpulan mata uang negara lain. Diprakarsai Bank Sentral AS pada 1973, data ini sekarang dikelola oleh ICE Data Indices, lembaga di bawah Intercontinental Exchange (ICE).
Mata uang yang dijadikan perbandingan terhadap dollar AS ini kerap dipandang sebagai mitra dagang AS yang paling penting meskipun tidak secara langsung tecermin dari neraca perdagangan.
Enam mata uang yang kini dimasukkan ke dalam indeks tersebut adalah euro, yen, pound sterling, dollar Kanada, krona Swedia, dan franc Swiss.
Dari awal tahun 2024, USDX mengalami peningkatan sebesar 4 persen. Meskipun sempat mengalami volatilitas di beberapa titik, tren ini menunjukkan kemampuan dollar AS untuk melonjak sejak tertekan pada masa pandemi Covid-19 di kisaran 2020 hingga 2021.
Setidaknya, tren penguatan dollar AS sudah terjadi selama dua tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan kebijakan The Fed untuk menaikkan suku bunga AS secara agresif di sepanjang 2022 hingga pertengahan 2023.
Dari 0,25 persen pada Maret 2022, The Fed terus memompa suku bunga AS hingga di angka 5,50 persen dalam waktu sekitar satu tahun.
Dollar AS yang makin digdaya ini menjadi pemicu tertekannya rupiah selama setahun terakhir. Sedari awal tahun 2024, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus merosot dari sekitar Rp 15.775 hingga mencapai Rp 16.389 per dollar AS.
Tekanan yang dialami rupiah ini berdampak luas terhadap perekonomian negara. Sebagai negara net impor, melemahnya nilai tukar akan membuat komoditas yang didatangkan dari luar menjadi semakin mahal, termasuk di antaranya bahan keperluan industri dan minyak.
Tak ayal, tanpa ada upaya intervensi, tren depresiasi ini bisa memicu berbagai persoalan, seperti kenaikan inflasi, membengkaknya pengeluaran dan beban utang negara.
Meskipun begitu, tren depresiasi ini tak hanya dialami Indonesia. Salah satu negara yang cukup parah mengalami tekanan penguatan dollar AS ialah Jepang.
Sejak akhir April lalu, mata uang yen mengalami depresiasi terparahnya sejak dekade 1990-an. Pada 29 April, nilai tukar yen terhadap dollar AS sempat berada di angka 160,17 meski akhirnya kembali naik di kisaran 155.
Pelemahan yen ini didorong oleh keengganan investor untuk berinvestasi di pasar utang Jepang. Hal ini akibat lebarnya perbedaan suku bunga antara Jepang dan AS.
Sementara suku bunga acuan Federal Reserve AS saat ini berada di kisaran 5,25-5,50 persen, suku bunga yang setara dari Bank of Japan (BOJ) hanya berada di kisaran 0-0,1 persen.
Secara umum, suku bunga yang lebih tinggi akan mendongkrak naik nilai mata uang. Alasan utamanya adalah karena suku bunga yang tinggi cenderung menarik lebih banyak investor asing ke pasar utang negara tersebut.
Misal, seorang investor Jepang yang ingin membeli obligasi Pemerintah AS harus membeli dollar untuk berinvestasi di negara tersebut. Bagi investor, suku bunga yang lebih tinggi di AS berarti peluang untuk mendapatkan imbal hasil yang jauh lebih tinggi.
Namun, Jepang juga tak bisa semudah itu untuk menaikkan suku bunga secara dramatis. Untuk bisa menggenjot pertumbuhan, BOJ harus bisa memastikan bunga pinjaman yang terjangkau bagi para pelaku usaha.
Maka, menjaga suku bunga acuan di titik rendah menjadi esensial bagi mereka. Hal ini menjadi kontras dengan apa yang terjadi di AS, di mana suku bunga dijaga di level yang tinggi untuk menekan tingkat inflasi.
Tak heran, meski penurunan beberapa waktu terakhir relatif parah, yen sebetulnya sudah terdepresiasi sejak awal 2021. Selama tiga tahun terakhir, mata uang ini telah kehilangan lebih dari sepertiga nilainya. Dalam waktu tiga puluh tahun, yen kembali ke posisi terburuknya sejak prahara asset bubble di awal 1990-an.
Selain Jepang, won dan peso Filipina pun mengalami nasib yang tak jauh berbeda. Semenjak awal 2024, nilai tukar won telah anjlok hingga 7 persen. Penurunan ini menjadi yang terburuk sejak krisis dunia tahun 2008. Saat itu, nilai mata uang Korea Selatan ini turun tajam di kisaran 6,9 persen.
Selaras, peso Filipina terus tertekan dalam rentang enam bulan terakhir. Sebelumnya, peso sempat mencapai titik terendahnya pada 2022, dengan nilai sebesar 58,63 peso per dollar AS.
Sebetulnya, selama akhir 2022 hingga 2023, nilai tukar peso berhasil dikerek dan bertahan di kisaran 56 peso per dollar AS. Namun, menguatnya dollar AS ini tak kuat dibendung hingga membuat peso kembali di level 58 per dollar AS.
Melihat tren ini, dapat dipastikan bahwa melemahnya nilai tukar mata uang Indonesia dan beberapa negara lain sebagian besar dipengaruhi oleh respons The Fed.
Hingga akhir Mei 2024, Bank Sentral AS ini masih mengambil posisi yang ajek, yakni terus menahan suku bunga acuan di angka 5,5 persen.
Hal ini pun dikonfirmasi oleh Wakil Ketua Pengawasan Federal Reserve AS Michael Barr. Pada 20 Mei lalu, Barr mengatakan bahwa data inflasi AS untuk beberapa bulan pertama tahun 2024 masih tidak sesuai harapan.
Tak heran, saat ini The Fed tampak tidak terburu-buru untuk mulai menurunkan suku bunga meski angka suku bunga tersebut telah berada di level tertinggi dalam lebih dari dua dekade terakhir.
Sebaliknya, ekonomi-ekonomi besar lainnya justru telah memulai langkah untuk menurunkan suku bunga mereka. Salah satunya ialah Kanada yang memotong suku bunganya, menjadi negara G7 pertama yang melakukan langkah tersebut. Tak lama, Bank Sentral Eropa pun turut memangkas suku bunga utama sehari setelahnya.
Tak ayal, sikap The Fed yang bergeming pada posisinya perlu terus diwaspadai. Hal ini menunjukkan bahwa tren depresiasi kemungkinan besar tidak akan berubah dalam waktu dekat.
Tanpa adanya intervensi yang serius dari Bank Indonesia, tidak tertutup kemungkinan rupiah akan terus turun hingga ke titik terendahnya pascakrisis finansial Asia akhir 1990-an. (LITBANG KOMPAS)