Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Resistensi Publik terhadap Tapera Terbilang Tinggi
Respons negatif masyarakat terhadap kebijakan Tapera terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang ”Kompas”.
Keberlanjutan program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera kini tengah simpang siur setelah muncul pernyataan dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat soal kemungkinan penundaan pelaksanaannya. Tingginya resistensi publik menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali rencana program ini. Respons negatif masyarakat terhadap kebijakan Tapera itu terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas.
Sinyal penolakan dari masyarakat itu ditanggapi oleh Basuki Hadimuljono selaku Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sekaligus selaku Ketua Komite Tapera. ”Menurut saya pribadi, kalau ini memang belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (6/6/2024). Hal yang disampaikan oleh Basuki tersebut mengindikasikan adanya kemungkinan bahwa pemberlakuan kebijakan tersebut akan dikaji ulang.
Rencana pemberlakuan program Tapera oleh pemerintah memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pasalnya, kebijakan tersebut dicanangkan dengan mewajibkan seluruh warga negara yang sudah bekerja dan memiliki penghasilan atau menerima upah dengan usia peserta paling rendah 20 tahun atau sudah menikah.
Ketentuan berikutnya yakni besaran nilai iuran bulanan ditentukan sebesar 3 persen, di mana 2,5 persen dipotong dari gaji dan 0,5 persen ditanggung oleh pihak pemberi pekerjaan. Skema program demikian tidak membuka celah tawar-menawar antara pekerja dan pemberi kerja dengan pemerintah sebagai penentu kebijakan. Regulasi yang mewajibkan kepesertaan berikut nilai iuran rutinnya dipersepsikan oleh publik sebagai bentuk paksaan dari negara.
Pandangan publik terkait kebijakan Tapera terpetakan melalui jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 5-8 Juni 2024 dengan mewawancarai secara lisan sebanyak 524 responden berusia 17-44 tahun melalui telepon. Kelompok usia responden dipilih pada rentang itu supaya dapat mencerminkan generasi yang relevan dan terdampak dengan adanya Tapera. Jumlah responden yang ditelepon sudah disesuaikan dengan proporsi jumlah penduduk di 38 provinsi di Indonesia.
Baca juga: Asas Gotong Royong pada Tapera, antara Kewajiban atau Sukarela
Ketika responden ditanyakan ”Apakah Anda setuju dengan program Tapera dan mau ikut serta?”, hanya 16,2 persen responden yang merespons setuju dan mau mengikuti Tapera. Ketika ditelusuri lebih jauh lagi, responden yang setuju dengan Tapera itu paling banyak berasal dari kalangan ekonomi atas (35,4 persen). Semakin rendah kelas sosial ekonominya, semakin sedikit yang setuju dengan program tersebut.
Pada responden kalangan menengah atas, hanya 17,6 persen yang mengaku mau ikut program Tapera. Sementara itu, pada kalangan menengah bawah hanya 7,5 persen responden yang sepakat dan dari kalangan bawah lebih minim lagi, yakni hanya 2,9 persen ketertarikannya. Analisis dilakukan melalui tabulasi silang antara sikap setuju dan penolakan responden terhadap Tapera, dengan profil stasus sosial ekonomi para responden.
Bagi yang menyatakan sejutu, terdapat pertanyaan lanjutan terkait alasan utama mereka menyetujui kebijakan itu. Hal yang menjadi alasan utama para responden yang bersepakat adalah membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar bisa memiliki rumah. Alasan demikian dinyatakan oleh 59,6 responden.
Temuan data tersebut senada dengan profil responden yang menerima dan mau ikut Tapera umumnya berasal dari kalangan sosial ekonomi atas. Alasan tersebut tergolong altruis, yang mana seseorang turut menempatkan kepentingan bersama atau orang lain dalam perhitungan kehidupannya, tidak hanya memikirkan kebutuhannya sendiri. Cerminan sikap altruisme dapat terwujud ketika kebutuhan dasar manusia sudah terpenuhi. Misalnya ketika faktor ekonomi bukan lagi menjadi persoalan utama di kehidupan sehari-hari. Maka, wajar jika kalangan yang paling banyak setuju dengan Tapera berasal dari kelas atas.
Resistensi terhadap Tapera terbilang tinggi
Sementara itu, di sisi seberangnya terdapat kelompok yang menolak program Tapera. Terdapat 43,1 persen responden yang resisten terhadap kebijakan itu sehingga menolak dan tidak mau mengikuti kebijakan tersebut.
Selain itu, ada pula kelompok responden yang setengah hati terhadap rencana pemerintah itu. Mereka adalah kelompok yang mau menerima manfaat bantuan perumahan dari pemerintah, tetapi tidak setuju dengan skema yang ditawarkan saat ini. Jumlah responden yang bersikap demikian mencapai 12 persen.
Bila diakumulasikankan dari dua sikap penolakan responden tersebut, terdapat 55,1 persen masyarakat yang menolak skema bantuan perumahan itu. Angka ini mengindikasikan bentuk resistensi yang terbilang cukup tinggi.
Alasan penolakan yang paling banyak diungkapkan oleh publik dalam jajak pendapat Litbang Kompas adalah terkait potongan gaji 2,5 persen per bulan. Sebesar 52,8 persen responden merasa iuran wajib bulanan yang diambil dari upah itu dirasa memberatkan.
Selain itu, alasan penolakan berikutnya karena sebagian responden sebesar 17,4 persen sudah memiliki rumah tapak sehingga Tapera bukan hal yang relevan bagi mereka. Uang yang mereka miliki dapat digunakan untuk kepentingan selain untuk perumahan ataupun tabungan dana pensiun yang nantinya dikelola oleh BP Tapera. sebagai catatan, iuran Tapera selain untuk pendanaan perumahan, juga menjalankan program tabungan pensiun yang dapat dicairkan dananya pada usia pensiun kerja.
Baca juga: Mencermati Program Tapera Berikut Mekanisme Pemanfaatannya
Resistensi selanjutnya terkait kriteria peserta yang berhak menerima manfaat Tapera. Sejumlah 11,5 persen reponden mengaku enggan menjadi peserta Tapera karena berpenghasilan lebih dari Rp 8 juta per bulan. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa menerima manfaat pembiayaan perumahan. Kelompok responden demikian apabila diharuskan ikut Tapera, mereka hanya bisa menjadi peserta tabungan dana pensiun.
Terkait batas atas nominal masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat berpenghasilan rendah juga menjadi topik perdebatan tersendiri. Penghasilan Rp 8 juta per bulan itu relatif berbeda nilai ekonomi dan kemampuan daya belinya di setiap wilayah di Indonesia. Sementara itu, hingga sekarang batas atas tersebut berlaku secara nasional. Hal tersebut dipandang merugikan kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan perumahan, tetapi tidak memenuhi kriteria batas maksimal upah bulanan.
Padahal, dari sisi penentuan batas harga jual rumah umum tapak terdapat keberagaman sesuai dengan wilayah masing-masing. Misalnya, di Pulau Jawa kecuali Jabodetabek muncul angka Rp 150,5 juta per unit rumah tapak. Kemudian untuk wilayah Papua dan Papua Barat diperkirakan sekitar Rp 219 juta. Patokan tersebut tertuang pada Keputusan Menteri PUPR Nomor 995 Tahun 2021.
Perlu evaluasi lebih mendalam, apakah kebijakan terkait syarat batas atas upah penerima Tapera dapat disesuaikan lagi? Tujuannya, agar manfaat Tapera bisa dirasakan oleh masyarakat secara lebih luas, terutama yang masuk dalam golongan yang relatif tanggung pendapatannya. Jebakan kelas menengah seperti itu perlu segera ditangani. Kelas menengah yang tidak tersentuh bantuan karena dipandang bukan kalangan berpenghasilan rendah, tetapi kenyataannya tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk mengakses kepemilikan rumah tapak.
Keraguan publik terhadap Tapera
Keengganan masyarakat mengikuti program Tapera juga dipicu oleh keraguan yang tinggi terhadap pemerintah. Publik meragukan manfaat dan keberlangsungan program Tapera sebagai upaya menyediakan pembiayaan perumahan. Selain itu, publik juga meragukan kemampuan pemerintah dalam mengelola dana investasi masyarakat.
Ketika responden ditanyai ”Yakin atau tidak yakinkah Anda program Tapera dapat menjadi solusi penyediaan perumahan bagi masyarakat?” Sebagian besar responden (66 persen) menyatakan bahwa mereka tidak yakin akan pernyataan tersebut. Ketidakyakinan publik terhadap Tapera merupakan muara dari beragam alasan penolakan mereka terhadap kebijakan yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Baca juga: Krisis Hunian di Balik Rencana Program Tapera
Keraguan itu salah satunya didorong oleh tingginya ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengelola dana milik masyarakat. Responden yang menyatakan tidak yakin akan kemampuan pemerintah mencapai 74,7 persen. Publik meragukan kinerja pemerintah terkait profesionalisme dan integritas antikorupsi sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah terbilang sangat rendah.
Publik berkaca pada kasuk-kasus penyelewengan dana investasi masyarakat yang dikelola oleh lembaga negara. Contohnya dari kasus lembaga asuransi pelat merah, Jiwasyara, yang mengalami gagal bayar. Kasus tersebut menimbulkan kerugian sekitar Rp 17 triliun. Ditambah lagi kasus Asabri (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dengan nilai kerugian yang lebih tinggi, yakni mencapai Rp 22,7 triliun.
Benang merah dari sikap penolakan masyarakat terhadap Tapera setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, dari skema kepesertaan yang bersifat wajib, hal ini dipandang memberatkan karena tidak terbuka pilihan untuk tidak mengikutinya. Kedua, nilai potongan wajib menjadi beban yang relatif berat bagi kalangan pekerja dan juga bagi pemberi kerja yang ikut menanggung sebagian. Ketiga, kepercayaan publik terhadap pemerintah terutama dalam pengelolaan dana masyarakat masih sangat rendah. Setidaknya tiga poin tersebut yang menjadi persoalan yang harus segera dijawab oleh pemerintah apabila masih berupaya untuk melanjutkan Tapera. (LITBANG KOMPAS)