UU KIA dan Investasi Tumbuh Kembang Anak yang Belum Ideal
Minimnya peran ayah dalam tumbuh kembang anak dan risiko diskriminasi perempuan di dunia kerja perlu jadi perhatian.
Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau RUU KIA yang telah diketok palu bisa menjadi fondasi awal dalam berinvestasi ke masa depan anak-anak bangsa.
Meskipun demikian, undang-undang ini masih meninggalkan beberapa persoalan penting, seperti kesempatan bagi ayah untuk berpartisipasi dengan maksimal. Lebih lanjut, pelaksanaan UU ini juga harus dibarengi dengan jaminan bagi pekerja perempuan demi menghindari diskriminasi.
UU KIA yang disahkan pada awal Juni ini menjadi pintu masuk dalam upaya menebalkan dukungan terhadap tumbuh kembang anak Indonesia di masa mendatang.
Sebagai landasan, undang-undang ini cukup fokus memberi penekanan pada pentingnya kesejahteraan ibu dan anak pada masa krusial, yakni seribu hari pertama dalam kehidupan. Masa ini mencakup waktu ketika anak masih berada di dalam kandungan hingga berusia dua tahun.
Fokus pada masa emas ini bukan tanpa alasan. Komunitas kesehatan sepakat bahwa fase ini sangat krusial karena saat inilah otak manusia berkembang secara cepat, bahkan hingga 80 persen dari kapasitas maksimal. Tanpa adanya dukungan yang penuh, masa emas ini bisa sia-sia sehingga potensi pertumbuhan tersebut tidak tercapai.
Untuk mendukung capaian ini, UU KIA pun mengatur beberapa hal. Salah satu yang mendapat sorotan ialah tambahan cuti bagi ibu melahirkan yang dimungkinkan.
Pada Pasal 6 diatur bahwa ibu hamil yang bekerja berhak untuk mendapat cuti persalinan minimal 3 bulan pertama. Tak hanya itu, tambahan cuti selama 3 bulan berikutnya bisa diberikan apabila muncul kondisi khusus menurut keterangan dokter.
Selama mengambil hak cuti ini, ibu melahirkan tidak boleh diberhentikan atau dipecat. Lebih lanjut, tempat bekerja juga wajib membayarkan gaji secara utuh hingga bulan keempat cuti, dan tiga perempatnya pada bulan kelima dan keenam.
Jika dibandingkan, aturan ini lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, meski menurut US Family and Medical Leave Act ada jatah cuti selama paling lama 3 bulan, tidak diatur secara jelas kewajiban pemberi kerja untuk tetap memberikan gaji kepada ibu melahirkan selama cuti. Tak heran, hak ini kerap tidak diambil oleh para pekerja perempuan karena takut kehilangan penghasilan.
Meskipun demikian, kebijakan ini belum bisa dibilang yang terbaik. Beberapa negara, salah satunya Inggris, memberikan waktu lebih longgar bagi ibu yang bekerja untuk mengasuh anaknya di masa emas.
Di negara tersebut, ibu hamil bisa mendapatkan cuti hingga 1 tahun selama masa melahirkan dengan separuhnya menjadi hak menyeluruh dan separuh sisanya dengan keadaan khusus. Selama masa ini, ibu melahirkan wajib diberikan upah minimal 90 persen dari gaji yang diterima tiap bulannya.
Baca juga: RUU KIA pada Fase 1.000 HPK Nyaris Mustahil Dinikmati Perempuan Buruh
Jatah libur ayah
Meski patut diapresiasi, UU KIA masih meninggalkan persoalan yang perlu untuk dikoreksi ke depannya. Salah satunya ialah minimnya dukungan bagi ayah untuk terlibat dalam tumbuh kembang anak dalam periode emas ini. Hal ini tecermin dari aturan terkait hak cuti bagi suami untuk mendampingi istri pascapersalinan.
Pada Pasal 6 UU KIA diatur bahwa suami berhak mendapat cuti untuk menemani istri melahirkan selama 2 hari. Jumlah cuti ini bisa ditambah sampai 3 hari berikutnya, tetapi dengan persetujuan dari pihak pemberi kerja. Cuti selama 2 hari juga diberikan kepada suami yang istrinya tengah mengalami keguguran.
Jumlah waktu yang diberikan kepada ayah ini tentu sangat timpang. Padahal, tumbuh kembang anak yang maksimal mustahil dicapai tanpa adanya urun tangan dari sang ayah. Kesimpulan ini pun didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya.
Studi dari Maria Huerta dan kawan-kawan pada 2014 yang dimuat di European Journal of Social Security menunjukkan, cuti akan memantik kontribusi lebih dari ayah dalam mengurus anak.
Penelitian di empat negara, yakni AS, Australia, Inggris, dan Denmark, ini menunjukkan adanya hubungan positif antara waktu cuti yang luang dan keterlibatan ayah dalam membesarkan anak bahkan ketika cuti telah selesai. Artinya, dampak dari momen bersama anak di awal kelahiran terus tertanam dan menjadi perilaku jangka panjang.
Tidak hanya itu, interaksi awal anak bersama ayahnya juga terbukti membawa manfaat terhadap kemampuannya dalam belajar. Studi dari Universitas Oslo menunjukkan, muncul hubungan positif antara penerapan cuti melahirkan bagi ayah dan nilai anak di tingkat SMP. Hubungan ini bahkan nampak makin menguat pada anak perempuan.
Negara-negara yang sadar akan pentingnya anak sebagai investasi jangka panjang pembangunan bangsa pun tak segan memberikan cuti bagi ayah, seperti Australia yang memberi cuti selama 100 hari dan Norwegia yang memberi hak libur hingga satu tahun. Tentunya, naif bagi Indonesia apabila ingin mencapai hasil yang serupa dengan memberi libur bagi ayah yang tak sampai seminggu.
Baca juga: Pekerja dan Pengusaha Ragu Hak Cuti Maternitas 6 Bulan Terlaksana Optimal
Risiko diskriminasi
Selain ketimpangan akses cuti bagi ayah baru, UU KIA ini juga berpotensi memantik diskriminasi bagi perempuan di dunia kerja. Para pelaku usaha yang culas tentu enggan untuk ”membayar” karyawan yang tidak produktif berbulan-bulan. Potensi diskriminasi ini menguat mengingat minimnya aturan antidiskriminasi perempuan di dunia kerja Indonesia.
Kerentanan perempuan bekerja ini dikonfirmasi dari data yang digarap McKinsey Global Institute. Menurut lembaga ini, jumlah partisipasi kerja perempuan stagnan dan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki selama rentang dua dekade.
Hal ini pun terkonfirmasi dari data BPS, yakni angka partisipasi perempuan di angkatan kerja Indonesia relatif menurun terutama pascapandemi Covid-19.
Pada 2020, tingkat partisipasi perempuan berada di kisaran 61 persen, sempat anjlok hingga 58 persen pada tahun 2022 sebelum akhirnya sedikit naik di atas 60 persen pada 2023. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan partisipasi laki-laki yang relatif konsisten di kisaran 85-87 persen.
Dari berbagai faktor, ditemukan bahwa kehamilan masih menjadi salah satu faktor yang diduga menghambat perempuan dalam berpartisipasi dalam dunia kerja.
Hal ini pun tecermin dari hasil penelitian Ari Purbowati pada tahun 2019 yang dimuat di Jurnal Ketenagakerjaan. Dalam studi tersebut, melalui metode regresi probit, muncul hubungan negatif antara kehamilan yang tidak terencana dan partisipasi perempuan di dunia kerja.
Hal ini seharusnya sudah cukup menjadi bukti bahwa aturan baru di bawah UU KIA bisa menjadi bumerang bagi perempuan bekerja. Tanpa adanya dukungan dari instrumen peraturan lain, ada kemungkinan para pemberi kerja akan enggan membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan.
Situasi yang diskriminatif ini tentu menjadi kontraproduktif dengan semangat UU KIA, yakni memberi jaminan kesejahteraan pada perempuan. (Litbang Kompas)
Baca juga: DPR Setujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak untuk Disahkan