Regulasi politik dan militer di Indonesia terus mengalami dinamika.
Oleh
YOHAN WAHYU
·3 menit baca
Dalam sejarahnya, relasi politik dan militer memang tak bisa dipisahkan. Sejumlah regulasi yang mengatur keduanya mengalami dinamika, termasuk saat ini dengan munculnya polemik terkait revisi terhadap UU TNI yang membuka peluang prajurit menempati jabatan di pemerintah secara lebih luas.
Di masa pascakemerdekaan Republik Indonesia muncul Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957, yakni Pasal 2 yang menyebutkan bahwa militer memiliki hak suara yang lebih menentukan dari dewan pemerintah daerah atau kepala daerah. Peran ini terutama jika terjadi kondisi di suatu wilayah mendapatkan serangan secara tiba-tiba.
Pasal di atas diberlakukan karena situasi pascakemerdekaan yang dianggap masih rawan serangan dan keterlibatan militer dalam memutuskan pertahanan wilayah atau di suatu daerah yang masih dianggap perlu.
Sejumlah agumentasi juga muncul karena saat itu sudah ada upaya pengurangan peran militer secara penuh di dalam penyelenggaraan politik pemerintahan, kecuali kondisi darurat.
Regulasi terkait materi yang sama kemudian berlanjut di era Orde Baru dengan munculnya Ketetapan MPRS No II Tahun 1969. Ketetapan inilah yang kemudian melandasi lahirnya konsep Dwifungsi ABRI. Konsep ini menekankan bahwa ABRI memiliki fungsi pertahanan sekaligus ikut dalam penyelenggaraan pemerintahan serta politik.
Konsep Dwifungsi ABRI ditegaskan dalam UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Di Pasal 6 UU ini disebutkan bahwa Prajurit Angkatan Bersenjata mengemban Dwifungsi sebagai kekuatan pertahanan negara dan kekuatan sosial politik.
Melalui regulasi inilah kemudian keterlibatan ABRI masuk struktural pemerintahan semakin abash, bahkan menjadi dasar munculnya kelompok perwakilan ABRI di lembaga legislatif atau parlemen sebagai satu fraksi sendiri yang terdiri dari gabungan tentara dan polisi (TNI/Polri).
Memasuki era reformasi, kekuatan arus perubahan yang menghendaki tuntutan adanya profesionalisme semakin kencang. Kekuatan masyarakat sipil saat itu menghendaki Dwifungsi ABRI dihapus dan mengembalikan militer pada urusan pertahanan alias kembali ke barak.
Hal ini kemudian tercantum dalam TAP MPR No VII/MPR/2000, terutama ada di Pasal 5, yakni menyangkut netralitas TNI dalam kehidupan berpolitik dan tidak terlibat kegiatan politik praktis. Kemudian diikuti penegasan bahwa anggota TNI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.
Disebutkan juga dalam ketetapan MPR di atas soal keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional melalui MPR. Selain itu, juga dinyatakan bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan. Praktis, di fase inilah TNI memasuki lembaran baru dengan sepenuhnya pamit dari gelanggang politik.
Upaya membawa militer kembali ke barak dan menjauhkan dari urusan politik semakin ditegaskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menggantikan UU 2/1998.
Pada Pasal 2 UU ini disebutkan bahwa Tentara Nasional Indonesia merupakan tentara profesional yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Tampak UU ini lebih menekankan TNI sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan, bahkan bukan mempraktikkan politik kekuasaan, melainkan sebagai politik kenegaraan.
Seiring dengan dinamika politik yang terjadi, polemik terkait TNI pun muncul berkaitan dengan terbukanya peluang bagi prajurit TNI untuk juga berkiprah di jabatan-jabatan sipil. Hal ini tertuang dalam UU No 20/2023 tentang Aparatus Sipil Negara, terutama di Pasal 19 yang menyebutkan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri.
Aturan ini kemudian membangunkan memori publik soal praktik Dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Apalagi, dengan UU 20/2023 ini yang memberikan ruang keterlibatan TNI dalam jabatan ASN.
Belum reda polemik dalam UU ASN tahun lalu tersebut, tahun ini pemerintah dan DPR membuka upaya revisi terhadap UU TNI No 34/2004. Revisi yang bakal dilakukan, salah satunya terkait TNI dapat menduduki jabatan sipil di sepuluh lembaga atau Kementerian.
Bisa dibayangkan wacana perubahan ini kembali mengingatkan publik soal upaya mengembalikan TNI ke barak dan fokus dalam urusan pertahanan negara. Wacana pelibatan TNI ke dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian sedikit banyak melahirkan kekhawatiran publik.
Apalagi, revisi sebelumnya juga melahirkan sorotan publik, mulai dari penambahan usia pensiun prajurit perwira menjadi 60 tahun, sedangkan bintara dan tamtama di angka 58 tahun. Termasuk juga revisi yang menghasilkan adanya penambahan jabatan wakil panglima TNI.
Pada akhirnya, perbincangan terkait revisi terhadap UU TNI saat ini tidak bisa dilepaskan pada memori publik soal bagaimana dulu di era sebelumnya keterlibatan TNI dalam urusan politik pemerintahan begitu kuat, termasuk dalam urusan politik elektoral di pemilihan umum. (LITBANG KOMPAS)