Perkuat Nilai Persatuan dan Toleransi sejak Dini
Pendidikan nilai Pancasila dan pembentukan karakter siswa penting dilakukan untuk memperkuat persatuan bangsa.
Rapor iklim kebinekaan dan indeks karakter siswa untuk semua jenjang pendidikan di semua provinsi masih menjadi catatan bersama untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila. Urgensi untuk menumbuhkan dan memperkuat nilai persatuan dan toleransi sejak dini.
”Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045", tema peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2024 yang diperingati setiap tanggal 1 Juni, mengingatkan bahwa untuk mencapai Indonesia Emas yang maju, mandiri, dan berdaulat, pengamalan nilai-nilai Pancasila harus diperkuat sebagai fondasi yang dapat mempersatukan bangsa tanpa memandang perbedaan.
Komitmen ini perlu mendapat atensi dari semua lapisan masyarakat, mengingat praktik-praktik yang menyimpang dari nilai-nilai luhur Pancasila masih kerap terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Misalnya baru-baru ini terjadi keributan antara warga dan sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) di RT 007 RW 002, Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten, yang diliputi oleh isu kebebasan beragama. Kekerasan yang masih terjadi di lingkungan pendidikan juga memberikan gambaran masih rapuhnya pengamalan Pancasila.
Potensi munculnya konflik-konflik akibat adanya perbedaan di negara yang majemuk ini bak api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat berkobar menyebabkan ”kebakaran”.
Oleh karena itu, nilai-nilai luhur Pancasila harus betul-betul tertanam dan mengakar dalam jiwa seluruh bangsa Indonesia. Apalagi, Pancasila yang merupakan dasar negara dimaknai sebagai pedoman dan prinsip dasar dalam kehidupan.
Sebagai bangsa majemuk yang memiliki beragam suku, agama, ras, hingga adat dan kebudayaan, persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa harus dijunjung tinggi agar hidup rukun dan harmonis tidak terpecah belah.
Nilai yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila yang berbunyi ”Persatuan Indonesia” menjadi landasan bangsa Indonesia untuk mempersatukan warga negara dalam keberagaman tersebut.
Tak berlebihan jika problem persatuan dan kesatuan bangsa menjadi catatan dan mendapat perhatian masyarakat.
Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 23-25 April 2024 menemukan, empat dari 10 responden menilai rasa persatuan dan nasionalisme rakyat Indonesia saat ini masih rendah, bahkan 8,4 persen di antaranya menilai sangat rendah.
Baca juga : Hari Lahir Pancasila 1 Juni, Bagaimana Sejarah dan Latar Belakang Politiknya?
Memupuk persatuan sejak dini
Selain persatuan sebagaimana diamanatkan sila ketiga Pancasila, semboyan di lambang negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda, tetapi tetap satu juga, harus betul-betul dipahami maknanya. Oleh karena itu, urgen untuk memupuk rasa persatuan sejak dini yang antara lain dilakukan melalui pendidikan di sekolah.
Hal ini juga sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang menitikberatkan pada pengembangan soft skill dan karakter siswa untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila yang selain kompeten dan berkarakter juga berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu religius, sosial, mandiri, patriotisme, kebersamaan, demokratis, dan berkeadilan.
Sejatinya pendidikan akan nilai-nilai luhur Pancasila sudah diajarkan dan menjadi salah satu mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan sejak era Orde Lama hingga kini, hanya berganti-ganti nama.
Pada masa Orde Baru (Kurikulum 1975 dan 1984) kita mengenal pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian, dalam Kurikulum 1994, PMP beralih nama ke Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Pascareformasi, masa Kurikulum 2004 dan 2006 nama PPKn berganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan materi dan pendekatan baru.
Sementara pada masa Kurikulum 2013, PKn kembali lagi menjadi PPKn. Memasuki Kurikulum Merdeka, Pendidikan Pancasila disebut secara eksplisit. Meskipun demikian, pada praktiknya Pendidikan Pancasila diterapkan di sekolah pengguna Kurikulum Merdeka. Sementara itu, sekolah yang masih menerapkan Kurikulum 2013 tetap PPKn.
Sayangnya perjalanan panjang pembelajaran Pancasila di sekolah selama ini masih banyak kelemahan sehingga tidak dijiwai karena orientasinya hanya pada nilai.
Penekanannya lebih pada sisi kognitif, pembelajaran yang hanya dimaknai sebagai pengetahuan, kemudian dihafalkan, lalu diujikan. Tekanan pada sisi penghayatan, pelaksanaan, pengamalan, dan pembiasaan masih lemah. Siswa hanya menjadi obyek, bukan subyek pembelajaran.
Hal ini menjadi tantangan pelaksanaan Kurikulum Merdeka sebagai salah satu program Merdeka Belajar yang mulai digaungkan tahun 2019. Terlihat dari rapor pendidikan sebagai capaian hasil asesmen nasional tahun 2022.
Pada penilaian Iklim Kebinekaan perihal bagaimana lingkungan sekolah menyikapi keberagaman seperti perbedaan individu, identitas, serta latar belakang sosial-budaya dan mengenai komitmen kebangsaan, mayoritas dari 34 provinsi masih dalam kategori ”merintis” untuk semua jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA/SMA).
Kategori merintis artinya satuan pendidikan baru pada tahap mulai mengembangkan suasana proses pembelajaran yang menjunjung tinggi toleransi agama/kepercayaan dan budaya; mendapatkan pengalaman belajar yang berkualitas; mendukung kesetaraan agama/kepercayaan, budaya, dan jender; serta memperkuat nasionalisme.
Pada jenjang SD/sederajat hanya Provinsi Bali dan DI Yogyakarta yang iklim kebinekaannya dinilai sudah ”membudaya”. Artinya, satuan pendidikan sudah mampu menghadirkan suasana proses pembelajaran yang menjunjung tinggi toleransi agama/kepercayaan dan budaya; mendapatkan pengalaman belajar yang berkualitas; mendukung kesetaraan agama/kepercayaan, budaya dan jender, serta memperkuat nasionalisme. Adapun SD di DKI Jakarta masih dalam kategori merintis.
Sementara pada jenjang SMP/sederajat, ada 11 provinsi yang masuk kategori membudaya iklim kebinekaannya, yaitu selain Bali dan DI Yogyakarta, ada DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat.
Untuk jenjang SMA/SMK/sederajat, sudah ada 15 provinsi (44 persen) rapor iklim kebinekaannya sudah membudaya. Empat provinsi lainnya adalah Gorontalo, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Menariknya, untuk jenjang SMA, dari semua gugus pulau, hanya provinsi di Pulau Kalimantan yang sudah dalam iklim kebinekaan yang membudaya. Jika dikaitkan dengan Indeks Kota Toleran Tahun 2023, Kota Singkawang di Kalimantan Barat berada di peringkat pertama sebagai kota yang paling toleran.
Iklim kebinekaan yang sudah membudaya di sekolah-sekolah di sana menjadi salah satu cerminan budaya toleran sudah dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Toleransi agama dan budaya menjadi salah satu indikator penilaian iklim kebinekaan.
Untuk mengetahui apakah profil pelajar Pancasila sudah terbentuk pada siswa, Indeks Karakter menunjukkan hasilnya. Indeks Karakter mengukur tingkat karakter pelajar Pancasila yang bersifat holistik mencakup komponen pengetahuan, afektif, keterampilan, dan perwujudan dalam perilaku.
Hasilnya dari rapor pendidikan terlihat Indeks Karakter untuk semua jenjang pendidikan di semua provinsi mayoritas masih berkembang. Artinya, murid terbiasa menerapkan nilai-nilai karakter pelajar Pancasila yang berakhlak mulia, bergotong royong, mandiri, kreatif dan bernalar kritis, serta berkebinekaan global dalam kehidupan sehari-hari.
Masih sedikit provinsi (hanya tujuh) murid di jenjang SMA yang sudah proaktif dan konsisten menerapkan nilai-nilai karakter pelajar Pancasila.
Melihat capaian dari rapor pendidikan tersebut, masih berat tugas guru, orangtua, sekolah, dan pemerintah untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai karakter yang memengaruhi tingkah laku siswa dalam kehidupannya.
Apalagi, anak-anak inilah yang nanti akan berperan mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Fondasi yang kuat dalam wujud persatuan tak dapat ditawar lagi dan harus dipupuk sejak dini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Hari Lahir Pancasila, dari BPUPKI hingga BPIP