Sosialisasi Kelas Tunggal dan Layanan BPJS Kesehatan Perlu Ditingkatkan
Kualitas layanan masih jadi sorotan dalam rencana penerapan kelas rawat inap standar dan nilai iuran BPJS Kesehatan.
Rencana pemerintah mengubah BPJS Kesehatan menjadi kelas rawat inap standar (KRIS) atau kelas tunggal sudah diwacanakan sejak 2023.
Dalam hitungan sebulan ke depan, KRIS akan mulai diterapkan di seluruh rumah sakit. Respons masyarakat cenderung menerima kebijakan tersebut asalkan kualitas layanan tenaga medis turut ditingkatkan.
Presiden Joko Widodo secara resmi menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Penerapan KRIS akan dilakukan secara bertahap mulai 30 Juni 2024 dan paling lambat 30 Juni 2025. Meski begitu, kebijakan ini belum sepenuhnya dipahami masyarakat.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 20-22 Mei 2024, sebagian besar responden mengaku belum atau tidak memahami sama sekali terkait aturan baru KRIS.
Sementara itu, mereka yang mengaku tahu, mendapatkan informasi terkait KRIS dari asupan konten pemberitaan dan perbincangan di media sosial. Lainnya, dari tayangan berita di televisi, laman berita daring, dan sebagian kecil dari laman resmi pemerintah.
Hal ini tentu menjadi persoalan mendesak yang harus diperhatikan pemerintah terkait sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai kanal media maupun turun langsung ke lapangan.
Jika berkunjung ke laman Kementerian Kesehatan maupun BPJS Kesehatan, tidak ada informasi lengkap tentang KRIS, apalagi terkait aturan, prosedur masyarakat menggunakan layanan, atau tahap penerapannya secara nasional.
Di media sosial, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu usaha lebih untuk menjangkau masyarakat agar lebih dapat memahami aturan baru KRIS. Apalagi dalam ruang narasi di media sosial, publik masih gaduh dengan aturan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Kebijakan pemerintah yang tidak dipahami oleh masyarakat pada akhirnya menjadi hambatan besar dalam implementasi ketika mulai diberlakukan. Untuk itu peningkatan sosialisasi terkait kebijakan kelas rawat inap standar ini harus dilakukan.
Hingga saat ini, sebanyak 270,49 juta jiwa tercatat dalam kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal tersebut menggambarkan besarnya cakupan masyarakat yang terlindungi JKN dan menjadi program strategis dalam pembangunan kesehatan nasional. Maka, masyarakat pun berhak mendapatkan informasi yang utuh dan jelas terkait aturan baru yang menyangkut maslahat hidupnya.
Baca juga : Kaji Ulang KRIS Satu Ruang Perawatan
Diterima dengan syarat
Berkaitan dengan penerimaan masyarakat, lebih dari setengah responden (62,8 persen) sebenarnya menerima penyederhanaan sistem kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan menjadi KRIS.
Penerimaan ini bisa jadi dikarenakan semua peserta BPJS Kesehatan akan memperoleh kualitas ruang perawatan yang relatif serupa dengan KRIS tersebut, artinya kelas III dalam layanan BPJS Kesehatan akan dihapus. Peserta BPJS kelas III direncanakan akan dinaikkan kelasnya ke kelas II dan kelas I.
Seiring dengan penerapan KRIS, wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga muncul ke publik. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan iuran BPJS Kesehatan akan dijadikan satu tarif atau tunggal usai pemberlakuan KRIS tahun depan. Besaran kenaikan iuran tersebut masih dibicarakan dengan sejumlah pihak dan hampir dipastikan tahun ini iurannya tidak berubah.
Tentu saja, kecenderungannya masyarakat menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tapi mau tidak mau akan mengikuti aturan pemerintah yang berlaku. Oleh sebab itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan pun perlu diimbangi dengan sejumlah hal agar masyarakat tidak semata terasa dibebani. Masyarakat berhak menerima manfaat langsung ketika iurannya dinaikkan.
Setidaknya ada tiga hal yang disoroti publik agar pemerintah mampu menaikkan kualitas penerapan BPJS Kesehatan. Pertama, perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan tenaga medis yang dipilih oleh 35,2 persen responden. Pada praktiknya, persoalan kualitas layanan tenaga medis masih menjadi persoalan mendasar, seperti membeda-bedakan status pasien BPJS dan non-BPJS atau penanganan yang relatif lambat.
Kedua, publik meminta pertimbangan agar besaran biaya tidak membebani masyarakat. Saat ini, nominal iuran yang berlaku bagi peserta JKN masih mengacu pada Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Untuk peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas I, iuran masih sebesar Rp 150.000, kelas II Rp 100.000 dan kelas III Rp 42.000 per orang per bulan dengan subsidi sebesar Rp 7.000 per orang per bulan dari pemerintah, sehingga yang dibayarkan peserta kelas III Rp 35.000.
Ketiga, pemerintah perlu memperbaiki dan meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan seperti kelengkapan alat medis dan ketersediaan ruangan. Pada praktiknya, pasien peserta BPJS seringkali “dioper-oper” dari faskes yang satu ke yang lain karena dua alasan tersebut.
Dalam situasi tersebut, tidak jarang masyarakat yang akhirnya beralih memanfaatkan asuransi kesehatan pribadi dan tidak menerima manfaat dari JKN.
Dalam Perpres 59/2024 terdapat regulasi mengenai 12 kriteria pelayanan, standar fasilitas, dan kelengkapan ruang rawat inap dalam sistem KRIS BPJS Kesehatan.
Kriteria itu meliputi komponen bangunan yang tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, nakas per tempat tidur, temperatur ruangan, dan pembagian ruang rawat.
Selain itu, juga kriteria kepadatan ruangan, tirai/partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap, kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas, dan outlet oksigen.
Terkait ketersediaan ruangan, penerapan KRIS merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021. Dalam PP itu disebutkan rumah sakit swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total ruangan yang ada, sedangkan rumah sakit pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen.
Bagi rumah sakit pemerintah, kebijakan untuk mengalokasikan 60 persen ruang perawatan tentunya bisa sepenuhnya ditanggung pemerintah.
Namun bagi Kalangan rumah sakit (RS) swasta, hal itu tentunya mengalami tantangan, terutama untuk melakukan perbaikan ruang rawat inap. Rumah sakit swasta memerlukan investasi dana lagi untuk merenovasi ruang perawatan sesuai KRIS.
Baca juga : Penerapan KRIS Harus Mencakup Standardisasi Pelayanan BPJS
Benahi dulu
Selain tiga hal tersebut, masyarakat menyoroti permasalahan lain seperti alur layanan yang lebih ringkas. Di linimasa media sosial, sejumlah tenaga kesehatan mengaku bahwa alur pengisian formulir untuk satu pasien BPJS Kesehatan terbilang rumit dan memakan durasi waktu cukup lama. Padahal persoalan semacam ini dapat diatasi dengan penerapan sistem data satu atap.
Selain itu, masyarakat juga menuntut keadilan dalam penerapan pungutan iuran BPJS Kesehatan. Menurut mereka, masih banyak masyarakat yang tidak tertib membayar iuran dan angsuran atau premi setelah mendapatkan layanan.
Ketegasan pemerintah untuk menindak masyarakat yang tidak tertib iuran atau premi pun masih jadi persoalan penting yang diprioritaskan.
Persoalan penunggakan iuran itu tentu akan menimbulkan sentimen negatif di masyarakat ketika kenaikan iuran BPJS Kesehatan diberlakukan.
Masyarakat yang melihat ketidaktegasan pemerintah terhadap mereka yang tidak membayar iuran atau premi, bisa jadi memilih ikut untuk tidak membayar juga.
Deretan persoalan dalam penerapan BPJS Kesehatan saat ini masih perlu dibereskan terlebih dahulu sebelum menerapkan aturan baru lainnya. Kualitas layanan pun masih harus ditingkatkan. Bagaimanapun juga, aturan baru jangan sampai akhirnya menambah persoalan baru. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Membedah Rencana Kelas Tunggal BPJS Kesehatan