Mengapa China Menguasai Pasar Mobil Listrik Dunia?
China kemungkinan besar akan mengendalikan peradaban kendaraan listrik dunia.
Hingga akhir tahun 2023, sekitar 40 juta unit mobil listrik telah beredar di jalanan secara global. Sebagian besar produksi kendaraan listrik itu terkonsentrasi di tiga wilayah utama, yakni China, Eropa, dan Amerika Serikat. Ketiga kawasan ini menyumbang sekitar 95 persen registrasi mobil listrik secara internasional. China menjadi penyumbang terbanyak hingga saat ini.
Berdasarkan Global EV Outlook 2024 dari Badan Energi Internasional (IEA) disebutkan pada tahun 2023 terjadi penambahan sekitar 14 juta unit kendaraan listrik baru di seluruh dunia. Penambahan ini sekitar enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan situasi tahun 2018 sehingga menunjukkan pasar mobil listrik kian menguat dan diterima oleh pasar.
Pada tahun 2023, registasi kendaraan listrik terbesar di dunia terkonsentrasi di China dengan proporsi secara global hingga kisaran 60 persen. Selanjutnya, disusul oleh Eropa hingga sekitar 25 persen, Amerika Serikat kisaran 10 persen, serta sisanya dari kawasan lain.
Fenomena ini tentu saja akan memengaruhi tren mobil listrik yang akan beredar di jalanan di berbagai belahan dunia. Kendaraan listrik dari China, Eropa, dan AS akan mendominasi tren atau model yang berkembang secara internasional. Kemungkinan besar mobil listrik China akan menjadi model yang akan mendominasi di banyak negara seiring masifnya produksi mobil listrik dari negara tirai bambu ini.
Ada sejumlah faktor yang mendorong China berpotensi menjadi produsen mobil listrik terbesar dan terkuat di dunia untuk saat ini dan di masa mendatang. Salah satunya adalah kepemilikan sumber daya alam mineral kritis (critical minerals) dan juga industri pengolahan yang mendukung pengembangan produksi baterai kendaraan listrik. China memiliki sumber daya litium dan grafit yang berlimpah di dalam negerinya serta melakukan pemurnian nikel dan kobalt berskala besar di sejumlah negara.
Untuk saat ini, China menduduki peringkat kedua di dunia dalam memproduksi litium dengan besaran kontribusi produksi sekitar 23 persen. Memang produksi litium domestiknya menduduki peringkat kedua, tetapi dalam hal pemurnian litium, China diperkirakan pada tahun 2030 berada di peringkat pertama dengan share refining hingga 57 persen. Hal ini membuat China sangat mendominasi pasar litium dunia sehingga relatif mudah mengusai komoditas litium yang sangat diperlukan dalam produksi baterai listrik.
Selain litium, komoditas lain yang sangat berlimpah di China adalah grafit. Bahan mineral tambang ini berfungsi sebagai anoda baterai yang berperan penting dalam proses pengisian daya listrik pada baterai. Pada tahun 2030, produksi komoditas grafit dari China akan menguasai sekitar 82 persen suplai dunia, dengan 93 persen dari suplai China itu digunakan untuk keperluan produksi baterai.
Baca juga: Baterai Litium yang Bisa Terisi dalam Hitungan Menit Dikembangkan
Komoditas untuk komponen baterai berikutnya yang juga dikuasai China adalah nikel dan kobalt. Meskipun untuk kedua mineral tambang ini bukan kekayaan alam asli dari negeri tersebut, China berusaha menambang dan memurnikannya dengan bekerja sama dengan sejumlah negara produsen. Dengan Indonesia misalnya, China menjalin kerja sama untuk memurnikan nikel yang menjadi andalan Indonesia di kancah global.
Dengan produksi pertambangan nikel Indonesia yang menguasai sekitar 62 persen global, China berusaha bekerja sama untuk memurnikannya. Ada yang dimanfaatkan untuk memproduksi besi, baja, dan alumunium, tetapi ada pula yang dimanfaatkan untuk memproduksi material untuk baterai kendaraan listrik berbasis nikel.
Meskipun tidak memiliki sumber daya alamnya, China diperkirakan pada tahun 2030 mampu melakukan pemurnian nikel hingga menguasai sekitar 21 persen pasar global. Indonesia yang sangat berlimpah komoditas ini hanya mampu melakukan refining sekitar 44 persen.
Pun demikian dengan kobalt, China mampu menjalin kerja sama dengan sejumlah negara produsen utama dunia. Misalnya saja dengan Kongo yang mengusai 66 persen produksi kobalt dunia, Indonesia yang menguasai 10 persen share global, dan Rusia yang menyumbang sekitar 3 persen produksi internasional. Dengan jalinan bisnis itu, China akan tampil sebagai produsen terbesar hasil pemurnian kobalt secara global pada tahun 2030 hingga menguasai sekitar 74 persen.
Baterai kendaraan
Dengan suplai bahan baku tersebut, China memiliki keunggulan dalam memproduksi kendaraan listrik. Dari segi suplai daya listrik, China berpeluang besar mengembangkan kendaraan listrik dengan berbagai jenis baterai.
Secara umum, baterai litium ion terbagi dalam beberapa tipe, antara lain NCA, NMC, dan LFP. NCA merupakan singkatan dari lithium nickel cobalt aluminum oxide. Tipe ini memiliki kapasitas voltase yang lebih besar dibandingkan dengan NMC (lithium nickel manganese cobalt oxide) dan LFP (lithium iron phosphate).
Perbedaan kapasitas voltase ini disebabkan komposisi material baterai yang berbeda. NCA memiliki material nikel yang dominan dibandingkan unsur lainnya, sedangkan NMC komposisi kandungan nikelnya hampir merata dengan unsur lainya, dan LFP tidak menggunakan unsur nikel.
Menurut riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perbedaan ketiga jenis baterai itu terletak pada kapasitas voltase yang dihasilkan. Voltase listrik baterai NCA sekitar 3,7 volt per sel, sedangkan LFP sekitar 3,2 volt per sel. Baterai NMC berada pada rentang NCA dan LFP. Hal ini menyebabkan baterai NCA memiliki spesifikasi yang tinggi dan lebih ringkas dalam hal ukuran.
Dapat dideskripsikan jika baterai NCA hanya memerlukan 100 sel baterai, maka baterai LFP membutuhkan hingga 200 sel baterai. Dengan demikian, dimensi ukuran baterai tipe LFP akan lebih besar daripada tipe NCA.
Baca juga: Baterai Kendaraan Listrik Ditarget Sudah Diproduksi pada 2024
Hingga saat ini, sebagian besar baterai kendaraan listrik tipe NCA dan NMC digunakan oleh produsen dari Amerika Serikat, Eropa, dan Korea Selatan, sedangkan tipe LFP banyak digunakan oleh produsen dari China.
Menurut laman powork lithium compound, baterai NCA dan NMC sebagian besar diterapkan pada mobil yang mengonsumsi lebih sedikit daya dan mendukung kecepatan dan jarak jauh. Secara teoretis, mobil yang menggunakan baterai litium NCA dapat berjalan lebih jauh daripada mobil yang menggunakan jumlah sel baterai LFP yang sama.
Baterai tipe NCA dan NMC diuntungkan dengan kepadatan energi yang tinggi dari setiap sel baterainya dibandingkan dengan tipe LFP. Dengan demikian, tipe NCA dan NMC dapat menghemat ruang atau dimensi baterai dibandingkan dengan tipe LFP.
Spesifikasi ini membuat baterai NCA dan NMC lebih tepat untuk jenis kendaraan yang relatif kecil karena efisien secara ukuran dan output tenaga yang dihasilkan. Sebaliknya, tipe LFP lebih cenderung digunakan untuk kendaraan-kendaraan bervolume besar, seperti bus listrik, ataupun kendaraan listrik angkut berat.
Namun, dengan kemajuan teknologi yang semakin mutakhir, beberapa produsen kendaraan listrik asal China mampu mengembangkan baterai LFP untuk kendaraan ukuran kecil, seperti mobil, sepeda motor, dan juga sepeda listrik.
Kemajuan China itu patut diapresiasi karena mampu bersaing dengan produsen-produsen mobil listrik andal dunia, seperti Tesla dan Hyunday. Bahkan, beberapa waktu lalu Tesla dikabarkan memproduksi Tesla model Y dengan menggunakan baterai tipe LFP yang dipasok dari China.
Tingginya penetrasi pasar kendaraan listrik China berbaterai LFP itu membuat proporsi pangsa pasar baterai LFP kian meningkat. Menurut IEA, proporsinya pada tahun 2023 mendominasi secara global, hingga sekitar 50 persen. Lebih banyak dari baterai tipe NCA atau NMC yang kadar nikelnya tinggi.
Sekitar 70 persen produsen kendaraan listrik di China menggunakan baterai jenis LFP, sekitar 25 persen lainnya menggunakan jenis baterai berkadar nikel tinggi, dan sisanya lagi menggunakan nikel berkadar rendah.
Produsen kendaraan listrik yang menggunakan baterai berkadar nikel tinggi berpusat di AS dan Eropa. Produksi baterai jenis LFP di kedua kawasan itu tergolong rendah, yakni masing-masing kurang dari 10 persen.
Dengan memiliki semua bahan material pendukung produksi baterai tersebut, China berpeluang ”mengendalikan” harga komoditas baterai. Indikasinya terlihat dari tren harga baterai jenis LFP yang berpengaruh linier terhadap harga baterai jenis NCA dan NMC. Turunnya harga baterai LFP pada tahun 2023 diikuti pula dengan turunnya harga baterai jenis NCA dan NMC.
Oleh sebab itu, bukan mustahil apabila peradaban kendaraan listrik dunia secara tidak langsung akan dikendalikan China. Negara ini mampu mengembangkan teknologi baterai jenis LFP, NCA, dan NMC secara bersama-sama tanpa kesulitan suplai bahan bakunya.
Bekerja sama dengan China ini dapat menjadi batu loncatan suatu negara untuk membangun alih teknologi terkait pengembangan kendaraan listrik beserta teknologi baterainya. Indonesia sebagai salah satu negara produsen nikel dan kobalt yang relatif besar di dunia dapat memanfaatkan hal ini demi kepentingan kemandirian nasional. (LITBANG KOMPAS)