Menyelisik Kualitas Surplus Neraca Perdagangan Era Pemerintahan Joko Widodo
Kualitas neraca perdagangan perlu terus dibenahi dan diperkuat karena nilai surplusnya cenderung relatif menurun.
Empat tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia konsisten mengalami surplus. Pencapaian demikian patut diapresiasi karena menjaga stabilitas ini tidaklah mudah di tengah geopolitik dunia yang sedang bergejolak. Meski demikian, kualitas perdagangan ini perlu terus dibenahi dan diperkuat karena nilai surplusnya cenderung relatif menurun.
Sejak Mei 2020, neraca perdagangan barang Indonesia tercatat konsisten mengalami surplus selama 48 bulan berturut-turut. Terbaru, pada April 2024 surplusnya mencapai 3,56 miliar dollar AS. Nilai ini diperoleh dari total ekspor sebesar 19,62 miliar dollar AS dan nilai impor keseluruhan 16,06 miliar dollar AS.
Surplus tersebut lebih banyak ditopang oleh sektor nonmigas sebesar 5,17 miliar dollar AS. Komoditas utama penyumbangnya adalah batubara dan minyak sawit beserta turunannya. Keduanya masuk dalam kelompok bahan bakar mineral serta lemak dan minyak hewan atau nabati. Sementara itu, untuk sektor migas tereduksi sebesar 1,61 miliar dollar AS dengan komoditas penyumbang defisit terbesarnya adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Kinerja surplus tersebut patut diapresiasi lantaran di tengah gejolak geopolitik global, perdagangan Indonesia masih menguntungkan. Berdasarkan catatan bulan April tersebut, India, Amerika Serikat (AS), dan Filipina menjadi mitra dagang penyumbang surplus terbesar. Relatif membaiknya ekonomi ketiga negara itu tampaknya turut mendorong permintaan akan produk-produk dari Indonesia.
Merujuk catatan BPS sebelumnya, ekonomi AS pada triwulan I-2024 tumbuh tiga persen di tengah gejolak inflasi yang tengah dialaminya. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, inflasi AS sedikit melambat pada awal tahun ini. Pada periode yang sama, laju pertumbuhan di India juga diperkirakan masih cukup tinggi, yakni sekitar 7,3 persen.
Baca juga: Neraca Perdagangan RI Surplus Beruntun Empat Tahun Terakhir
Kondisi makro negara tersebut membuat permintaan komoditas ekspor dari Indonesia relatif terjaga sehingga berdampak positif pada transaksi perdagangan. Surplus neraca perdagangan ini menjadi penyelamat cadangan devisa negara di saat kinerja moneter Tanah Air tengah tertatih. Sebagaimana diketahui, sektor keuangan masih diperhadapkan pada persoalan suku bunga The Fed yang masih bertengger di angka yang cukup tinggi (higher for longer) di kisaran 5,5 persen.
Meski Bank Indonesia sudah meningkatkan suku bunga acuan, arus modal keluar masih tak tertahankan hingga pekan kedua Mei ini. Rupiah pun masih terjerembap di angka lebih dari Rp 16.000 per dollar AS.
Kualitas surplus
Kendati demikian, tak bisa dimungkiri bahwa kualitas surplus perdagangan di Indonesia cenderung menurun. Hal ini tampak dari melambatnya pertumbuhan surplus neraca perdagangan, baik secara bulanan maupun tahunan. Pada April 2024, surplus secara bulanan yang dibandingkan Maret 2024 melambat sebesar -1,02 persen. Secara tahunan, surplus pada April 2024 ini melambat sebesar -0,38 persen jika dibandingkan dengan posisi April 2023.
Tak hanya itu, sepanjang tahun ini, perlambatan surplus perdagangan sudah terjadi setidaknya pada Januari-April. Nominal surplusnya hanya 11 miliar dollar AS atau lebih rendah daripada Januari-April 2023 yang masih mampu mencapai 16 miliar dollar AS. Dengan kata lain, melambat sekitar 32 persen.
Gejala perlambatan itu mulai tampak pada 2023. Dengan membukukan surplus sebesar 36,9 miliar dollar AS sepanjang 2023, menandakan telah terjadi perlambatan surplus neraca perdagangan sekitar 32 persen. Sebab, pada tahun sebelumnya mampu menyentuh angka 54,4 miliar dollar AS.
Gejolak geopolitik global yang tengah memanas saat negara-negara berusaha memulihkan diri dari pandemi membuat permintaan barang ekspor dari Tanah Air sedikit tertahan. Pada saat bersamaan, harga sejumlah komoditas sempat menurun pada tahun 2023 dan tak lagi setinggi saat masa-masa pandemi.
Naik turunnya harga komoditas global sangat memengaruhi kinerja neraca perdagangan Indonesia. Tergambar jelas dari penurunan pendapatan ekspor tahun 2023 itu hampir di semua komoditas utama, seperti bahan bakar mineral; lemak dan minyak hewani/nabati; serta bijih, kerak, dan abu logam.
Baca juga: Depresiasi Rupiah Tidak Serta-merta Dongkrak Kinerja Ekspor
Kondisi tersebut harus menjadi bahan kajian dan evaluasi penting bagi segenap pemangku kepentingan di Tanah air. Ekspor Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh komoditas bahan mentah, sedangkan komoditas raw material ini akan sangat bergantung pada kondisi global. Saat harga-harga di tingkat dunia naik, Indonesia akan meraup keuntungan. Namun, ketika harga komoditas global merosot, kinerja ekspor bisa terperosok lebih dalam.
Menurut catatan Kementerian Perdagangan, sekitar tiga perempat dari total ekspor nasional berasal dari industri pengolahan, tetapi masih berbasis komoditas ekstraktif. Pengolahan yang dilakukan relatif minim. Produk ekspor yang benar-benar hasil olahan, seperti rajut dan hasil olahan pertanian, masih sangat sedikit dan masih tercatat di barisan terbawah, bukan unggulan.
Selanjutnya, jika dibandingkan antartahun, laju kinerja ekspor cenderung lebih rendah daripada impor. Misalnya, sepanjang Januari-April 2024 total ekspor nasional turun 5,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Sementara itu, impor hanya turun 0,4 persen. Setidaknya sepanjang 2021 hingga 2024 kondisi serupa terus berulang.
Dengan kata lain, meski terjadi surplus perdagangan, kinerja ekspor cenderung relatif lebih rendah daripada impor. Jika terus terjadi, hal itu akan mengancam keberlanjutan surplus neraca perdagangan di masa mendatang.
Perlambatan kinerja ekspor tersebut terkonfirmasi dari laju pertumbuhan PDB dari sisi pengeluaran, khususnya dari ekspor dan impor. Sejak 2022, besaran pertumbuhan ekspor kian mengecil, tersisa 1,32 persen pada tahun 2023. Padahal, tahun 2022 mampu mencapai 16,23 persen dan tahun 2021 lebih besar lagi hingga 17,99 persen.
Pemerintahan Jokowi
Di tengah ketidakpastian global, ragam strategi untuk mempertahankan kinerja perdagangan internasional perlu dilakukan. Terutama demi menjaga surplus neraca perdagangan yang terus berkelanjutan.
Inovasi untuk menghasilkan produk hasil olahan yang mampu terserap oleh pasar luar negeri harus terus diupayakan agar ekspor Nusantara tak hanya bergantung pada komoditas mentah yang rentan terimbas gejolak global.
Hilirisasi seperti yang dilakukan pada nikel bisa menjadi salah satu contohnya. Meskipun pengolahan yang dilakukan juga masih tampak minor, dari sisi perdagangan, nikel cukup menjanjikan. Tren ekspornya terus naik dari waktu ke waktu. Tahun 2019, nikel hanya menyumbang 0,8 miliar dollar AS pada ekspor nasional.
Namun, setelah larangan mengekspor nikel mentah pada 2020 diberlakukan dan diwajibkan untuk melakukan pengolahan, kinerja ekspor komoditas nikel naik hingga kini mencapai 6,8 miliar dollar AS. Hilirisasi dan pengolahan nikel itu dapat dijadikan acuan bahwa kebijakan tersebut juga dapat diterapkan pada komoditas dan produk lainnya.
Baca juga: Surplus Perdagangan Maret akibat Turunnya Impor dan Faktor Musiman
Jika diamati sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kinerja perdagangan internasional Tanah Air dapat dikatakan cukup mengesankan. Surplus neraca perdagangan relatif sering dibukukan, artinya perdagangan tersebut menguntungkan.
Terdapat pola yang cukup menarik, pada masa awal pemerintahan, baik periode pertama dan kedua, selalu dibuka dengan neraca perdagangan defisit. Tahun 2014, neraca perdagangan defisit sebesar 2,2 miliar dollar AS, tetapi kemudian disusul surplus selama tiga tahun berturut-turut.
Hanya saja, menjelang masa akhir jabatan, tepatnya pada tahun 2018 dan 2019, dan menjelang dimulainya kembali periode kedua, neraca perdagangan kembali defisit. Gejolak global akibat geopolitik AS-China pada kala itu menjadi salah satu penyebabnya. Ketegangan dua raksasa ekonomi dunia itu cukup memorak-porandakan ekonomi global.
Kini, perdagangan global tergolong relatif stabil. Sejak 2020 perdagangan internasional cukup menguntungkan Indonesia alias selalu surplus. Meski demikian, kualitasnya cenderung menurun. Akankah Presiden Joko Widodo kembali menutup masa jabatan dengan kemerosotan kinerja perdagangan internasional? Pasalnya, kondisi ekonomi global juga kembali bergejolak sama seperti ketika menjelang akhir masa jabatan periode pertama.
Namun, bukan soal masa pemerintahan dan keberhasilannya menggawangi perdagangan internasional saja. Lebih dari itu, perdagangan internasional tetap harus dioptimalkan kinerjanya demi kuatnya ekonomi bangsa.
Semakin banyak surplus dalam neraca perdagangan menandakan semakin banyak cadangan devisa valas yang dimiliki sehingga memperkuat posisi kurs rupiah di dalam negeri. Semakin stabil mata uang rupiah, inflasi cenderung relatif mudah dikontrol sehingga perekonomian kondusif untuk berinvestasi. (LITBANG KOMPAS)