Tantangan Ganda Industri Alas Kaki Nasional
Industri alas kaki nasional masih menghadapi efek domino penurunan permintaan global sejak pandemi Covid-19.
Industri alas kaki nasional masih menghadapi efek domino penurunan permintaan global sejak pandemi Covid-19. Di tingkat domestik, industri ini juga masih dibelit beragam persoalan. Diperlukan kebijakan khusus agar kinerja industri padat karya ini kembali bersinar.
Alas kaki tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam peradaban manusia. Selain sebagai pelindung kaki, saat ini baik sepatu maupun sandal juga berfungsi sebagai penunjang penampilan dan fashion. Dengan berbagai kebutuhan yang beragam, industri alas kaki terus berkembang dengan aneka model menarik untuk pria ataupun wanita.
Namun, di tengah ketatnya persaingan produk alas kaki di level global, industri alas kaki atau sepatu di Tanah Air justru kian menghadapi tantangan berat hingga tahun ini. Hal itu tecermin dari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang masih membayangi beberapa tahun terakhir.
Salah satunya dialami oleh pabrik PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta, Jawa Barat, pada 30 April lalu. Dalam keterangan resmi seperti dikutip dari Kompas.id (3/5/2024) disebutkan, PT Sepatu Bata Tbk telah melakukan berbagai upaya selama empat tahun terakhir di tengah kerugian dan tantangan industri akibat pandemi dan perubahan perilaku konsumen yang begitu cepat.
Kebijakan perusahaan menghentikan aktivitas pabrik di Purwakarta tersebut karena permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat terus menurun. Selain itu, kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia.
Baca juga: Manajemen Bata: Penutupan Pabrik Sudah Melalui Kajian Mendalam
Tak hanya menimpa pabrik Bata di Purwakarta, sebelumnya pada pertengahan tahun 2023 lalu, PT Nikomas Gemilang (Nikomas) juga melakukan pemangkasan atau PHK karyawan. Kala itu diberitakan, perusahaan menawarkan kepada sekitar 1.600 pekerjanya agar mengundurkan diri secara sukarela. Pasalnya, perusahaan tengah berusaha melakukan efisiensi biaya, salah satunya dari komponen upah buruh.
Penutupan pabrik sepatu yang berujung pada PHK itu seolah menggambarkan masih lesunya kinerja industri alas kaki secara umum. Padahal, industri alas kaki merupakan salah satu sektor manufaktur andalan nasional. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2023 mencapai angka Rp 30,70 triliun. Sementara itu, sepanjang 2023, volume ekspor industri kulit dan alas kaki nasional sebesar 376.200 ton dengan nilai ekspor 7,6 miliar dollar AS.
Beragam persoalan
Menyelisik lebih jauh, ada sejumlah masalah yang sedang membelit subsektor ini. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), seperti dikutip dari sejumlah media, menyebut, salah satu tantangannya adalah kebijakan bea masuk tambahan melalui instrumen safeguard yang dikenakan pada bahan baku berupa tekstil atau kain sepanjang 2019-2022. Alhasil, biaya produksi industri alas kaki melonjak.
Meski safeguard tidak dilanjutkan pada 2023, permohonan izin impor bahan baku alas kaki sempat tertunda lama. Sebab, pabrik-pabrik yang melakukan importasi harus diverifikasi oleh pihak ketiga yang ditunjuk Kementerian Perindustrian.
Selain itu, pemerintah merilis Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang telah berubah dua kali. Dalam aturan tersebut, impor bahan baku alas kaki dikenai larangan dan pembatasan maksimal. Pengimpor wajib memiliki persetujuan impor, laporan surveyor, dan pertimbangan teknis.
Terlebih, banyak pelaku industri alas kaki yang masih memerlukan bahan baku yang kompetitif di pasar, yang selama ini didapatkan secara impor. Namun, dengan adanya pelaku impor secara ilegal, hal ini justru kian membuat resah para pelaku industri persepatuan.
Baca juga: Kementerian Perindustrian: Bata Tutup Pabrik agar Lebih Efisien
Aturan larangan dan pembatasan untuk impor bahan baku dan produk jadi alas kaki yang diterapkan Kementerian Perdagangan memang dilakukan sebagai upaya mencegah impor ilegal, tetapi justru menambah panjang proses birokrasi. Proses administrasi ini pun bisa memakan waktu lama. Kondisi ini bisa berdampak negatif pada sektor industri alas kaki.
Tantangan lain adalah ketentuan verifikasi kemampuan industri yang dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh Kementerian Perindustrian. Dengan adanya pembatasan impor bahan baku, tentu para produsen alas kaki lokal kesulitan bersaing dengan produk impor ilegal. Ujung-ujungnya, kinerja industri alas kaki sulit kembali seperti masa sebelum pandemi.
Pelemahan permintaan pasar dalam negeri serta tekanan bahan baku industri, ditambah maraknya impor ilegal, kian membuat kinerja industri alas kaki Tanah Air sulit pulih seperti layaknya periode prapandemi. Selain itu, tantangan juga muncul dari sisi output, yakni terkait harga jual, pasar, inflasi, dan kondisi perekonomian masyarakat.
Prospek
Terlepas dari beragam tantangan itu, pasar alas kaki di Indonesia sebenarnya masih tetap menjanjikan. Mengutip data Statista.com, pertumbuhan pendapatan tahunan pasar alas kaki nasional rata-rata 5,50 persen pada periode 2024-2028.
Untuk tahun ini, pendapatan pasar alas kaki Indonesia diprediksi mencapai 5,49 miliar dollar AS. Segmen alas kaki kulit diperkirakan menjadi kontributor utama dengan potensi pendapatan 2,34 miliar dollar AS pada tahun ini.
Statista.com juga mencatat, volume pasar alas kaki diperkirakan terus meningkat menjadi 314,50 juta pasang pada tahun 2028. Produk alas kaki ramah lingkungan saat ini banyak diminati konsumen. Selain itu, alas kaki buatan lokal juga cenderung menjadi pilihan utama konsumen. Hal ini didorong oleh kesadaran konsumen dan dukungan terhadap kelompok usaha kecil.
Baca juga: Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Tutup, Presiden: Itu Bagian dari Dinamika Pasar
Di pasar lokal, prospek industri alas kaki juga terbilang menjanjikan. Laporan World Footwear Yearbook 2023 menunjukkan, Indonesia menjadi konsumen produk alas kaki terbesar kelima di dunia dengan total konsumsi 702 juta pasang sepatu atau 3,2 persen dari total konsumsi produk alas kaki dunia.
Sementara itu, Kemenperin menyebut, kondisi industri sepatu nasional terus tumbuh dengan kebijakan pengendalian terhadap impor barang jadi dan jaminan bahan baku. Sebagai salah satu industri andalan di sektor manufaktur, pada triwulan I-2024 terjadi peningkatan kinerja industri kulit dan alas kaki dengan pertumbuhan 5,9 persen secara tahunan. Ekspor industri kulit dan alas kaki meningkat 0,95 persen, sedangkan impornya menurun 1,38 persen.
Perkembangan industri alas kaki di Indonesia, khususnya yang berskala industri kecil menengah, juga berpotensi meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini, Indonesia menduduki posisi ke-4 produsen alas kaki di dunia setelah China, India, dan Vietnam. Pasar utamanya adalah Amerika Serikat, China, Belgia, Jerman, dan Jepang.
Industri alas kaki nasional lebih banyak dihasilkan oleh industri besar dan menengah, baik dari segi nilai maupun dalam jumlah produksi. Untuk sebaran industri kecil dan mikro alas kaki di seluruh Indonesia, 82 persen berada di Jawa Barat dan Jawa Timur. Wilayah Jawa Barat meliputi Bogor, Bandung, dan Tasikmalaya. Adapun wilayah Jawa Timur mencakup Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Magetan.
Ke depan, industri alas kaki nasional bakal terus berkembang mengikuti perkembangan zaman di tengah ketatnya produk alas kaki impor. Berbagai inovasi dan strategi pemasaran perlu dilakukan industri itu, sekaligus menjadi ujian dalam menghadapi perubahan perilaku konsumen. (LITBANG KOMPAS)