Melacak Siapa, Mengapa, dan Bagaimana Terjadinya Kasus Mutilasi di Indonesia
Terdapat sejumlah pola pada ratusan kasus pembunuhan disertai mutilasi di Indonesia sejak kurun 1960-an.
Tragedi Ciamis menambah panjang daftar kasus pembunuhan disertai mutilasi selama beberapa dekade terakhir.
Selama hampir 60 tahun terakhir, setidaknya sudah terjadi ratusan kasus pembunuhan disertai mutilasi di Indonesia. Berdasarkan penelusuran terhadap arsip pemberitaan, dapat ditemukan petunjuk mengenai siapa, mengapa, dan bagaimana pembunuhan disertai mutilasi terjadi. Terdapat pola-pola yang diharapkan membantu pemerintah dan masyarakat mencegah berulangnya kejahatan sadis ini di masa mendatang.
Jumat (3/5/2024) pekan lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan sebuah tragedi memilukan yang menyayat hati. Seorang lelaki paruh baya, TBD (51), tega menghabisi nyawa istrinya sendiri, Y (42), dan memutilasinya menjadi beberapa bagian. Bukan hanya itu, ia bahkan menawarkan potongan tubuh istrinya ke sejumlah tetangga di sekitar rumahnya. Insiden di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang sempat terekam video itu lantas viral di media sosial dan memancing perhatian khalayak luas.
Tindakan mutilasi atau memotong tubuh korban menjadi beberapa bagian memang bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sayangnya, tidak terdapat data resmi terkait jumlah kasus pembunuhan disertai mutilasi. Pasalnya, kasus mutilasi tidak dibedakan secara khusus dari tindak kejahatan pembunuhan lainnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama dan yang baru pun tidak memuat kata ”mutilasi” sebagai sebuah ketentuan tersendiri.
Untuk dapat mengetahui kisaran jumlah kasus mutilasi di Indonesia, Litbang Kompas melakukan penelitian arsip terhadap setidaknya 346 artikel berita Harian Kompas dan media digital lainnya. Hasilnya, terdapat sedikitnya 207 kasus mutilasi yang terjadi di Indonesia dari kurun 1965-2024, termasuk yang terjadi di Ciamis pada pekan lalu.
Baca juga: Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pembunuhan Sadis yang Terus Berulang
Namun, perlu diperhatikan bahwa kasus-kasus mutilasi yang terekam itu hanya mencakup kasus kriminalitas yang ditangani oleh pihak kepolisian dan masuk dalam pemberitaan media. Mempertimbangkan keterbatasan ini, sangat dimungkinkan kasus mutilasi yang terjadi bisa lebih tinggi. Selain itu, kasus-kasus mutilasi yang terjadi dalam konflik atau huru-hara politik dan sosio-kultural, seperti G30S tahun 1965 dan Konflik Sampit pada 2001, juga dikecualikan karena minimnya sumber kredibel dan akurat terkait jumlah korban pemenggalan atau bentuk mutilasi lainnya.
Hasil penelitian ini maka tidak dimaksudkan untuk memperlihatkan kasus yang senyatanya terjadi, tetapi lebih menggambarkan rekam jejak kasus mutilasi di Indonesia. Sejumlah temuan yang ada diharapkan dapat memberikan petunjuk mengenai pola kejahatan mutilasi di republik ini.
Wilayah urban dan pekerja informal
Dari dimensi lini masa kasus mutilasi, setidaknya pemberitaan mengenai tindak kejahatan ini relatif jarang ditemui sampai 1989. Bahkan, sama sekali tidak ditemukan pemberitaan mengenai kasus pembunuhan disertai mutilasi pada kurun 1971-1975 dan 1982-1985. Namun, setelah 1989, pemberitaan kasus mutilasi di Indonesia mulai mengalami peningkatan hingga rata-rata lima kasus per tahun.
Puncak kasus pembunuhan disertai mutilasi di Indonesia terjadi di tahun 2008 dengan total 20 kasus. Tahun ini ditandai dengan salah satu kasus mutilasi paling terkenal di Indonesia, yakni kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap Heri Santoso (40) yang dilakukan oleh Ryan (30) asal Jombang, Jawa Timur. Heri dibunuh dan jasadnya dipotong oleh Ryan menjadi tujuh bagian di sebuah apartemen di bilangan Margonda, Depok. Hasil investigasi dari kepolisian akhirnya menyingkap bahwa Ryan telah melakukan pembunuhan dan mutilasi terhadap 11 orang lainnya.
Selanjutnya, dari aspek sebaran wilayahnya, kasus mutilasi di Indonesia tampak terpusat di daerah urban. Hal ini didapati bahwa sebanyak 83 kasus atau 40 persen pembunuhan disertai mutilasi terjadi di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi).
Banyak kasus mutilasi yang tergolong fenomenal dan sadis terjadi di wilayah metropolitan itu. Selain kasus Ryan yang sudah disebutkan, beberapa di antaranya adalah kasus Siswanto alias ”Robot Gedek” yang membunuh dan memutilasi sedikitnya delapan anak pada tahun 1996, serta kasus pembunuh berantai Baekuni alias ”Babe” pada 2010 dengan korban sedikitnya 14 orang anak, di mana beberapa di antaranya dimutilasi.
Baca juga: Mutilasi Ciamis hingga Bunuh Diri Jakarta, Kecemasan yang Memicu Kematian
Konsentrasi kasus pembunuhan disertai mutilasi tersebut seakan mengonfirmasi kesimpulan penelitian dari Mohammad Fadil Imran, mantan Kapolda Metro Jaya sekaligus pengungkap kasus mutilasi Ryan dan ”Babe”. Di dalam bukunya yang berjudul Mutilasi dalam Perspektif Kriminologi, ia menjelaskan bahwa karakter sosiodemografi perkotaan bisa menjadi faktor pendorong terjadinya pembunuhan disertai mutilasi. Ini tak terlepas dari tingginya tuntutan ekonomi dan tekanan psikologis yang dialami masyarakat urban akibat kepadatan penduduk yang begitu tinggi.
Faktor tekanan sosial dan ekonomi perkotaan sebagai variabel dari sebuah kejahatan mutilasi tampak semakin kuat ketika melihat profesi dari para pelaku. Setidaknya 27,8 persen pelaku utama dari 79 kasus yang dapat ditelusuri, status profesi pelakunya merupakan pekerja sektor informal atau tenaga kasar. Sebagian besar dari mereka merupakan kaum migran yang mencari peruntungan di kota.
Ironisnya, terdapat tujuh kasus yang terkonfirmasi dilakukan oleh aparat hukum, yakni TNI dan Polri. Salah satu kasus paling terkenal yang melibatkan pihak aparat adalah kasus pembunuhan dan mutilasi empat orang di Mimika, Papua Tengah, pada 2022. Sebanyak enam prajurit TNI terbukti bersalah atas kasus tersebut, seorang di antaranya merupakan perwira tinggi berpangkat mayor. Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya memvonis masing-masing dari mereka dengan hukuman penjara antara 15 tahun dan seumur hidup.
Rata-rata lebih dari satu pelaku
Penyingkapan hampir semua kasus mutilasi diawali dengan penemuan mayat korban, baik oleh masyarakat atau pun petugas kepolisian. Setidaknya terdapat 267 korban dari 207 kasus mutilasi yang berhasil ditelusuri. Sebanyak 53,9 persen korban berusia dewasa (18-59 tahun); 23,6 persen merupakan anak-anak (1-17 tahun); 5,6 persen lansia (di atas 60 tahun); 3 persen adalah bayi (di bawah satu tahun); dan 13,8 persen sisanya tidak dapat teridentifikasi. Sedangkan dari jenis kelaminnya, sebesar 56,2 persen korban adalah laki-laki, 38,9 persen korban merupakan perempuan, dan 4,9 persen lainnya tidak dapat teridentifikasi.
Sayangnya, tidak semua kasus mutilasi dapat terungkap siapa pelakunya. Hanya 60,8 persen atau 126 dari 207 kasus mutilasi yang dapat teridentifikasi pelakunya. Dari 126 kasus tersebut, terdapat 216 pelaku yang berhasil diidentifikasi. Alhasil, rasio jumlah pelaku per kasus mutilasi adalah sekitar 1,71. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap kasus mutilasi umumnya melibatkan lebih dari satu orang pelaku.
Lebih lanjut, dari 216 orang pelaku tersebut, mayoritas merupakan laki-laki (88,9 persen), sedangkan pelaku perempuan hanya sebanyak 24 orang (11,1 persen). Dari segi usia, sembilan dari sepuluh pelaku adalah orang dewasa. Untuk pelaku anak-anak hanya sebesar 15 orang (7 persen) dan pelaku lansia sejumlah dua orang (1 persen).
Baca juga: Mutilasi, Kewarasan, dan Sesat Pikir
Di sisi lain, pihak kepolisian menemui kebuntuan dalam mengidentifikasi pelaku dari 81 kasus mutilasi lainnya. Artinya, dalang dari sekitar 40 persen kasus mutilasi di Indonesia masih menjadi misteri hingga hari ini.
Salah satu kasus fenomenal yang masih belum berhasil dipecahkan adalah kasus ”Potong 13” yang terjadi pada 1981 atau 43 tahun yang lalu. Kasus ini menjadi pembicaraan masyarakat luas kala itu karena ditemukan pada pagi hari di Jl Jenderal Sudirman yang notabene adalah pusat keramaian Jakarta.
Polisi sangat kesulitan mengungkap pelaku kejahatan tersebut karena tidak kunjung berhasil mengidentifikasi identitas mayat yang terpotong menjadi tiga belas bagian itu. Bahkan, dari tiga juta rekam sidik jari yang disimpan Komando Daerah Kepolisian (Kodak) VII/Metro Jaya, tiada satu pun yang cocok dengan sidik jari mayat (Kompas, 28/12/1981).
Orang dekat korban
Pengungkapan identitas korban memang menjadi kunci awal dalam upaya pengungkapan pelaku sebuah kasus pembunuhan. Dari 126 kasus yang dapat dilacak pelakunya, sebanyak 95,2 persen di antaranya dilakukan oleh orang dekat korban. Hanya enam kasus atau 4,8 persen yang dilakukan oleh orang asing, termasuk perampok dan penculik.
Orang dekat korban yang menjadi pelaku mutilasi bervariasi, mulai dari keluarga inti, sanak famili, pacar atau pasangan, hingga rekan bisnis. Sebanyak 37 pelaku utama kasus mutilasi teridentifikasi sebagai keluarga korban (suami/istri, orang tua, anak, saudara kandung, atau anggota famili lainnya). Selanjutnya, sedikitnya ada 27 kasus mutilasi dilakukan oleh pasangan atau pacar korban; 27 kasus dilakukan oleh teman atau kenalan; 15 kasus oleh tetangga satu lingkungan; dan 14 kasus lainnya berstatus rekan bisnis, karyawan, atau majikan korban.
Baca juga: Mutilasi, Ledakan Tekanan Remaja Korban Kekerasan Seksual
Banyaknya orang dekat yang menjadi pelaku utama tindak kejahatan sadis itu karena sebagian besar motif pembunuhan berlandaskan alasan personal. Dari 126 kasus yang dapat diketahui motifnya, sebanyak 46 kasus atau 36,5 persen dilatarbelakangi oleh dendam atau sakit hati. Lantas, tak kurang dari 32 kasus atau 25,3 persen dipicu persoalan hubungan asmara antara pelaku dan korban. Untuk motif gangguan jiwa atau depresi hanya terdapat pada 8 kasus atau 6,3 persen.
Sebagian besar pelaku memotong-motong jenazah korban dengan alasan utama untuk penghilangan jejak. Setidaknya terdapat 85 kasus di mana korban dimutilasi supaya sulit diidentifikasi dan lebih mudah dibuang. Kemudian, 19 kasus lainnya pelaku memotong-motong korban untuk melampiaskan emosi dan amarah terhadap korban. Sementara itu, korban 12 kasus lainnya diduga dimutilasi karena faktor gangguan jiwa yang diidap pelaku.
Mutilasi untuk menghilangkan bukti
Deskripsi tersebut dapat menggambarkan bahwa mutilasi cenderung mengarah pada upaya pelaku untuk mengaburkan identitas korban dan menghilangkan jejak. Apalagi, sejumlah kasus menunjukkan korban tidak hanya dipotong, tapi juga dibakar atau dipendam dalam beton untuk menghilangkan jejak.
Satu kasus yang dapat menjadi contoh adalah kasus pembunuhan seorang ASN Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Paulus Iwan Boedi pada 2022. Setelah dua pekan dilaporkan hilang oleh keluarganya, jasadnya ditemukan tanpa kepala dan dalam kondisi hangus terbakar di semak-semak Pantai Marina, Semarang.
Sejumlah spekulasi pun menduga ada keterlibatan aparat di balik kematian Paulus yang begitu mengenaskan itu. Hal ini tak terlepas dari status Paulus sebagai saksi kunci kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Namun, hingga detik ini, polisi tidak mampu menemukan siapa pelaku dari kejahatan mengerikan tersebut.
Baca juga: Pemberitaan Mutilasi Bisa Memantik Pelaku Lain
Terlepas dari siapa pelakunya, apa yang dilakukan terhadap jasad Paulus dan korban-korban mutilasi lainnya menunjukkan bahwa mayoritas pelaku melakukan mutilasi karena hendak menghilangkan bukti untuk memperkecil risiko dirinya tertangkap. Hal ini sesuai dengan kesimpulan oleh penelitian Imran, bahwa tindakan mutilasi adalah hasil dari proses pengambilan keputusan rasional, yakni pertimbangan untung dan rugi ketika melakukan perbuatan tersebut.
Di samping penghilangan bukti, terdapat pula beberapa situasi di mana pelaku memotong tubuh korbannya karena bingung bagaimana membuang atau menghilangkan jasad. Faktor lain yang cukup krusial di balik keputusan melakukan mutilasi adalah ketersediaan alat-alat yang memadai, seperti pisau, gergaji, kardus, plastik besar, dan lain sebagainya.
Selain itu, pelaku mutilasi selalu melakukan aksinya selalu di ruang tertutup atau jauh dari keramaian. Selain menghindari saksi, proses mutilasi membutuhkan waktu yang cukup lama. Pengetahuan terhadap anatomi tubuh manusia atau pengalaman memotong tubuh hewan juga terbukti beberapa kali memudahkan pelaku dalam melancarkan aksinya.
Mekanisme alamiah dan vonis maksimal
Sejatinya, manusia memiliki mekanisme naluriah untuk mencegah melakukan mutilasi. Menurut Ian Gibbins, profesor anatomi dan histologi dari Flinders University, otak manusia secara alami akan mempersepsikan bahwa pemotongan tubuh manusia adalah hal yang sangat menjijikkan dan harus dihindari. Pasalnya, melihat tubuh yang terpisah-pisah akan mengirimkan sinyal bahwa terjadi situasi yang berbahaya akibat kekerasan yang sangat brutal.
Dengan demikian, bisa dikatakan, pelaku mutilasi yang memotong tubuh korbannya telah menanggalkan nurani dari kondisi alamiahnya. Pelaku bukan hanya tega menghilangkan nyawa sesama manusia, tapi juga memotong-motongnya tak ubahnya hewan ternak. Kondisi demikian yang mendorong para penegak hukum akan cenderung memberikan vonis maksimal terhadap para pelaku mutilasi.
Baca juga: Kasus Mutilasi Ciamis dan Fenomena ”Gunung Es” Problem Kesehatan Mental
Dari 58 kasus yang dapat ditelusuri hingga penjatuhan vonis, pengadilan Indonesia memberikan vonis hukuman mati terhadap 20 kasus (34,4 persen); penjara seumur hidup sebanyak 16 kasus (27,6 persen); penjara 20 tahun terhadap tujuh kasus (12 persen); dan penjara di bawah 20 tahun kepada sembilan kasus (15,1 persen). Selain itu, terdapat dua kasus di mana pelaku dibebaskan karena terbukti mengidap gangguan jiwa dan empat kasus lainnya pelaku meninggal sebelum menjalani proses pengadilan.
Kasus mutilasi tak bisa disangkal adalah sebuah bentuk kriminalitas keji yang membuat hati banyak orang bergidik. Meski negara telah terbukti kerap memberikan hukuman terberat terhadap pelakunya, tetapi hal ini tampaknya belum cukup untuk mencegah berulangnya kejahatan mutilasi.
Mengingat bahwa sebagian besar kasus mutilasi didasari pertikaian antarpersonal, elemen masyarakat dapat meningkatkan fungsi kontrol sosialnya dan berani menjadi mediator sebelum jatuh korban dari pihak yang berselisih. Dengan demikian, diharapkan insiden yang terjadi di Ciamis adalah kali terakhir masyarakat Indonesia menyaksikan kejahatan yang begitu menggetarkan perasaan kemanusiaan ini. (LITBANG KOMPAS)