Sampai Mana Bauran EBT Indonesia?
Ketahanan energi Indonesia semakin meningkat, termasuk ketahanan energi dari sumber terbarukan yang minim polusi.
Ketahanan energi Indonesia secara umum semakin meningkat, termasuk ketahanan energi dari sumber terbarukan yang minim polusi. Namun, menguatnya ketahanan energi dari kelompok renewable ini tidak serta-merta membuat langkah meningkatkan bauran energi baru terbarukan atau EBT semakin mudah. Masih banyak tantangan dalam pengembangan proporsi konsumsi EBT di Indonesia.
Berdasarkan laporan Dewan Energi Nasional (DEN), hasil penilaian indeks ketahanan energi Indonesia pada tahun 2022 lalu sebesar 6,64. Nilai indeks sebesar ini menandakan bahwa ketahanan energi Indonesia secara umum dalam kondisi ”tahan”.
Status ”tahan” itu sudah berlangsung setidaknya sejak tahun 2016, dengan angka indeks ketahanan energi nasional selalu berada pada kisaran poin 6. Apabila dirunut sejak kurun 2016-2022, indeks ketahanan energi nasional terus merangkak naik nilai trennya. Angka indeks pada tahun 2022 sebesar 6,64 itu merupakan yang tertinggi untuk sementara ini.
Untuk memantau kondisi ketahan energi tersebut, pemerintah melakukan penilaian secara berkala untuk melihat tingkat kedinamisannya. Penilaian ini dilakukan berdasarkan empat aspek pendekatan yang dikenal dengan istilah ”4 A”. Terdiri dari aspek affordability, accessibility, availability, dan acceptability. Ke-4 aspek ini dinilai oleh para expert judgement dari sejumlah pakar atau ahli di bidangnya. Misalnya saja dari unsur seperti pemerintahan, DEN, badan usaha sektor energi, universitas, dan lembaga atau organisasi terkait energi.
Salah satu hal yang menarik dari pengukuran indeks tahun 2022 itu adalah terkait indikator bauran EBT yang juga mendapatkan penilaian yang relatif baik. Bauran EBT mendapat skor 6,59 yang berarti juga tahan seperti halnya status ketahanan energi secara umum.
Skor indeks bauran EBT itu trennya cenderung terus meningkat sejak tahun 2016 dan pada tahun 2022 meraih indeks tertinggi untuk sementara ini. Secara umum, indeks bauran energi Indonesia berstatus tahan, kecuali pada tahun 2018 yang sempat meraih skor 5,98 yang menunjukkan situasi ”kurang tahan“.
Baca juga: Optimalisasi EBT Menjadi Prioritas Indonesia Menuju Karbon Netral 2060
Peningkatan skor bauran EBT itu mengindikasikan bahwa energi hijau semakin intensif dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan data Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, Kementerian ESDM, bauran EBT nasional pada tahun 2022 mencapai 12,30 persen. Besaran ini telah meningkat lebih dari dua kali sejak 2015, di mana bauran EBT-nya saat itu masih kurang dari 5 persen.
Meskipun demikian, pesatnya peningkatan laju bauran tersebut tampaknya akan relatif sulit untuk merealisasikan target bauran EBT pada tahun 2025 nanti yang dipatok 23 persen. Sisa waktu yang tinggal setahun ke depan tampaknya akan relatif sulit mewujudkan kekurangan bauran EBT nasional yang masih berkisar 11 persen. Pemerintah perlu melakukan serangkaian kebijakan yang progresif guna mendukung akselerasi peningkatan bauran EBT itu.
EBT mereduksi emisi karbon
Belum pesatnya pengembangan EBT di Indonesia tersebut nyatanya tidak mengurangi upaya pemerintah dalam mereduksi emisi karbon. Berdasarkan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Ketahanan Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, menunjukkan bahwa bauran EBT nasional itu tetap mampu mereduksi emisi karbon sesuai dengan yang ditargetkan.
Pada kurun 2017-2022, bauran EBT secara bertahap mampu mencapai tahapan reduksi emisi karbon yang telah ditetapkan pemerintah. Memang, sebelum tahun 2019, bauran EBT yang saat itu belum mencapai 9 persen tidak mampu mereduksi emisi karbon seperti yang ditargetkan. Namun, setelah 2019, di mana bauran EBT meningkat cukup pesat hingga di atas 10 persen, secara perlahan target reduksi emisi karbon dapat terlewati.
Bahkan pada tahun 2022, target reduksi emisi karbon sektor energi yang dipatok sebesar 91 juta ton CO2, dapat tercapai cukup optimal dengan besaran reduksi emisi karbon seluruh infrastruktur EBT yang mencapai 91,5 juta ton CO2. Pada tahun 2022 itu, bauran EBT secara nasional sebagian besar disumbang oleh biofuel mencapai 4,23 persen; PLTA sekitar 3 persen, geotermal di bawah 2 persen; dan sisanya disumbang oleh EBT jenis lainnya.
Dengan proporsi bauran EBT yang terus meningkat di masa depan, diharapkan reduksi emisi karbon akan terus membesar sehingga mampu memenuhi target reduksi emisi karbon sektor energi yang telah ditetapkan dalam NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia 2030.
Baca juga: EBT dan Nuklir, Solusi Reduksi Emisi Karbon Masa Depan
Oleh sebab itu, target bauran EBT 23 persen pada tahun 2025 nanti harus diupayakan untuk dapat terealisasi agar tahapan reduksi emisi karbon dalam jangka menengah dan jangka panjang dapat tercapai. Ada sejumlah langkah yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM untuk mencapai target bauran EBT di tahun mendatang.
Di antaranya dengan mendorong tercapainya pengembangan pengembangan pembangkit listrik tenaga EBT on grid yang berbasis rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN 2021-2030. Pemerintah juga akan berusaha meningkatkan partisipasi publik dengan implementasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap secara masif. Saat ini, pemerintah tengah mengevaluasi dan mereview pelaksanaan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Langkah ini bertujuan untuk mempercepat pengembangan PLTS atap di Indonesia.
Upaya berikutnya untuk mengakselerasi bauran EBT lainnya adalah dengan meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) pada jenis solar dengan tingkat campuran biodesel B35. Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan pemanfaatan biomassa melalui program cofiring atau pencampuran biomassa sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Langkah selanjutnya lagi adalah dengan penggunaan energi listrik yang semakin optimal dengan memasyarakatkan penggunaan kendaraan listrik dan kompor induksi listrik. Semakin tinggi konsumsi masyarakat terhadap energi listrik, maka upaya untuk transisi energi menjadi relatif lebih mudah.
Untuk mendukung langkah pemerintah tersebut, pemerintah perlu mempersiapkan insentif fiskal dan nonfiskal. Dengan dukungan regulasi dan kebijakan yang tepat, akselerasi penyediaan sumber energi EBT akan meningkat secara pesat karena akan mengundang hadirnya pemodal untuk berinvestasi.
Investasi EBT
Berdasarkan Laporan Kinerja Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, investasi pengembangan EBT di Indonesia belum tercapai secara maksimal. Pada tahun 2022 lalu, target investasi tercapai baru sekitar 80 persen. Ada sejumlah investasi EBT yang nilai realisasinya melonjak relatif besar, yakni investasi aneka EBT yang realisasi nilainya melonjak menjadi 2,8 miliar dollar AS dan investasi panas bumi yang hampir mendekati 1 miliar dollar AS. Untuk investasi lainnya masih relatif kecil, yakni bioenergi yang baru sekitar 160 juta dollar AS dan konservasi energi yang berkisar 12 juta dollar AS.
Capaian investasi tersebut harus menjadi pelecut semangat bagi pemerintah untuk berupaya semaksimal mungkin menciptakan regulasi dan kebijakan agar menarik minat investor EBT lebih banyak lagi. Dengan menarik investasi sebanyak mungkin, upaya mereduksi emisi karbon dapat terealisasi secara akseleratif. Dengan banyaknya investasi yang masuk, akan tercipta lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia.
Baca juga: Geopolitik Global Rentan Memperlemah Ketahanan Energi Indonesia
Hingga saat ini, peluang investasi hijau sektor energi di Indonesia masih terbuka sangat lebar. Dengan proporsi bauran EBT yang berkisar 12 persen, masih ada sekitar 75 persen sumber energi fosil yang diupayakan untuk segera direduksi penggunaannya.
Berdasarkan laporan IEA pada tahun 2023, jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh produsen penyedia energi bersih mencapai 36 juta orang. Serapan tenaga kerja ini mengalahkan jumlah lapangan pekerjaan yang disediakan oleh produsen energi fosil. Tingginya serapan produsen energi hijau itu linier dengan banyaknya investasi yang ditanamkan di produsen EBT bersangkutan. Tahun lalu, jumlah investasi yang ditanamkan secara global untuk memproduksi EBT mencapai 1,8 triliun dollar AS. Nominal ini terpaut cukup jauh dengan investasi energi fosil yang sebesar 1,1 triliun dollar AS.
Kian tingginya investasi energi pada sektor EBT itu mengindikasikan bahwa peluang pengembangan energi ramah lingkungan juga semakin besar. Peluang ini harus dimanfaatkan pemerintah untuk menawarkan potensi pengembangan EBT Indonesia yang sangat besar. Semakin tinggi realisasi pemanfaatan energi hijau di Indonesia, emisi karbon dapat tereduksi secara akseleratif, menyerap tenaga kerja di dalam negeri, serta meningkatkan keterampilan penguasaan teknologi mutakhir berwawasan lingkunga. (LITBANG KOMPAS)