Meniti Asa Target Rasio Pajak Jelang Transisi Pemerintahan
Rasio pajak ditargetkan mencapai 11,2 - 12 persen terhadap PDB pada tahun pertama masa pemerintahan Prabowo Gibran.
Era pemerintahan yang baru berencana akan meningkatkan rasio penerimaan pajak secara akseleratif. Saat tahun pertama masa pemerintahan Prabowo-Gibran, rasio pajak ditargetkan mencapai 11,2 persen hingga 12 persen terhadap PDB pada tahun 2025. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah terobosan agar rasio pajak tidak stagnan.
Salah satu janji kampanye pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang pada Oktober nanti akan memerintah negeri ini adalah meningkatkan rasio pajak (tax ratio). Ditargetkan dalam lima tahun ke depan rasio pajak akan bertambah hingga 23 persen dari produk domestik bruto (PDB). Selain terkesan ambisius, target ini juga cukup krusial karena rasio pajak merefleksikan kapasitas fiskal suatu negara.
Sejatinya, rasio pajak merupakan indikator utama dalam menilai keberhasilan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Nilainya dihitung sebagai persentase dari pendapatan pajak terhadap skala perekonomian yang diukur dengan PDB.
Dengan kata lain, rasio pajak mencerminkan seberapa besar pendapatan nasional yang beralih ke pundi-pundi penerimaan pajak. Setiap satu persen rasio pajak menandakan bahwa satu persen pendapatan masyarakat masuk ke kas negara.
Semakin tinggi rasio pajak, maka semakin besar kemampuan suatu negara menyediakan barang dan layanan publik tanpa bergantung pada utang. Artinya, peningkatan rasio pajak patut diupayakan guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Baca juga: Mengejar Rasio Pajak di Tengah Transformasi Struktural
Sebagai patokan internasional, Bank Dunia menetapkan batas bawah rasio pajak sebesar 15 persen. Rekomendasi ini didukung temuan empiris yang menunjukkan bahwa selama satu dekade penuh, negara-negara dengan rasio pajak di atas 15 persen dapat menikmati pendapatan per kapita 7,5 persen lebih tinggi dari target yang ditetapkan.
Namun, faktanya sejak tahun 2000, rasio pajak nasional terus berfluktuasi di sekitar 10 persen, dengan puncaknya sebesar 12,5 persen di tahun 2008. Setelah itu, nilainya tidak pernah melebihi angka tersebut dan cenderung mengalami penurunan hingga menyentuh 8,3 persen di tahun 2020. Terakhir pada tahun lalu, rasio pajak tercatat sebesar 10,21 persen.
Di antara negara-negara Asia Pasifik, rasio pajak Indonesia masih tergolong masuk dalam jajaran rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan capaian negara-negara di kawasan tersebut, yang menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) justru menunjukan kenaikan.
OECD dalam laporan berjudul “Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023”, mengemukakan rasio pajak Indonesia pada tahun 2021 menempati urutan kelima terbawah di Asia Pasifik. Pada tahun 2021 itu, rasio pajak Indonesia yang dihitung oleh OECD mencapai besaran 10,9 persen. Angka ini sedikit lebih banyak dari capaian tahun 2020 yang sebesar 10,1 persen.
Baca juga: ”Putar Otak” Dongkrak Pajak, Prabowo Sasar Ekonomi Bawah Tanah
Dalam laporan tersebut, Indonesia hanya mampu mengungguli Bhutan, Pakistan, dan Laos soal keberhasilan fiskus dalam mengumpulkan pajak. Meskipun unggul dari sejumlah negara itu, tetapi rasio pajak Indonesia masih jauh lebih rendah dari rata-rata Asia Pasifik yang mencapai 19,8 persen pada tahun 2021 tersebut.
Negara ASEAN dengan rasio pajak tertinggi pada 2021 adalah Vietnam dengan besaran mencapai 22,7 persen. Selanjutnya, disusul Filipina sebesar 17,8 persen; Thailand 16,5 persen; Singapura 12,8 persen; dan Malaysia 11,4 persen. Untuk negara kawasan Pasifik lainnya seperti Vanuatu memiliki rasio pajak sebesar 14,2 persen, Samoa sebesar 25 persen, dan Maladewa sebesar 19,1 persen.
Tantangan
Menilik kondisi sistem perpajakan Indonesia saat ini, tampaknya masih ada sejumlah tantangan besar untuk menaikkan rasio pajak. Salah satunya karena masih rendahnya tax buoyancy atau skema perpajakan yang difungsikan untuk menakar elastisitas antara penerimaan pajak dengan PDB. Secara historis, rata-rata level tax buoyancy di Tanah Air berada pada kisaran 0,8. Artinya, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi nasional, penerimaan pajak hanya naik sebesar 0,8 persen.
Tantangan berikutnya adalah tingginya ekonomi bayangan atau shadow economy dan informalitas ekonomi yang belum mampu ditangkap sepenuhnya oleh sistem perpajakan. Ekonomi bayangan merupakan perekonomian bawah tanah yang tidak terdeteksi oleh pemerintah sehingga mengganggu kinerja pertumbuhan ekonomi atau PDB.
Ekonomi “bawah tanah” itu salah satunya berasal dari aktivitas ekonomi ilegal yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Misalnya saja perjudian, prostitusi, serta produksi ilegal lainnya seperti rokok ilegal dan produk pertambangan ilegal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, aktivitas shadow economy di Indonesia diperkirakan mencapai 8,3-10 persen PDB nasional. Sementara itu, perkiraan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahkan lebih tinggi lagi yakni 30-40 persen dari total PDB nasional.
Selain itu, tingginya tingkat informalitas ekonomi di Indonesia juga berkontribusi terhadap pergerakan ekonomi bayangan yang tidak dapat dikenai pajak. Informalitas timbul karena ketakmampuan perekonomian menciptakan lapangan kerja formal. Tercatat pada Februari 2023, pekerja informal di Indonesia telah mencapai 60 persen dari total tenaga kerja.
Baca juga: Menimbang Ulang Rencana Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen
Persoalan lainnya adalah basis penerimaan pajak yang kurang optimal. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dan Direktorat Jenderal Pajak, sebagian besar penduduk Indonesia masih di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Idealnya pajak penghasilan orang pribadi menjadi kontributor terbesar penerimaan pajak. Karena itu, penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang tinggi menjadi salah satu kunci agar rasio pajak meningkat.
Tantangan berikutnya lagi adalah kondisi perpajakan di Indonesia yang secara umum masih dirundung berbagai persoalan. Di antaranya berupa gap penerimaan yang masih besar, kepatuhan pajak yang masih relatif rendah, serta besarnya belanja perpajakan yang masih perlu dievaluasi efektivitasnya.
Jurus menaikkan rasio pajak
Di tengah beragam tantangan tersebut, pemerintahan melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menargetkan rasio pajak terhadap PDB sebesar 11,2 persen hingga 12 persen pada 2025. Bappenas telah menetapkan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) untuk tahun pertama pemerintahan Prabowo termasuk rasio pajak.
Setidaknya ada sejumlah jurus yang bakal dijalankan guna mewujudkan rasio pajak yang lebih tinggi terhadap PDB. Salah satunya dengan membenahi kelembagaan perpajakan melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk meningkatkan rasio pajak. Artinya, urusan pajak dan bea cukai bakal lepas dari Kementerian Keuangan.
Nantinya, BPN bertugas untuk mengelola pendapatan negara dari pajak, bea cukai, dan sumber non-pajak melalui mekanisme yang terpadu. Selain itu, lembaga ini juga akan memfokuskan upaya pada aktivitas ekonomi yang selama ini berlangsung di “ruang-ruang gelap”.
Baca juga: Pajak untuk Pencemaran Karbon Perlu Segera Diterapkan
Langkah berikutnya adalah percepatan implementasi core tax system dengan mengoptimalkan pengelolaan data yang berbasis risiko dan interoperabilitas data serta mendorong sistem perpajakan lebih compatible dengan struktur perekonomian.
Selain itu, juga melakukan penguatan kegiatan ekstensifikasi pajak dan pengawasan atas Wajib Pajak High Wealth Individual. Optimalisasi pemanfaatan kegiatan digital forensik juga terus dioptimalkan demi penegakan hukum yang berkeadilan serta pengungkapan tindakan tidak benar.
Terakhir penajaman insetif pajak tepat sasaran untuk mendorong sektor prioritas seperti pertanian, manufakur, pariwisata, dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Lebih lanjut, upaya peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga turut dilakukan melalui reformasi pengelolaan PNBP Sumber Daya Alam (SDA), optimalisasi dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemanfaatan lebih lanjut aset Barang Milik Negara (BMN), hingga dilakukannya inovasi layanan.
Beragam upaya dalam meningkatkan target rasio pajak tersebut di satu sisi bisa menjadi niat baik agar mampu berdikari dalam pembiayaan anggaran belanja. Namun di sisi lain, diperlukan pula langkah-langkah konkret berupa terobosan yang progresif untuk meningkatkan rasio pajak. Idealnya, penerimaan negara harus terus dipacu meningkat lebih tinggi lagi, tanpa harus memberikan beban yang lebih berat bagi masyarakat dan juga sektor usaha. (LITBANG KOMPAS)