Jajak pendapat merekam hampir 70 persen responden puas dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa pilpres.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI
·4 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 22 April lalu menjadi gong yang melegitimasi terpilihnya pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden 2024. Sebagai bagian akhir, putusan ini telah final dan harus dihormati oleh semua pihak. Nuansa ini pun turut diamini masyarakat yang mengapresiasi putusan mahkamah.
Proses persidangan sengketa pilpres di MK menjadi upaya final dalam memilih penerus rezim Presiden Joko Widodo. Putusan MK ini memantik reaksi yang beragam. Terlebih lagi, persidangan diwarnai dengan munculnya pendapat berbeda (dissenting opinion) yang belum pernah ada dalam sejarah perselisihan hasil pemilihan presiden sebelumnya.
Munculnya dissenting opinion terjadi antara hakim yang menangani perkara ini. Lima hakim menolak keseluruhan permohonan terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan pasangan calon nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan pasangan calon nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Tetapi, tiga hakim lainnya memilih untuk memenuhi beberapa permohonan kedua pasangan tersebut. Beberapa tuntutan yang dipenuhi termasuk permohonan untuk diselenggarakannya pemilihan ulang di beberapa daerah, termasuk DKI Jakarta dan Bali.
Meskipun muncul opini berbeda, dengan perbandingan jumlah 5 dan 3, putusan yang akhirnya dikeluarkan ialah penolakan permohonan secara keseluruhan.
Hasil ini pun memberi legitimasi yang memperkuat kemenangan pasangan Prabowo-Gibran sebagai calon presiden dan wakil presiden yang memenangkan Pemilu 2024 lalu. Sekaligus, menjadi ujung perjuangan hukum pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.
Persepsi publik terhadap putusan MK terkait sengketa pilpres ini tertangkap dari jajak pendapat yang dilaksanakan Litbang Kompas pada 23-25 April 2024. Hampir 70 persen responden menyatakan puas dengan putusan tersebut. Bahkan, lebih dari seperempatnya menyatakan sangat puas dengan hasil persidangan MK ini.
Selaras, penerimaan publik atas putusan tersebut juga relatif tinggi. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sebanyak 61 persen responden sepakat jika putusan MK terkait sengketa pilpres bisa diterima semua pihak. Baik dari pemohon, yakni pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, pihak termohon (KPU) maupun pihak terkait, yakni pasangan Prabowo-Gibran.
Tingginya tingkat penerimaan masyarakat ini diperkuat dengan penilaian bahwa putusan ini relatif sudah memenuhi rasa keadilan. Hal ini dinyatakan oleh 64 persen responden.
Tentunya, putusan dengan beban seberat ini tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Hal ini juga tertangkap dari jajak pendapat kali ini. Tak kurang dari seperempat responden mengaku tidak puas dengan hasil putusan MK terkait sengketa pilpres. Sekitar 10 persen responden menyatakan ketidakpuasannya dalam derajat yang lebih besar.
Ketidakpuasan di sebagian kelompok masyarakat ini juga selaras dengan pemenuhan rasa keadilan. Meski mayoritas dari publik sudah merasa putusan MK adil, masih ada 30 persen yang berpendapat sebaliknya. Sejalan dengan itu, sekitar sepertiga dari masyarakat juga merasa putusan MK tidak bisa memuaskan semua pihak yang terlibat.
Masih adanya persepsi ketidakadilan ini menjadi sesuatu yang bisa dimaklumi. Dengan konteks tuntutan dan putusan akhirnya, tidak mungkin bagi MK untuk bisa memuaskan semua pihak. Hal ini pun nampak pada hasil survei. Lebih dari sepertiga responden memandang bahwa putusan MK tidak mampu untuk memuaskan tiap-tiap pihak yang terlibat.
Tak ayal, muncul kekhawatiran akan dampak yang muncul dari kekecewaan sebagian pihak. Sekitar 64 persen dari responden jajak pendapat menyatakan bahwa mereka khawatir jika putusan MK terkait sengketa pilpres akan berujung dengan adanya keributan atau demonstrasi. Bahkan, hampir 19 persen di antaranya menyatakan sangat khawatir dengan potensi terjadinya kejadian tersebut.
Kekhawatiran ini bisa dipahami dengan preseden yang muncul di Pemilu 2019 lalu. Saat itu, putusan MK di akhir Juni 2019 diwarnai dengan aksi demonstrasi yang diramaikan ribuan orang meskipun pemerintah telah mengeluarkan perintah larangan. Aksi ini juga menjadi bagian dari serangkaian demonstrasi yang sudah terjadi sejak Mei sebelumnya.
Untungnya, kekhawatiran ini kemungkinan besar tidak terwujud. Seminggu setelah putusan MK, situasi politik nasional cenderung landai. Hal ini juga diperkuat dengan pihak Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang telah menyampaikan selamat terhadap pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang pemilu.
Semangat konsolidatif yang dicerminkan elite ini nampak turut meredam suara-suara ketidakpuasan di tengah masyarakat terkait dengan hasil pilpres yang telah final pascaputusan MK.
Tingginya penerimaan masyarakat ini menjadi fondasi yang kuat bagi kerja-kerja MK selanjutnya. Dalam waktu dekat, lembaga ini masih harus bekerja keras untuk menyelesaikan sengketa kasus pemilihan legislatif.
Walau mungkin tekanan politiknya tidak sebesar sengketa pilpres, sengketa pileg memberi tekanan yang tak bisa dianggap remeh karena besar secara kuantitas.
Putusan yang dipandang adil dan bisa merangkul kepentingan setiap pihak ini membuat keyakinan publik terhadap MK relatif tinggi.
Hasil jajak pendapat menunjukkan, lebih dari 81 persen responden yakin MK mampu menyelesaikan kasus-kasus sengketa pemilu legislatif dengan adil. Bahkan, sekitar 18 persen di antaranya menyatakan sangat yakin dengan kemampuan MK ini.
Dalam dua pemilu terakhir, jumlah kasus sengketa pileg yang diperkarakan di MK memang cenderung menurun. Pada 2014 terdapat 914 permohonan perkara PHPU pileg yang didaftarkan ke MK. Dari jumlah tersebut, hanya 697 perkara yang akhirnya diteruskan dan diputus.
Jumlah ini berkurang secara drastis pada Pemilu 2019. Saat itu, MK menangani 260 perkara terkait sengketa pileg, baik di tingkat DPR, DPRD maupun DPD. Dari jumlah tersebut, pada akhirnya hanya 12 yang perkaranya dikabulkan.
Sejauh ini, MK menyatakan telah menerima 297 gugatan sengketa pileg yang diregistrasi menjadi perkara. Tak hanya itu, MK juga telah mendapat 240 permohonan sebagai pihak terkait dalam 297 perkara tersebut. Semua perkara diharapkan sudah selesai diproses dan diputus pada 10 Juni mendatang.
Tak ayal, meski dengan keterbatasan waktu, MK perlu untuk menjaga kepercayaan publik dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai keyakinan dan kepercayaan yang telah terbangun justru tercederai dengan proses persidangan terkait sengekat pileg yang berjalan secara tidak maksimal.