Simalakama Kenaikan Suku Bunga Acuan
Kebijakan uang ketat yang ditempuh BI untuk menjaga stabilitas rupiah berpotensi memperberat biaya perekonomian.
Kebijakan menaikkan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, menjaga stabilitas nilai tukar rupian. Namun, di sisi lain, sektor ekonomi riil bisa jadi akan kian tertekan.
Setelah seminggu penuh nilai tukar rupiah menyentuh level psikologis di atas Rp 16.000 per dollar AS, Bank Indonesia mengambil langkah tegas dengan menaikkan suku bunga acuan. Per 24 April 2024, BI Rate mencapai 6,25 persen, naik 25 basis poin setelah enam bulan sebelumnya tertahan di angka 6,00 persen. Tak hanya itu, suku bunga saat ini merupakan yang tertinggi sejak 2016.
Langkah tersebut diambil sebagai upaya penyelamatan mata uang garuda yang cenderung melemah sepanjang tahun ini. Setelah menyentuh angka Rp 15.026 per dollar AS pada 21 Juli 2023, rupiah tidak pernah lagi menguat ke angka Rp 14.000-an per dollar AS. Rupiah yang makin terpuruk disebut-sebut sebagai salah satu imbas dari memburuknya situasi ekonomi global akibat konflik geopolitik yang memanas di sejumlah wilayah.
Di lain sisi, pelemahan rupiah juga terjadi lantaran faktor dollar AS yang semakin eksis didorong oleh masih tingginya suku bunga The Fed. Hingga saat ini, Bank Sentral Amerika Serikat masih mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 5,25-5,50 persen, tertinggi setidaknya dalam dua dekade terakhir. Tak kunjung turun meski The Fed sudah beberapa kali memberikan sinyal pemangkasan.
Ternyata, suku bunga The Fed masih bertengger di angka yang cukup tinggi dan diperkirakan masih akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang (higher for longer).
Tingginya suku bunga acuan tersebut membuat seluruh penduduk dunia, baik individu maupun korporasi, lebih terpikat untuk menanamkan modalnya di AS. Permintaan akan dollar AS pun semakin tinggi, membuat dollar AS kian taji.
Fakta tersebut juga yang melatarbelakangi BI mengambil keputusan menaikkan suku bunga, demi mencegah keluarnya investasi yang sudah tertanam di Indonesia (capital outflow). Merujuk catatan BI, sebanyak Rp 21,46 triliun modal asing hengkang dari Tanah Air pada minggu ketiga April 2024. Angka tersebut berdasarkan catatan nonresiden di pasar keuangan domestik pada transaksi 16-18 April 2024. Sebesar Rp 9,79 triliun tercatat di pasar SBN, Rp 3,67 triliun di pasar saham, dan Rp 8,0 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia.
Baca juga: Bunga Acuan dan Kebutuhan Stimulus
Tanpa antisipasi, keluarnya modal asing boleh jadi kian tak terkendali. Pada gilirannya akan membuat nilai tukar rupiah semakin tak berdaya. Dengan kata lain, kenaikan suku bunga diharapkan dapat menekan arus modal keluar. Secara simultan, akan turut menahan pelemahan nilai tukar rupiah.
Pada saat yang bersamaan, kebijakan menaikkan suku bunga juga diambil sebagai antisipasi meroketnya tingkat inflasi. Meski masih dalam kisaran target 2,5±1 persen, tingkat inflasi Maret 2024 semakin mendekati batas atas yang ditetapkan. Nilainya mencapai 3,05 persen, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang masih tertahan di angka 2,75 persen.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa tidak mudah untuk dapat mengendalikan inflasi saat ini. Pasalnya, kenaikan harga yang terjadi belakangan ini lebih didorong oleh terganggunya pasokan dalam negeri, terutama kebutuhan pokok. Gagal panen dan gangguan rantai pasok global membuat sisi penawaran tak semuanya dapat dipenuhi.
Simalakama
Di balik segala harapan besar atas kebijakan tersebut, perlu diakui bahwa keputusan mengerek naik suku bunga juga dapat memunculkan dampak lain yang berpotensi memberatkan perekonomian. Dalam skema makro, suku bunga yang lebih tinggi akan menekan investasi lantaran biaya yang harus dibayarkan lebih besar.
Pasalnya, setiap kenaikan suku bunga acuan oleh BI akan diikuti oleh kenaikan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Dengan kenaikan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen, suku bunga deposito dan suku bunga kredit masing-masing juga naik 25 basis poin, masing-masing menjadi 5,5 persen dan 7,00 persen. Biaya kredit yang lebih besar akan berimbas pada lesunya investasi yang berdampak pada penurunan produk domestik bruto (PDB).
Meminjam rumus penghitungan PDB dari sisi pengeluaran, ekonomi suatu negara ditopang oleh konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan neraca perdagangan internasional. Dengan demikian, saat investasi berkurang, hal itu akan menurunkan juga kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Baca juga: Suku Bunga BI Naik, Penyaluran Kredit Bank Berisiko Melambat
Secara lebih riil di tataran masyarakat, kenaikan suku bunga juga akan menekan daya beli masyarakat. Terutama pada produk-produk properti, seperti rumah, dan kendaraan. Apalagi, tanpa kenaikan suku bunga pun, masyarakat tertatih untuk bisa mendapatkan hunian. Pada saat yang bersamaan, kondisi masyarakat tengah tertekan akibat kenaikan harga pokok. Beban ganda pun menjerat masyarakat.
Dalam jangka panjang, situasi ini akan membuat kinerja ekonomi semakin berat. Pasalnya, jika daya beli masyarakat penuh tekanan, konsumsi masyarakat secara agregat akan menurun. Kembali pada rumus perhitungan PDB yang mengindikasikan kinerja perekonomian negara, konsumsi merupakan salah satu komponen pembentuknya. Bagi Indonesia, konsumsi masyarakat bahkan menjadi benteng pertahanan perekonomian, kontribusinya berada di kisaran 56 persen dari seluruh PDB.
Artinya, investasi dan konsumsi berpotensi terdegradasi pada saat yang bersamaan sebagai imbas dari suku bunga yang kian tinggi. Sementara itu, kinerja perdagangan luar negeri yang menjadi salah satu penopang pun sedang dalam kondisi yang tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Pasalnya, guncangnya ekonomi global masih belum menemukan titik kepastian.
Meski besaran ekspor Maret 2024 naik dari bulan sebelumnya, nilainya masih lebih rendah daripada periode tahun lalu, baik secara bulanan maupun triwulanan. Januari-Maret 2023 nilai ekspor Indonesia mencapai Rp 67,06 miliar dollar AS, tetapi tahun ini hanya Rp 62,20 miliar dollar AS atau turun sekitar 4,19 persen.
Tak hanya dari sisi pengeluaran, PDB nasional dari sektor riil pun berpotensi turut tertekan. Biaya kredit yang makin tinggi juga akan mengganggu kinerja korporasi dan manufaktur Tanah Air. Padahal, sama seperti konsumsi, sektor industri pengolahan masih menjadi penyokong utama perekonomian. Proporsinya mencapai 18,67 persen dari total PDB.
Baca juga: Era Suku Bunga Tinggi Berlanjut, Perbankan Pertimbangkan Penyesuaian
Jangan sampai, kinerja baik yang tengah dicapai industri manufaktur turut merosot. Salah satunya tampak dari besaran Prompt Manufacturing Index (PMI-BI) yang berada di level ekspansif. Triwulan I-2024, PMI-BI mencapai 52,80 persen, lebih unggul dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 51,20 persen. BI memandang lebih optimistis untuk triwulan berikutnya dengan memasang target sebesar 54,31 persen.
Meski demikian, perlu diingat bahwa capaian saat ini pun sedikit meleset dari target yang telah ditetapkan sebesar 53,39 persen. Dengan situasi saat ini, baik global maupun lokal, ditambah dengan kebijakan kenaikan suku bunga yang diperkirakan dapat memberatkan ekonomi, target PMI-BI yang lebih tinggi pun tampaknya tidak mudah diwujudkan.
Pemerintah perlu merancang jaring pengaman bagi industri manufaktur agar tidak terdampak cukup dalam. Pasalnya, degradasi pada industri pengolahan akan memengaruhi kehidupan jutaan masyarakat mengingat manufaktur merupakan salah satu sektor yang padat modal. Jika kehidupan ekonomi para pekerja industri terganggu, pada gilirannya akan turut melemahkan ekonomi nasional, dan seterusnya. (LITBANG KOMPAS)