Sengketa Pilpres Usai, Sengketa Pileg Dimulai
Seusai memutuskan sengketa pilpres, Mahkamah Konstitusi kembali dihadapkan pada agenda sengketa hasil pemilu legislatif.
Setelah menyelesaikan persidangan sengketa perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, Mahkamah Konstitusi sudah dihadapkan pada agenda persidangan perselisihan hasil pemilihan umum legislatif.
Merujuk tahapan, kegiatan, dan jadwal penanganan perselisihan hasil pemilihan umum legislatif tahun 2024, pada 29 April 2024 akan dimulai persidangan terhadap sengketa pileg ini.
Tahapan persidangan dengan pemeriksaaan pendahuluan akan dilakukan hingga 3 Mei 2024. Tahapan ini kemudian akan dilanjutkan dengan penyerahan jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan pemberi keterangan pada 3-13 Mei 2024.
Selanjutnya, tahapan persidangan akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan persidangan pada 6-15 Mei 2024, termasuk di dalamnya dengan mendatangkan sejumlah pihak yang memberikan keterangan. Kemudian, majelis hakim konstitusi akan melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dengan durasi waktu 15-20 Mei 2024.
Setelah itu, tahapan persidangan berikutnya melakukan pemeriksaan lanjutan dengan alokasi waktu 27-31 Mei 2024. Hasil dari pemeriksaan lanjutan inilah yang kemudian menjadi bahan bagi majelis hakim konstitusi mengadakan RPH kembali dengan alokasi waktu 3-6 Juni 2024, sebelum kemudian membacakan putusannya di rentang waktu 7-10 Juni 2024.
Dengan gambaran alokasi waktu ini, perhatian publik akan kembali tertuju ke Mahkamah Konstitusi setelah lembaga ini memutus perkara perselisihan pemilihan presiden pada Senin, 22 April lalu.
Meskipun demikian, boleh jadi tensinya tidak setinggi perhatian publik pada sengketa pemilihan presiden. Hal ini tidak lepas bahwa perselisihan hasil pemilihan umum legislatif lebih banyak berkutat pada sengketa antarcalon anggota legislatif, terutama di internal partai politik.
Merujuk data di laman Mahkamah Konstitusi, jumlah permohonan sengketa pemilu legislatif mencapai 284 permohonan yang berasal dari pemilu legislatif tingkat DPR/DPRD dan 12 permohonan untuk pemilu di tingkat DPD.
Khusus DPD ini ke-12 permohonan berasal dari daerah pemilihan Provinsi Riau, Papua Selatan, dan Papua Tengah yang masing-masing terdapat 2 permohonan. Kemudian masing-masing ada satu permohonan dari Provinsi Kalimatan Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Utara.
Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, jumlah permohonan sengketa pileg tahun ini jauh lebih besar dan meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2019 yang jumlahnya di sekitar angka 261 permohonan.
Namun, jika dibandingkan Pemilu 2014 dan 2009 jumlahnya jauh lebih sedikit. Tentu hal ini tidak lepas dari lebih banyaknya jumlah partai politik peserta pemilu dan peserta pemilu perseorangan di DPD di dua pemilu tersebut dibandingkan dengan Pemilu 2024.
Baca juga: Adakah Kejutan dalam Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres?
Permohonan sengketa pileg lebih banyak ditolak
Jika mengacu pengalaman di pemilu-pemilu sebelumnya, permohonan sengketa pemilu legislatif cenderung lebih banyak yang ditolak. Di Pemilu 2019, dari 261 permohonan yang masuk, 101 di antaranya diputuskan ditolak. Angka ini setara dengan 39 persen, bahkan 105 permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.
Hal yang lebih kurang sama terjadi pada Pemilu 2014, dengan jumlah permohonan sengketa mencapai 903 permohonan. Dari jumlah tersebut, ada 676 permohonan yang ditolak.
Jumlah permohonan yang ditolak ini setara dengan 75 persen dari total permohonan sengketa pemilu legislatif yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, ada 197 atau sekitar 22 persen permohonan yang tidak bisa diterima.
Dibandingkan dengan Pemilu 2014, pada Pemilu 2009 relatif lebih sedikit permohonan yang masuk. Tercatat ada 600 permohonan yang masuk dan dari jumlah ini ada 398 permohonan atau sekitar 66 persen yang ditolak. Tidak hanya itu, 107 permohonan atau sekitar 18 persen dinyatakan tidak dapat diterima.
Artinya, jika merujuk pengalaman tiga pemilu sebelumnya, hanya sedikit permohonan sengketa pemilu legislatif yang dikabulkan oleh MK. Pada Pemilu 2019 ada 12 pemohonan yang dinyatakan dikabulkan sebagian atau sekitar 5 persen dari total permohonan yang ada.
Kondisi serupa tercatat pada Pemilu 2014 saat hanya 9 permohonan yang dikabulkan atau setara dengan 1 persen dari total permohonan. Sementara itu, pada tahun 2009, jumlah permohonan yang dikabulkan relatif lebih banyak, yakni 68 permohonan atau sekitar 11 persen dari semua permohonan yang diajukan ke MK.
Dari data ini terlihat bahwa tidak mudah bagi pemohon untuk membuktikan dalil-dalil yang diajukannya yang umumnya terkait penggelembungan suara sehingga dinilai mengubah komposisi perolehan suara calon anggota legislatif. Tidak heran jika kemudian isu yang muncul adalah ketegangan antarsesama calon anggota legislatif di dalam partai politik dan daerah pemilihan yang sama.
Minimnya permohonan yang dikabulkan pada pemilu legislatif sebenarnya juga terjadi pada pemilihan presiden dan wakil presiden. Semua permohonan sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden, sejak periode 2004 hingga 2014, tidak ada putusan MK yang mengabulkannya. Semua permohonan ditolak keseluruhan oleh MK.
Namun, harus diakui hal yang baru yang tercatat pada putusan MK dalam sengketa pemilihan presiden-wakil presiden di 2024 ini adalah adanya perbedaan pendapat di antara hakim MK (dissenting opinion).
Dari delapan hakim konstitusi yang mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, tiga hakim menyatakan perbedaan pendapat. Meskipun demikian, putusan MK secara resmi menolak secara keseluruhan permohonan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud MD.
Baca juga: Merunut Rekam Jejak Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres
Fenomena favoritisme dalam parpol
Selain sengketa hukum di ranah Mahkamah Konstitusi, tahapan perselisihan hasil pemilihan anggota legislatif, baik DPR, DPRD, maupun DPD, juga kerap diwarnai ketegangan politik di kalangan internal partai. Hal ini terutama terjadi dengan adanya gejala favoritisme di tubuh partai.
Sederhananya, gejala ini dimaknai dengan kecenderungan sikap politik elite partai yang lebih mengutamakan sejumlah nama calon anggota legislatif tertentu di satu sisi. Akibatnya, di sisi lain, partai politik juga mengabaikan sosok calon anggota legislatif lainnya.
Gejala favoritisme ini pernah terjadi pada Pemilu 2019. Gejala ini tampak dari kasus pergantian calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2019. Sejumlah nama calon anggota legislatif, baik DPR maupun DPRD, menjadi korban atas keputusan sepihak partai politik.
Mereka yang berjuang untuk mendapatkan suara pemilih harus rela tunduk pada keputusan partai yang memutuskan calon anggota legislatif lain untuk terpilih menduduki kursi legislatif dengan sejumlah alasan.
Salah satu modus yang umumnya dilakukan partai politik adalah dengan memecat calon anggota legislatif terpilih dengan alasan tertentu sebelum pelantikan. Otomatis dengan pemecatan, calon anggota legislatif terpilih sudah tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota legislatif. Salah satu syarat tersebut adalah menjadi anggota partai politik.
Pada Pemilu 2019, sejumlah nama calon anggota legislatif terpilih harus gigit jari jika dihadapkan pada keputusan partai politik. Hal ini umumnya terjadi pada caleg yang tidak memiliki akses politik pada pengurus partai politik di tingkat pusat. Sementara di satu sisi, ada caleg yang boleh jadi tidak memiliki akses sekuat dari caleg satunya, yang kemudian cenderung dirugikan terkait urusan elektoral mereka di pemilu.
Gejala favoritisme ini tentu menjadi ancaman bagi sistem pemilu proporsional terbuka yang menggunakan sistem suara terbanyak bagi caleg yang berhak menduduki kursi yang diraih partai politik.
Apalagi hasil kajian dan simulasi Litbang Kompas yang merujuk rekapitulasi suara hasil Pemilu 2024 menunjukkan tidak sedikit dari calon anggota legislatif yang justru perolehan suaranya melebihi suara partainya.
Hal serupa ditemukan Litbang Kompas pada Pemilu 2019 yang semakin menunjukkan pengaruh kekuatan sosok caleg dibandingkan dengan partai politiknya.
Pada akhirnya isu-isu seputar penggelembungan suara, favoritisme partai politik, dan akses pada pusat kekuasaan politik partai turut memengaruhi dinamika yang terjadi pada persidangan sengketa pemilihan legislatif.
Pendek kata, publik akan kembali disuguhi dinamika sengketa perselisihan hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi, dari sengketa pemilihan presiden yang usai dan berakhir, kembali akan memulai persidangan sengketa pemilu legislatif. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Jadi Capres-Cawapres Terpilih, Prabowo-Gibran Bersafari untuk Perkuat Koalisi