Habis Lebaran Terbitlah Tagihan Utang
Tanpa pertimbangan dan perencanaan yang baik, utang akan menjadi persoalan pasca-Lebaran.
Banyaknya pengeluaran saat Lebaran membuat sebagian masyarakat harus berupaya sedemikian rupa untuk memenuhinya. Tak jarang, berutang menjadi salah satu opsi pilihan. Langkah ini sejatinya bukan hal yang tabu, sepanjang dikelola dan diukur secara tepat. Pasalnya, tanpa pertimbangan dan perencanaan yang baik, utang akan menjadi persoalan yang menjerat di kemudian hari.
”Kita mulai dari nol lagi, ya.” Gurauan ini acapkali muncul saat silaturahmi di hari raya Idul Fitri. Bak pertandingan, posisi kedua pihak impas setelah saling bermaafan, dan setelahnya kesalahan dan kekhilafan kembali dihitung dari nol.
Tak hanya urusan bermaaf-maafan, narasi ”mulai dari nol” ternyata juga sering dikaitkan dengan keuangan pasca-Lebaran. Pengeluaran yang membengkak di hari raya membuat rekening terkuras dan kantong menipis. Alhasil, urusan finansial pun dimulai dari awal lagi. ”Akhirnya, terlewati. Sudah habis-habisan. Saatnya mulai cari duit lagi”, ucap Tami (48), seorang ibu rumah tangga yang mudik ke Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Tanpa disadari dan tanpa menafikan makna di hari yang fitri, agenda tahunan yang sudah menjadi tradisi itu ternyata cukup memberatkan bagi sebagian orang secara finansial, sebagaimana dinyatakan Tami. Perasaan lega terucap setelah bertemu banyak keluarga saat hari raya, tetapi nada gundah tetap saja tak mudah untuk ditepis.
Bahkan, bagi sebagian orang, kegembiraan dan kehangatan Lebaran harus dilanjutkan dengan kegelisahan lantaran datang sejumlah tagihan. Pasalnya, tidak sedikit masyarakat yang harus bergantung pada utang demi menambah amunisi mereka untuk memenuhi kebutuhan Lebaran. Besarnya pengeluaran menjelang dan saat hari raya memaksa mereka untuk mengambil keputusan tersebut. Bukan hanya urusan hidangan dan pakaian, renovasi rumah hingga gawai baru pun kerap menjadi pengeluaran yang dibelanjakan masyarakat menjelang Lebaran.
Baca juga: Perencana Keuangan: Utang Bukan Solusi untuk Biayai Kebutuhan Pasca-Lebaran
Mengandalkan pinjaman
Jajak pendapat Kompas akhir Maret lalu merekam, setidaknya dua dari lima responden pernah mengalami atau menjumpai fenomena tersebut, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Sebagian besar responden mengamati hal itu terjadi di lingkungan sekitarnya, seperti tetangga, rekan, dan anggota keluarga. Sebagian lainnya mengaku bahwa mereka sendiri yang mengalaminya.
Berutang menjelang Lebaran pernah dialami semua kelompok sosial ekonomi responden, dari atas hingga bawah. Namun, yang terbanyak berasal dari golongan bawah dan menengah bawah. Bagi kelompok ini, demi mencukupi kebutuhan pokok harian, mereka harus bekerja ekstra keras. Karena itu, untuk menambah pengeluaran guna kebutuhan hari raya, tentu saja perlu dipikirkan alternatif solusi. Berutang terkadang menjadi jalan keluar yang relatif sering dilakukan.
Secara umum, pinjaman tersebut terkonsentrasi pada dua sumber, yakni orang terdekat dan lembaga keuangan perbankan. Anggota keluarga hingga rekan menjadi salah satu tumpuan untuk meminjam lantaran biasanya tidak mematok bunga tertentu. Sepertiga responden lainnya lebih mengandalkan perbankan, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat (BPR).
Fenomena itu sejalan dengan peningkatan penyaluran kredit menjelang Lebaran. Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit perbankan nasional tembus angka Rp 7.095 triliun hingga Februari 2024. Naik sekitar lima persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Baca juga: Siasat Keuangan Pasca-Lebaran
Hal itu menjadi semacam rutinitas menjelang Lebaran. Sebagai contoh tahun lalu, kredit meningkat pada bulan April. Saat itu perayaan Lebaran juga jatuh pada bulan tersebut. Berdasarkan jenis penggunaannya, sekitar 28 persen untuk konsumsi masyarakat. Bahkan, pada BPR, hampir separuh kredit yang tersalurkan digunakan untuk belanja konsumsi.
Selain perbankan, lembaga keuangan resmi nonbank, seperti koperasi dan pegadaian, juga menjadi pilihan. Bahkan, pinjaman daring pun menjadi tumpuan sebagian kelompok responden. Salah satu daerah yang marak fenomena pinjaman daring mendekati hari raya adalah Sulawesi Tenggara.
Menyitir pemberitaan Antara, OJK Sulawesi Tenggara menemukan adanya peningkatan aduan pinjaman daring menjelang Lebaran 2024. Rata-rata kenaikannya sebesar 50 persen dibandingkan hari biasa. Tingginya permintaan kredit ini disebabkan oleh mudahnya akses pinjaman lewat daring sehingga menarik minat sebagian masyarakat.
Terlilit utang
Melakukan pinjaman pada dasarnya bukan hal yang tabu. Hal itu menjadi persoalan ketika kemudian terjebak pada utang. Masih merujuk jajak pendapat Kompas, sekitar sepertiga responden pernah mengalami atau menemukan kasus terlilit utang seusai Lebaran. Kemalangan tersebut paling banyak dialami oleh mereka yang mengaku terpaksa berutang demi memenuhi kebutuhan hari raya.
Memang berutang untuk mencukupi kebutuhan Lebaran pernah dialami semua kelompok sosial ekonomi responden, tetapi terjebak utang hanya dialami responden golongan kelas bawah dan menengah. Kalangan atas hanya menemukan kasus tersebut pada orang-orang di sekitar mereka, terutama rekan dan tetangga.
Persoalan tersebut tentu menjadi beban berat, terutama bagi mereka yang dalam kesehariannya pun hidup dalam kekurangan. Strategi membayar utang harus dipikirkan bersamaan dengan upaya memenuhi kebutuhan harian. Di perdesaan, sering kali ditemukan masyarakat harus dihadapkan pada utang (pada rentenir atau tengkulak) yang menumpuk karena dari tahun ke tahun tidak bisa melunasinya. Akumulasi utang semakin membesar saat hari raya tiba.
Jika berutang pada lembaga keuangan resmi, jeratan utang tampaknya lebih mudah diminimalkan. Sistem kontrol yang jelas membuat ketertiban lebih terjamin. Namun, yang kini menimbulkan banyak persoalan adalah ketika terjerat pinjaman daring. Tak hanya nominal utang yang terus bertambah, teror tiada henti pun menjadi persoalan tersendiri yang dapat mengancam kesehatan mental.
Baca juga: Agar Dompet Tidak Tekor Setelah Lebaran
Bahkan, proses pengajuan pinjaman daring pun dapat menimbulkan problem. Seperti kasus kekerasan rumah tangga yang terjadi saat hari raya tiba karena perkara pinjaman daring. Tepat 10 April lalu, seorang suami di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, menganiaya istrinya lantaran sang istri menolak untuk meminjamkan KTP untuk keperluan pinjaman daring.
Apa pun bentuknya, jerat utang menjadi momok yang sulit dihadapi. Bagi individu, selain mengganggu kesehatan finansial, terlilit utang dapat mengganggu kesehatan mental. Sementara bagi negara, tingginya utang membuat potensi kredit macet lebih tinggi. Berdasarkan catatan OJK tahun lalu, non performing loan bank umum saat periode Lebaran, April 2023, meningkat.
Persiapan keuangan
Untuk menghindari persoalan tersebut, perencanaan keuangan untuk hari raya perlu disusun dengan lebih matang. Jajak pendapat Kompas menemukan, belum semua orang memiliki kesadaran menyiapkan anggaran Lebaran. Padahal, perayaan umat tersebut sudah menjadi tradisi tahunan yang hampir dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mestinya pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya bisa menjadi dasar untuk menyiapkan anggaran dan segala kebutuhannya.
Hanya sekitar 16 persen responden yang sudah menyiapkan dana Lebaran sejak tahun lalu. Kelompok terbesarnya hingga 30 persen baru menyiapkan sekitar satu bulan sebelum hari raya tiba. Sekitar 12 persen lainnya menunggu THR untuk menyusun keuangan Lebaran. Sebagian kecil lainnya lagi baru menyiapkan seminggu sebelum Lebaran. Sepertiga responden lainnya secara terang-terangan mengaku tidak menganggarkan dana Lebaran secara khusus.
Baca juga: Jebakan di Ujung Jari, THR Ludes hingga Terlilit Utang
Bagi kalangan atas mungkin tidak menjadi persoalan jika harus memenuhi kebutuhan hari raya secara dadakan. Kematangan finansial membuat mereka bisa lebih luwes membelanjakan dana mereka. Namun, bagi kelompok bawah, persiapan keuangan menjadi penting. Bukan perkara besar kecilnya anggaran, melainkan kesiapan dan perencanaan yang matang sangat diperlukan agar tidak menimbulkan persoalan keuangan pasca-Lebaran.
Dengan kalkulasi yang baik, kelompok masyarakat menengah ke bawah diharapkan tidak terjebak utang yang memberatkan. Idealnya, utang bukan menjadi tumpuan utama. Namun, kalaupun terpaksa berutang, lebih baik meminjam kepada pihak yang tidak memberikan bunga tinggi. Dalam hal ini, meminjam kepada keluarga, saudara, atau teman bisa menjadi alternatif solusi.
Jika harus menggunakan institusi jasa keuangan, sebisa mungkin meminjam kepada lembaga resmi yang terdaftar pada OJK. Dengan demikian, utang yang dipinjam terukur sesuai kemampuan sehingga tidak memberatkan saat mengangsurnya.
(LITBANG KOMPAS)