Untung dan Buntung Urbanisasi Pasca-Lebaran
Dibutuhkan pemerataan pembangunan yang inklusi bagi wilayah perkotaan dan perdesaan untuk mengurangi urbanisasi.
Urbanisasi masih mewarnai fenomena pasca-Lebaran di wilayah perkotaan. Selain berpeluang memberikan dampak positif bagi pelaku migrasi, urbanisasi itu juga berpotensi menjadi beban bagi pembangunan di wilayah bersangkutan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemerataan pembangunan yang inklusi bagi wilayah kota dan desa.
Perayaan Idul Fitri identik dengan budaya mudik masyarakat Indonesia. Mereka pulang ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran bersama keluarga besar. Arus mudik dan balik tahun ini mengalami peningkatan dibandingkan Lebaran tahun-tahun sebelumnya.
Hasil survei potensi pergerakan Lebaran 2024 oleh Kementerian Perhubungan menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang mudik diperkirakan mencapai 193,6 juta jiwa. Jumlah tersebut naik 69,8 juta jiwa dibandingkan tahun lalu dan melejit hingga lebih dari 100 juta jiwa dari tahun 2022.
Tingginya proyeksi arus mudik itu sebanding dengan tingginya arus balik pasca-Lebaran. Kemenhub memprediksi arus balik akan terjadi hingga seminggu setelah Lebaran, yaitu 18 April 2024.
Biasanya, pada masa arus balik itu disertai dengan adanya fenomena urbanisasi. Terjadi perpindahan masyarakat dari pinggiran kota atau perdesaan ke perkotaan besar. Ada beragam alasan yang mendasari seseorang melakukan urbanisasi. Salah satunya, mendapat ajakan dari saudara atau kerabat untuk pindah ke kota.
Ajakan tersebut tertangkap dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 25-29 Maret 2024 mengenai topik seputar Lebaran. Sebanyak 25,2 persen responden mengatakan berencana mengajak saudara atau kerabat keluarga untuk ikut ke kota tempat tinggal mereka.
Minat untuk mengajak pindah ke perkotaan itu meningkat dibandingkan tahun 2018. Jajak pendapat Kompas saat periode Lebaran 2-3 Juni 2018 menunjukkan hanya sebesar 20,8 persen yang berencana mengajak pindah saudara atau kerabatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa proses urbanisasi selalu terjadi dan cenderung mengalami peningkatan, khususnya saat momen pasca-Lebaran.
Baca juga: Jawa Tengah Menjadi Sumber Perantau Terbesar di Indonesia
Urbanisasi menjadi fenomena yang kerap terjadi karena adanya faktor pendorong dari daerah asal dan faktor penarik dari kota tujuan. Angan-angan memperoleh hidup lebih sejahtera dengan penghasilan tinggi menjadi faktor pendorong terkuat dari diri masyarakat di daerah. Wilayah tujuan urbanisasi selalu mengarah ke kota-kota besar, seperti di wilayah Jakarta, Medan, Surabaya, atau Makassar.
Jakarta masih menjadi primadona bagi masyarakat yang melakukan urbanisasi. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, sepanjang periode Lebaran 2023 ada pendatang baru sebanyak 25.918 orang. Usia produktif mendominasi para pendatang tersebut, yaitu sekitar 61 persen.
Ada beragam alasan seseorang untuk memilih pindah dan tinggal di Jakarta. Berdasarkan survei Litbang Kompas bertajuk ”Teropong Jakarta” pada 14-20 Oktober 2022, sebanyak 43,8 persen mengaku pindah ke Jakarta karena ikut orangtua atau kerabat. Ajakan keluarga selalu menggiurkan bagi banyak orang di daerah, apalagi saat bercerita tentang tingginya upah di kota besar.
Selain karena ajakan keluarga, sekitar 36,8 persen responden mengatakan bahwa di Jakarta lebih banyak peluang pekerjaan atau usaha dibandingkan di daerah. Ajakan keluarga dan kesempatan kerja menjadi dua jawaban utama mengapa urbanisasi ke Jakarta masih terus berlanjut dari tahun ke tahun.
Kesempatan kerja
Cita-cita memperoleh kehidupan lebih sejahtera tak bisa lepas dari benak setiap orang yang melakukan urbanisasi. Wilayah kota sebagai pusat pembangunan dan ekonomi menjadi magnet terkuat untuk menarik banyak orang untuk datang. Sayangnya, memperoleh penghidupan nyaman di perkotaan tak semudah yang dibayangkan.
Berdasarkan jajak pendapat Kompas, sebanyak 61,8 responden menyatakan bahwa saat ini di kawasan kota juga sulit mendapatkan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan formal dan informal, mulai dari karyawan swasta hingga pedagang. Persaingan tenaga kerja makin tajam di tengah penambahan penduduk yang signifikan karena urbanisasi.
Meskipun demikian, arus urbanisasi ke kota besar mustahil dibendung seiring kian gemerlapnya kehidupan perkotaan. Namun, daya tarik perkotaan ini masih relatif minim disertai kualitas sumber daya manusia pelaku urbanisasi yang sepadan dengan yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, arus urbanisasi ke Jakarta pasca-Lebaran 2023 didominasi lulusan setingkat SMA ke bawah dengan proporsi hingga 84,06 persen. Bahkan, 17,6 persen di antaranya adalah kelompok masyarakat yang tidak sekolah dan 10,83 persen hanya tamatan setingkat SD. Pelaku urbanisasi dengan pendidikan tinggi hanya 15,94 persen di Jakarta.
Baca juga: Mudik dan Urbanisasi
Kondisi tersebut menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah, seperti Jakarta. Kepadatan penduduk dengan tingkat pendidikan dan keahlian kurang memadai berisiko menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan kasus-kasus kriminal.
Sumbangsih pendatang dinilai tidak signifikan bagi perkembangan kota tujuan urbanisasi. Jajak pendapat Kompas menyebutkan, sebanyak 43,7 persen responden menyatakan keberadaan pendatang tidak berpengaruh bagi kota tersebut. Bahkan, sebanyak 24,4 persen responden menilai urbanisasi cenderung sebagai beban. Mereka dianggap akan menambah angka kriminalitas dan mengurangi daya dukung lingkungan perkotaan.
Meskipun demikian, masih ada sekitar 20,8 persen responden yang berpendapat bahwa pendatang justru menguntungkan bagi pembangunan wilayah kota. Masuknya puluhan ribu orang ke suatu kota mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Hal tersebut berasosiasi dengan peningkatan ekonomi dan akselerasi pembangunan kawasan perkotaan yang lebih maju dan modern.
Manajemen urbanisasi
Arus urbanisasi memang tidak dapat dihentikan. Selalu ada faktor pendorong dan penarik di luar kendali individu atau pemerintah setempat. Karena itu, dibutuhkan kebijakan dan instrumen yang memadai untuk mengendalikan efek domino urbanisasi bagi wilayah asal dan wilayah tujuan.
Bagi wilayah asal, arus urbanisasi bisa berdampak buruk terhadap stagnasi pembangunan karena penurunan aktivitas ekonomi dari penduduk usia produktif. Sementara itu, bagi wilayah tujuan, arus urbanisasi dapat dijadikan peluang meningkatkan perekonomian dan pembangunan. Hal tersebut mampu menciptakan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Baca juga: Urbanisasi dan Tantangan Pembangunan Perdesaan
Untuk mengendalikan arus urbanisasi, sebanyak 74,9 persen responden jajak pendapat Kompas mengatakan bahwa pemerintah harus fokus menciptakan banyak lapangan pekerjaan di perkotaan dan perdesaan. Akses terhadap pekerjaan dengan upah layak adalah jaminan hidup bagi masyarakat. Apabila di kota dan di desa terdapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan, laju urbanisasi dapat dikendalikan.
Upaya berikutnya untuk meredam urbanisasi adalah meningkatkan layanan kesehatan dan pendidikan di daerah. Ada sekitar 31 persen responden yang menyatakan hal demikian.
Langkah selanjutnya, sekitar 12 persen responden juga mengusulkan pemerataan pembangunan fasilitas publik, seperti transportasi dan komunikasi.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah mempercepat pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah. Langkah pemerataan ini diutarakan oleh sekitar 11 persen responden.
Oleh karena itu, persoalan urbanisasi harus diselesaikan dari akarnya, yaitu pemerataan pembangunan di kota dan desa. Pembangunan infrastruktur dapat menjadi langkah awal untuk memajukan sebuah daerah, kemudian dilanjutkan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan kesempatan kerja yang lebih terbuka. Dengan demikian, suatu saat nanti, kota dan desa dapat tumbuh bersama dan menciptakan pembangunan yang inklusif menepis segala ketimpangan yang ada saat ini. (LITBANG KOMPAS)