Inflasi Indonesia di awal tahun 2024 menunjukkan peningkatan yang perlu diantisipasi.
Oleh
GIANIE
·3 menit baca
Sejak awal tahun, angka inflasi di Indonesia cenderung meningkat. Pasca-Lebaran, angkanya mesti diantisipasi agar tidak semakin membebani daya beli masyarakat dan kondisi keuangan negara. Hal ini mesti dilakukan di tengah tren inflasi global yang menurun.
Tren inflasi di Indonesia sejak awal tahun 2024 ini berbeda dengan kondisi tahun 2023. Inflasi di awal tahun 2023 dimulai dengan tingkat yang relatif tinggi, tetapi bisa dikendalikan sejak bulan ketiga (Maret). Bahkan, inflasi di bulan puasa Ramadhan dan Lebaran 2023 (yang biasanya cenderung tinggi karena konsumsi meningkat) bisa lebih rendah dibandingkan awal tahun.
Inflasi tahun 2023 tercatat 2,61 persen secara tahunan. Angka inflasi ini adalah yang terendah dalam dua dekade terakhir di luar periode pandemi Covid-19.
Rendahnya inflasi tahun 2023 ini disebabkan efek basis (base effect) harga yang sudah tinggi pada tahun 2022 seiring adanya kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan lonjakan harga komoditas global. Kenaikan harga BBM pada September 2022 telah memberi tekanan inflasi pada 2022 yang kemudian pada 2023 diikuti dengan inflasi yang lebih rendah.
Selama 2023, beras menjadi komoditas penyumbang andil terbesar terhadap inflasi karena pengaruh fenomena El Nino. Tahun 2024 pun dibuka dengan persoalan kelangkaan dan kenaikan harga beras.
Hingga pertengahan Februari, harga beras telah mencapai Rp 15.000 lebih per kilogram. Di luar Pulau Jawa, harga beras bahkan hampir menyentuh level Rp 17.000 per kg. Harga beras terus naik seiring dengan mundurnya masa panen dan berkurangnya pasokan dari sentra produksi.
Inflasi pada Januari 2024 tercatat 2,57 persen (secara tahunan). Di bulan Februari, angkanya meningkat menjadi 2,75 persen dan Maret menjadi 3,05 persen. Pertengahan Maret sudah masuk bulan Ramadhan, sehingga di bulan April di mana ada Lebaran diperkirakan inflasi masih akan tinggi.
Menurut Badan Pusat Statistik, inflasi Maret terjadi karena ada kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau sebesar 7,43 persen.
Kenaikan indeks kelompok pengeluaran lainnya tidak ada yang melebihi 4 persen. Kenaikan kedua terbesar terjadi pada indeks kelompok pengeluaran perawatan pribadi dan jasa lainnya, yakni 3,56 persen.
Komoditas yang dominan memberikan andil terhadap inflasi Maret 2024 adalah beras, tomat, bawang putih, cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, gula pasir, kopi bubuk, sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM), dan sigaret putih mesin (SPM).
Kenaikan inflasi karena komoditas utama di atas juga memicu kenaikan harga bahan pangan lainnya ataupun harga nonpangan , termasuk sewa/kontrak rumah, upah asisten rumah tangga, dan uang kuliah.
Untuk tahun 2024, tingkat inflasi dalam asumsi dasar ekonomi makro ditetapkan sebesar 2,8 persen. Target ini akan sulit dicapai apabila tren harga beras terus naik. Padahal, inflasi global cenderung turun.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam update mengenai outlook perekonomian dunia edisi Januari 2024 menyatakan, inflasi global diperkirakan akan turun dari 6,8 persen pada 2023 menjadi 5,8 persen pada 2024 dan menjadi 4,4 persen pada 2025.
Secara keseluruhan, meski pertumbuhan ekonomi global tengah melambat, sekitar 80 persen perekonomian dunia diperkirakan akan mengalami penurunan inflasi utama tahunan, terutama pada inflasi inti. Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung stabil dalam pergerakannya dan dipengaruhi oleh faktor fundamental.
Inflasi di negara-negara maju diperkirakan akan turun lebih cepat, yakni sebesar 2,0 persen pada 2024 menjadi 2,6 persen. Pola ini berbeda dengan negara-negara berkembang yang inflasinya diperkirakan hanya turun 0,3 persen menjadi 8,1 persen.
Penyebab penurunan inflasi berbeda-beda di setiap negara. Namun, secara umum hal itu dipengaruhi oleh angka inflasi inti yang lebih rendah akibat kebijakan moneter yang masih ketat diterapkan setiap pemerintah. Selain itu juga karena ada gejala pelemahan pasar tenaga kerja dan dampak lanjutan dari penurunan harga energi yang terjadi hingga saat ini.
Bagi Indonesia, menurunkan tingkat inflasi saat ini merupakan tantangan yang tidak mudah. Hal ini bukan tanpa alasan. Beras sebagai komoditas yang mempunyai andil besar menyumbang inflasi harganya masih cenderung naik.
Harga beras sulit kembali ke tingkat yang lebih rendah sesuai dengan harga eceran tetap yang ditentukan pemerintah. Pasalnya, biaya produksi beras juga cenderung naik, yang disebabkan, antara lain, kenaikan upah pekerja di pertanian, sewa lahan, ataupun harga barang input produksi seperti pupuk.
Produksi beras juga akan terganggu oleh masalah iklim, sementara upaya menstabilkan harga lewat kebijakan impor beras terkendala oleh situasi sejumlah negara produsen beras yang melarang ekspor beras demi memprioritaskan kebutuhan domestik. Kondisi ini menjadi dilema yang pada akhirnya berpengaruh pada kenaikan harga beras.
Oleh sebab itu, perlu komitmen dan prioritas kebijakan untuk stabilisasi harga beras. Salah satu yang dapat dilakukan, menurut IMF, adalah mengintensifkan reformasi peningkatan pasokan.
Namun, hal ini pun tidak mudah dan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Sering kali kebijakan jangka pendek seperti kebijakan impor beras diambil pemerintah untuk segera menurunkan harga dan mengatasi kelangkaan beras.
Jika inflasi tidak bisa dikendalikan, daya beli masyarakat akan semakin menurun. Akan banyak masyarakat yang jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Hal itu pada akhirnya akan membebani keuangan negara karena anggaran perlindungan sosial bisa membengkak. (LITBANG KOMPAS)