Caleg Nomor Urut Atas Tetap Favorit
Bagi parpol, menempatkan caleg terbaik di urutan teratas jadi cara mencegah pemilih berpaling.
Calon anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki nomor urut atas atau kecil lebih berpeluang terpilih dibandingkan mereka yang berada di nomor urut paling bawah atau besar. Pemilih cenderung lebih mudah menjatuhkan pilihan di daftar caleg paling atas saat dihadapkan pada jumlah calon yang begitu banyak.
Kesimpulan ini terekam dari hasil kajian dan simulasi yang dilakukan Litbang Kompas terhadap hasil Pemilihan Umum 2024. Data yang dijadikan bahan simulasi ini adalah merujuk pada penetapan rekapitulasi suara per provinsi dari laman KPU. Tentu, hasil akhir pemilu nanti tetap menunggu putusan atas perkara permohonan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, setidaknya dari hasil simulasi ini ditemukan satu benang merah bahwa pragmatisme pemilih cenderung menguat dengan banyaknya calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki nomor urut atas atau kecil, terutama nomor urut satu yang berpeluang terpilih. Temuan ini makin diperkuat dengan gejala yang sama di dua pemilu sebelumnya, yakni hasil Pemilu 2019 dan 2014.
Baca juga: Nomor Urut ”Cantik” Masih Jadi Incaran Bakal Caleg
Dari hasil simulasi di Pemilu 2024 ini, sekitar 64,1 persen (370 dari total 580 kursi DPR) yang berpotensi terpilih saat ini merupakan calon dengan nomor urut pertama. Angka ini cenderung terus meningkat dibandingkan dengan kategori yang sama pada Pemilu 2019 (63,3 persen) dan Pemilu 2014 (62,1 persen).
Angka ini juga akan semakin besar jika yang dibandingkan adalah jumlah caleg dengan nomor urut satu, dua, dan tiga. Untuk Pemilu 2014, caleg seperti ini ada sebanyak 83,6 persen, lalu meningkat menjadi 87,0 persen pada Pemilu 2019, dan di Pemilu 2024 ini menjadi 89,5 persen.
Sebaliknya, untuk caleg dengan nomor urut besar seperti semakin kecil kemungkinan untuk dipilih. Jumlah caleg yang seperti ini cenderung semakin sedikit terpilih.
Tokoh fenomenal
Meskipun demikian, ada beberapa tokoh fenomenal yang walaupun ”ditempatkan” di nomor urut besar atau bawah tetap bisa terpilih dengan perolehan suara yang cukup besar. Sebut saja Ir Sudjadi, politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menjadi anggota DPR RI sejak 2009.
Pada Pemilu 2024 ini, ia berada di nomor urut 8 PDI-P di daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah VI dan meraih suara tertinggi, bukan saja dibandingkan caleg PDI-P di dapil ini, tapi juga menjadi yang tertinggi dibandingkan seluruh caleg di dapil tersebut. Dengan demikian, periode mendatang akan menjadi periode keempat secara berturut-turut bagi Sudjadi sebagai anggota DPR RI.
Keadaan yang mirip juga terjadi pada Haryanto. Caleg dari PDI-P di Jawa Tengah III ini lolos ke Senayan dengan perolehan suara tertinggi di dapilnya walaupun nomor urutnya berada di posisi ke-6. Begitu juga I Nyoman Parta di Bali. Berada di nomor urut 5 (lima) PDI-P, juga berhasil menjadi caleg dengan suara terbanyak di Bali. Di dapil ini juga, PDI-P berhasil mendapatkan lima kursi dan menjadi satu-satunya partai yang bisa meraih lima kursi di satu dapil pada pemilu kali ini. Partai lain paling banyak hanya bisa meraih tiga kursi di satu dapil.
Baca juga: Konflik Internal Parpol Rentan Terjadi Saat Penetapan Caleg
Peraih kursi
Caleg dengan perolehan suara terbanyak dan menempati nomor urut satu berpeluang memberikan kursi kepada partai. Caleg dengan nomor urut satu tercatat meraih kursi pertama di 67 dapil dari total 84 dapil (79,8 persen). Sisanya sebagian besar diraih caleg bernomor urut dua. Hanya sedikit sekali caleg peraih suara terbanyak dari nomor urut selain satu dan dua (7,1 persen).
Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2019 yang saat itu angkanya mencapai 52 caleg yang meraih kursi pertama di dapilnya dan sekaligus menempati nomor urut 1 di dapil tersebut. Kenaikan ini memberikan sinyal bahwa setiap caleg yang menempati nomor urut atas, terutama nomor 1, lebih berpeluang terpilih. Peluang keterpilihan mereka juga membawa peluang merebut kursi pertama dari total kursi yang diperebutkan di dapil tersebut.
Hasil simulasi Litbang Kompas menempatkan ada sejumlah partai politik yang meraih suara terbanyak di setiap dapil. Berbeda dengan yang terjadi pada Pemilu 2019 yang didominasi oleh PDI-P, pada Pemilu 2024 dominasi berpeluang dipegang Partai Golkar dengan meraih suara terbanyak di 22 dapil, disusul PDI-P di 17 dapil, dan Gerindra 11 dapil.
Caleg peraih suara terbanyak
Simulasi Litbang Kompas juga menemukan data bahwa PDI-P berpeluang sebagai partai politik yang mampu mengantarkan calegnya menjadi peraih suara terbanyak nasional. Caleg tersebut adalah MH. Said Abdullah dari dapil Jawa Timur XI (Madura). Dengan perolehan 528.815 suara, Said menjadi caleg paling favorit kali ini. Perolehan suaranya setara dengan 80,1 persen dari suara PDI-P di dapil Jawa Timur XI tersebut.
Di urutan kedua dan ketiga masing-masing ada Dedi Mulyadi, caleg dari Gerindra di dapil Jawa Barat VII, dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dari Partai Demokrat di dapil Jawa Timur VII. Dengan perolehan suara lebih dari 300.000, Dedi menyumbang hampir 50 persen suara Gerindra di dapilnya, sedangkan Ibas menyumbang sekitar 66 persen suara Demokrat di dapilnya.
Sementara itu, Ketua DPR saat ini, Puan Maharani, yang pada Pemilu 2019 menjadi peraih suara terbanyak nasional kali ini suaranya menurun. Puan yang maju sebagai caleg PDI-P dari dapil Jawa Tengah V ini suaranya menurun di peringkat keenam. Suara yang diraih Puan hampir 300.000 suara mengalami penurunan sekitar 25 persen dibandingkan perolehan suaranya pada Pemilu 2019 yang mencapai lebih dari 400.000 suara. Walaupun masih termasuk caleg dengan perolehan suara terbesar, porsi suaranya sedikit menurun menjadi sekitar 38 persen dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 44 persen dari total suara partai dan caleg PDI-P di Dapil Jawa Tengah V.
Baca juga: Rahasia Caleg Modal Cekak Menembus Parlemen
Cegah berpaling
Dari kesepuluh caleg peraih suara terbanyak nasional, sebagian besar merupakan caleg bernomor urut satu dan merupakan peraih kursi pertama di dapil masing-masing. Sepertinya, setiap partai berlomba-lomba menempatkan calon-calon terbaiknya di urutan atas untuk menarik perhatian masyarakat sehingga masyarakat tidak berpaling pada partai lain.
Jumlah caleg yang begitu banyak ditambah dengan sistem pemilu serentak yang mengharuskan pemilih untuk menentukan pilihan pada lima lembar surat suara berpotensi membuat pemilih bingung. Tidak heran jika kemudian gejala pragmatisme tampak dengan adanya ”jalan pintas”, yakni dengan menjatuhkan pilihan pada caleg nomor urut atas, atau jika tidak mau repot, pemilih cenderung mencoblos gambar parpol tanpa memikirkan caleg mana yang akan dipilih.
Gejala pragmatisme dan praktis ini tentu membuka peluang pemilih yang semakin menihilkan proses political tracking, yakni pemilih proaktif mencari informasi terkait calon wakil rakyat yang akan dipilihnya.
Tentu gejala ini menjadi pintu untuk membuka kembali upaya penguatan terhadap sistem pemilu ke depan, yang tidak sekadar menempatkan pentingnya penguatan kelembagaan partai politik, tetapi juga penguatan literasi dan pendidikan bagi pemilih.