Korupsi timah yang belakangan mencuat ke publik tak hanya menjadi puncak gunung es korupsi di sektor tambang, tetapi juga praktik korupsi secara umum di Indonesia. Kasus korupsi ini muncul di tengah merosotnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.
Menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia terjadi pada tahun 2019 menuju 2022. Pada tahun 2019, dari nilai 100, IPK Indonesia berada di angka 40. Berikutnya, pada tahun 2023, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menurun menjadi 34.
Membandingkan dengan rata-rata skor dunia sebesar 45 dari 100, maka skor Indonesia berada di bawah itu. Tak hanya di bawah rata-rata, skor 34/100 menempatkan Indonesia di peringkat ke-115 dari 180 negara yang disurvei.
Baca juga: Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Melorot, Istana Akan Evaluasi Langkah dan Kebijakan Antikorupsi
Korupsi timah
Di tengah fenomena di atas, dugaan korupsi timah menjadi perbincangan publik, terutama di media sosial, sebab menyeret sejumlah nama tenar beberapa hari terakhir.
Salah satunya adalah Harvey Moeis yang merupakan suami artis Sandra Dewi. Harvey menjadi tersangka ke-16 atas perkara dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk dari tahun 2015-2022 (Kompas, 31/3/2024).
Harvey diduga menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT). Perannya mengakomodasi kegiatan tambang timah ilegal dengan menghubungi sejumlah perusahaan smelter (pengolahan timah), di antaranya PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN.
Sebelumnya, sudah terseret nama selebritas Helena Lim sebagai tersangka ke-15. Selaku Manajer PT QSE, Helena diduga kuat memberikan bantuan untuk mengelola hasil penambangan ilegal melalui kerja sama penyewaan alat pemrosesan peleburan timah. (Kompas, 26/3/2024).
Dugaan korupsi yang sudah menyeret puluhan nama ini ditengarai belum usai. Masih ada pihak-pihak terkait yang mungkin akan menyusul ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara itu, selaku BUMN, menurut catatan Antikorupsi.org, PT Timah diduga menerbitkan surat perintah kerja borongan pengangkut sisa hasil pengolahan mineral timah yang memperlancar praktik korupsi penambangan bijih timah ilegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan boneka.
Melihat potensi kerugian negara, sejauh ini muncul angka Rp 271 triliun. Jumlah tersebut dikalkukasikan berdasarkan kerugian ekonomi dan lingkungan serta biaya pemulihan sebagaimana diungkapkan oleh Bambang Hero Saharjo selaku salah satu ahli penyidik yang juga akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University (Kompas, 1/4/2024).
Sepanjang 2015-2022, kerugian ekologis mencapai Rp 157,8 triliun. Sementara kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,2 triliun. Selain itu, masih ada biaya pemulihan lingkungan Rp 5,2 triliun dan kerugian di luar kawasan hutan lebih kurang Rp 47,7 triliun.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot Tajam
Tren korupsi
Melihat data tindak pidana korupsi (TPK) yang dipublikasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi kenaikan jumlah di sektor sumber daya alam (SDA) dan energi. Pada tahun 2022, tercatat hanya satu TPK yang ditangani KPK di sektor ini. Jumlah ini meningkat menjadi 13 kasus korupsi di sektor SDA dan energi pada tahun 2023.
Sejatinya, tidak hanya sektor SDA dan energi saja yang mengalami penambahan kasus. Secara umum, tren kasus korupsi yang ditangani KPK meningkat dalam delapan tahun terakhir. Total TPK yang ditangani sepanjang 2023 sebanyak 161 kasus. Jumlah ini menjadi yang tertinggi sejak tahun 2016.
Apabila fenomena korupsi dipandang sebagai kasus multiaktor, maka tidak hanya satu pihak saja yang terseret dalam satu kasus. Kembali mengacu data yang dirilis KPK, tiga pihak yang paling rentan menjadi aktor korupsi adalah pihak swasta, pejabat pemerintah, serta anggota DPR dan DPRD.
Sejak tahun 2004 hingga 2023, terdapat 430 TPK yang ditangani KPK dengan aktor pihak swasta atau 25,6 persen dari total koruptor. Berikutnya, 371 koruptor berasal dari latar belakang profesi eselon I-IV atau 22,1 persen. Sementara pada urutan ketiga ada 344 anggota DPR dan DPRD yang menjadi aktor korupsi atau 20,5 persen.
Data di atas setidaknya mengindikasikan dua hal. Pertama, pihak swasta, pejabat pemerintah, dan wakil rakyat menjadi tiga aktor yang paling rentan terseret dalam tindak pidana korupsi. Kedua, ketiga aktor tersebut mewakili triangulasi aktor dalam tata kelola negara, yakni pengusaha, rakyat, dan negara.
Akan tetapi, jika tiga aktor ini terbukti menjadi pihak yang paling rentan terseret kasus korupsi, maka ada indikasi ketiganya malah melakukan kongkalikong demi keuntungan segelintir orang alih-alih memperjuangkan kepentingan publik, terutama rakyat.
Dalam relasi yang sehat, sewajarnya triangulasi sosial di atas dapat menjadi kontrol dalam pengambilan kebijakan-kebijakan publik, termasuk mengontrol kepentingan pemodal demi menghindari eksploitasi.
Dengan begitu, negara bisa menjadi penengah antara kepentingan rakyat yang diemban para wakilnya di hadapan pemodal. Akan tetapi, jika ketiganya cenderung melakukan kesepakatan-kesepakatan di bawah meja, maka kembali rakyat kecil yang menjadi pihak paling dirugikan.
Sebagaimana terjadi dalam kasus korupsi tambang timah di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, masyarakat kecil menjadi pihak yang menangis. Di tengah gelimang keuntungan bisnis tambang, rakyat kecil hidup dalam keterbatasan.
Berdasarkan data BPS per Maret 2023, Bangka Belitung menjadi salah satu provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi di Indonesia, yakni Rp 874.204 per kapita. Demikianlah salah satu potret ironi dari korupsi di negeri ini. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Turun, Presiden: Jadi Bahan Evaluasi