Salah satu temuan Bawaslu dalam pengawasan media sosial ini adalah terjadinya pelanggaran pemilu, terutama yang berbasis pada konten-konten yang diunggah di media sosial. Bawaslu melakukan pengawasan terhadap 355 konten yang ditemukan terkait isu pemilu sepanjang 28 November 2023-10 Februari 2024.
Hasil pengawasan menyebutkan, dari 355 konten yang ada pada periode waktu tersebut, Facebook merupakan platform dengan jumlah dugaan pelanggaran konten paling banyak, yaitu 118 konten (33,2 persen). Sementara Youtube merupakan platform dengan jumlah dugaan pelanggaran konten paling sedikit, yaitu 2 konten (0,6 persen).
Selain dua platform tersebut, Instagram, Twitter, dan Tiktok juga menjadi perhatian pengawasan. Instagram tercatat menyumbang 106 konten yang diduga melahirkan pelanggaran pemilu. Kemudian, Twitter atau X menyimpan 101 konten yang bernada dugaan pelanggaran dan Tiktok mencapai 28 konten.
Baca juga : Evaluasi Tahapan Pemilu 2024
Media sosial menyimpan ujaran kebencian
Dari 355 konten yang diawasi Bawaslu, hasil pengawasan dan evaluasi menyebutkan bahwa ujaran kebencian diidentifikasi menjadi jenis dugaan pelanggaran yang paling dominan, yakni 340 atau setara 96 persen.
Jika mengacu definisi dari Komnas HAM, ujaran kebencian dimaknai sebagai segala bentuk komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung, yang didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, etnis, dan identitas lain.
Ujaran kebencian umumnya ditujukan sebagai hasutan terhadap individu atau kelompok agar terjadi diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan konflik sosial. Ujaran kebencian dilakukan melalui berbagai sarana, yakni tulisan, gambar, video, dan sebagainya.
Selain ujaran kebencian yang menjadi dominan dari substansi konten-konten yang diawasi Bawaslu, ditemukan juga dugaan pelanggaran berita bohong atau hoaks, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Dari 355 konten yang dijadikan obyek pengawasan tersebut, ada 5 konten (1 persen) yang mengandung berita bohong.
Selain itu, Bawaslu juga menemukan konten yang mengandung politisasi suku, agama, rasa, dan antargolongan (SARA) yang selama ini rentan memicu konflik dan perseteruan sosial, terutama jika dikaitkan dengan momentum pemilu.
Baca juga: Evaluasi DPR soal Penyelenggaraan Pemilu 2024 Ditunda Senin Depan
Pasangan capres-cawapres menjadi obyek ujaran kebencian
Bawaslu juga menemukan fakta bahwa dari konten-konten berbau ujaran kebencian, pasangan capres dan cawapres yang berkontestasi di Pemilu 2024 menjadi obyek serangan paling dominan di mata pengguna media sosial atau warganet. Mayoritas konten (95 persen) yang mengandung ujaran kebencian menyasar sosok capres ataupun cawapres. Sisanya, sebagian kecil merujuk pada penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Jika murujuk data temuan Bawaslu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka paling banyak mendapatkan serangan, yakni 45 persen, disusul pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebanyak 33 persen dan paling sedikit pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan 18 persen. Ujaran kebencian berikutnya ditujukan kepada Bawaslu sebanyak 3 persen dan KPU sebanyak 1 persen.
Hal ini makin menegaskan, perhatian publik pada kontestasi pemilihan presiden relatif lebih tinggi dibandingkan kontestasi pemilu legislatif. Sejumlah survei Litbang Kompas juga merekam bagaimana pemilih cenderung lebih banyak menunjukkan atensinya pada pemilihan presiden dibandingkan memilih partai politik.
Baca juga: Media Sosial Pengaruhi Pemilih pada Pemilu 2024
Media sosial jadi rujukan utama isu pemilu
Temuan Bawaslu di atas semestinya menjadi bahan evaluasi guna menyongsong momentum pemilihan kepala daerah serentak yang digelar pada November 2024 mendatang.
Bagaimanapun, media sosial harus menjadi perhatian dalam pengawasan, terutama di masa kampanye. Sebab, tidak mudah mengatur dan mengawasi penggunaan media sosial yang tak terbatas ruang dan waktu, sedangkan aturan main dalam kontestasi politik, seperti halnya pilkada, dibatasi oleh ruang dan waktu.
Jika mengacu hasil survei Litbang Kompas, media sosial saat ini menjadi rujukan, bahkan menjadi pilihan utama, bagi seseorang untuk menggali informasi terkait pemilu. Survei periodik Kompas pada 29 November hingga 4 Desember 2023 lalu merekam tingginya penggunaan media sosial untuk mengakses informasi pemilu.
Hasil survei juga merekam bagaimana masyarakat kita cukup intens mengonsumsi konten pemilu di media sosial. Sebanyak 29,4 persen responden mengatakan mengakses media sosial untuk melihat atau membaca konten terkait pemilu paling tidak beberapa kali dalam seminggu. Tak hanya itu, 11 persen responden lain menyatakan mengonsumsi konten pemilu di media sosial setidaknya sekali dalam sehari.
Gejala ini sebenarnya bukan hal baru. Jika merujuk data We are Social edisi Januari 2024 disebutkan, jumlah pengguna gawai di Indonesia sudah mencapai 353,3 juta orang. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan jumlah populasi Indonesia yang mencapai 278,7 juta jiwa. Artinya, satu orang ada yang memiliki 2-3 gawai sekaligus.
Dari pengguna gawai tersebut, 139 juta orang di Indonesia memiliki akun media sosial. Artinya, hampir separuh warga Indonesia sudah mengakses media sosial dan aktif berinteraksi di dunia maya tersebut.
Jika dikaitkan dengan hasil survei Kompas soal tingginya intensitas masyarakat terhadap informasi pemilu, tentu media sosial menjadi media perantara yang cukup efektif, tidak hanya memengaruhi lahirnya persepsi positif, namun juga negatif.
Karena itu, meningkatkan literasi tentang media sosial dan pemilu menjadi penting guna memperkuat pemahaman publik bagaimana menempatkan isu pemilu sebagai bagian dari pendidikan politik, bukan sekadar kontestasi kekuasaan.
Momentum pilkada serentak pada November 2024 mendatang bisa menjadi ajang untuk kembali meningkatkan literasi publik agar media sosial tak sekadar memancing lahirnya pelanggaran, tetapi juga bisa mendukung pendidikan politik bagi pemilih. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Medsos Makin Strategis dalam Pertarungan Pemilu