Hampir separuh responden mengaku tak ikuti perhitungan suara parpol dan caleg, tapi tetap menaruh harapan pada caleg.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Publik cenderung pasif dalam mengikuti rekapitulasi penghitungan suara hasil Pemilu Legislatif 2024 di daerah pemilihanya. Ada jarak yang lebar antara publik dan para elite politik yang akan menjadi aspirasi mereka dalam hidup bernegara.
Temuan ini terungkap dalam hasil jajak pendapatKompas pada 26-28 Februari 2024. Sepertiga responden mengaku mengikuti rekapitulasi suara hasil pemilihan umum legislatif dari Komisi Pemilihan Umum melalui kanal media sosial. Porsi responden yang sama (29,9 persen) mengaku mengikutinya melalui pemberitaan di televisi. Responden yang mengawal lewat laman resmi KPU termasuk sedikit, hanya 15,7 persen. Namun, masih ada 22,9 persen responden yang sama sekali tidak mengikuti rekapitulasi suara hasil Pileg 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Platform media sosial dan televisi masih menjadi sumber utama bagi publik untuk memperoleh informasi seputar rekapitulasi pileg. Bisa jadi, mereka yang mengakses laman resmi KPU merupakan pihak-pihak yang bersinggungan langsung dengan kepentingan politik. Misalnya, para anggota partai, pekerja pers, pengamat politik, ataupun tokoh-tokoh berpengaruh yang kerap beropini di media sosial.
Sebagai catatan, lingkup pertanyaan tersebut masih bersifat umum dan cakupannya di tingkat nasional. Untuk menguji persepsi pemilih yang menggunakan hak pilihnya tersebut, lingkup pileg lebih dispesifikkan ke tingkat daerah pemilihan (dapil) di tempat mereka mencoblos.
Hampir setengah responden (48,4 persen) mengaku sama sekali tidak mengikuti perhitungan suara parpol dan caleg untuk dapil di mana mereka mencoblos. Dengan selisih 8,2 persen di bawahnya, ada kalangan masyarakat yang masih mengikuti keseluruhan hasil perhitungan suara partai dan caleg. Sementara lainnya, ada responden yang hanya mengikuti perhitungan suara partai (6 persen) atau perhitungan suara caleg saja (4,9 persen).
Lebih lanjut, tidak sampai setengah responden yang menjawab masih ingat caleg yang dipilih dan tahu hasil perhitungan suaranya. Sekitar 35 persen responden masih ingat caleg yang dicoblos di bilik suara, tapi tidak tahu-menahu hasil perolehan suaranya. Sisanya, ada yang sama sekali tidak ingat caleg yang dicoblos atau tidak memilih caleg sama sekali.
Tergantung usia
Ironisnya, para pemilih mula atau berasal dari kelompok usia muda menjadi kelompok terbesar dari responden yang mengaku tidak mengikuti sama sekali rekapitulasi suara hasil pileg. Padahal, para pemilih usia muda inilah yang pada masa pemilu yang lalu disebut-sebut sebagai penentu karena persentase pemilih terbesar berada di kalangan ini.
Dari jajak pendapat ini ditemukan, makin muda usia responden, semakin tidak mengikuti hasil rekapitulasi perhitungan suara pileg. Dari responden berusia 17-24 tahun, sebanyak 61,2 persen tidak mengikuti. Sementara di kelompok usia 25-39 tahun, jumlahnya sedikit turun tapi masih setengahnya (50,8 persen) yang tidak mengikuti sama sekali.
Cukup kontras, dari kalangan responden berusia 40-54 tahun, hampir setengahnya justru masih mengikuti hasil perhitungan suara partai dan caleg yang mereka coblos. Kelompok usia responden yang paling banyak mengikuti proses perhitungan suara ini berasal dari kalangan usia 55 tahun ke atas, sekitar 60 persen. Kontradiksi ini makin menguatkan persepsi bahwa urusan politik hanya menjadi milik masyarakat yang berusia tua.
Dari jajak pendapat ini ditemukan, makin muda usia responden, semakin tidak mengikuti hasil rekapitulasi perhitungan suara pileg.
Hal ini pun serupa dalam pertanyaan berikutnya terkait ingat atau tidaknya pemilih dengan caleg yang dipilih saat pemilu. Makin muda usia responden, makin besar persentase yang mengaku tidak ingat caleg pilihannya. Fakta ini menegaskan pula masih pentingnya pendidikan politik yang seharusnya dijalankan partai dalam lingkup kehidupan masyarakat.
Bisa jadi, euforia pemilu di media sosial, yang tampaknya menggerakkan kelompok pemilih muda, hanya jadi sebatas komodifikasi politik. Atensi para pemilih yang sebagian besar baru pertama kali mengikuti pemilu tersebut terkuras pada pilihan calon presiden-calon wakil presiden. Menengok kembali ke masa kampanye sebelum Pemilu 2024 dilaksanakan, kanal media massa dan pemberitaan nasional memang lebih banyak mengekspos kontestasi kandidat capres-cawapres dibandingkan dengan parpol dan calegnya.
Informasi yang berkaitan dengan parpol dan caleg yang berkontestasi pun sering kali menempel erat dengan figur capres-cawapres yang diusung, sambil mengharapkan suara pemilih dari efek ekor jas. Fenomena inilah yang kemudian berdampak pada kurangnya perhatian publik terhadap parpol dan caleg yang seharusnya menjadi instrumen politik terdekat dengan kehidupan bermasyarakat.
Kemungkinan lainnya ialah partai politik beserta calegnya hanya mementingkan kemenangan elektoral, kurang bergerak menembus persoalan riil di masyarakat. Pileg tampaknya masih dipandang sebatas persaingan antarpartai politik untuk lolos atau tidak ke parlemen untuk periode berikutnya.
Keberjarakan ini merupakan persoalan menahun bagi demokrasi bangsa. Keterwakilan para anggota partai di kursi parlemen hanya mempertebal sekat tatanan sosial politik. Pakar filsafat politik Perancis, Jacques Ranciere, dalam Disagremeent (1995), menyebutkan, karakter pemerintahan yang dominan akan memperkuat sekat hierarkis dengan kehidupan masyarakat (polis).
Konsekuensinya, kelompok elite politik akan mati-matian mempertahankan sekat dan golongannya. Seberapa pun besarnya usaha rakyat (demos) mengupayakan kesetaraan dalam kehidupan berpolitik, kelompok oligarki akan tetap memiliki kemampuan untuk mempertahankan sekat itu dan justru tetap menjaga jarak. Inilah kondisi dalam tatanan dominan (lapolice) yang mematikan demokrasi.
Sekalipun pandangan Ranciere begitu muram jika dipadankan dalam kondisi politik negara saat ini, publik tetap memiliki rasa optimistis terhadap kelanjutan bangsa. Masih ada banyak harapan ditujukan kepada para caleg yang lolos ke parlemen untuk periode pemerintahan selanjutnya.
Sebanyak 39,5 persen publik berharap agar para caleg yang lolos mampu menjadi sarana penyampaian aspirasi masyarakat dalam kebijakan pemerintah. Harapan ini menjadi yang paling banyak diajukan mengingat kebijakan baru ataupun perubahan aturan selama ini jelas berdampak nyata bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Hal yang tidak kalah penting, satu dari tiga responden juga mengharapkan para caleg dapat mengemban jabatan secara jujur dan tidak melakukan tindakan korupsi.
Deretan program kerja yang terpampang jelas di baliho selama masa kampanye pun tidak boleh diabaikan para caleg. Itulah janji politik yang masih diharapkan untuk dipenuhi oleh 28,6 persen responden. Harapan publik tersebut juga selaras dengan tingginya keyakinan (71,2 persen) bahwa caleg terpilih nantinya mampu menjalankan tugas lebih baik dari periode sebelumnya.
Bagaimanapun, Pemilu 2024 merupakan proses konversif publik yang menyerahkan seluruh keyakinan, kedaulatan, harapan moral, dan masa depan hidupnya kepada para pejabat terpilih. Inilah nilai keluhuran demokrasi yang tentunya masih diharapkan publik di tengah sorotan terhadap transparansi proses rekapitulasi suara hasil pemilu saat ini.