Banjir di Indonesia Bukan Semata akibat Cuaca Ekstrem
Kerusakan lingkungan menjadi persoalan serius dalam jangka panjang karena berpotensi memicu bencana alam setiap saat.
Oleh
DEBORA LAKSMI INDRASWARI
·3 menit baca
Kerusakan lingkungan menjadi persoalan serius dalam jangka panjang karena berpotensi memicu bencana alam setiap saat. Apalagi, adanya potensi cuaca ekstrem di sejumlah wilayah membuat nyawa manusia senantiasa terancam karena terjangan bencana yang tiba-tiba melanda. Kalimantan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi contoh nyata degradasi alam itu.
Tingginya intensitas hujan menjadi alarm pengingat tentang tingginya ancaman bencana hidrometeorologis di Indonesia. Sejumlah bencana, seperti banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor, semakin meningkat seiring tingginya intensitas hujan, terutama saat memasuki puncak musim hujan. Sebanyak 113 kejadian banjir, 116 kejadian tanah longsor, serta 82 kejadian angin puting beliung terjadi dalam rentang Januari-Februari tahun ini.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia terancam oleh sejumlah bencana itu. Bahkan, Kalimantan yang sering disebut-sebut sebagi pulau paling aman dari ancaman bencana juga tak luput dari terjangan bencana. Sejumlah kawasan di Borneo terendam banjir dengan kondisi yang lebih parah dari situasi banjir sebelumnya.
Pada akhir Januari lalu, banjir melumpuhkan kegiatan di sejumlah kota di Kalimantan. Di Kalimantan Tengah, misalnya, lima dari 14 kota/kabupaten di sana, yaitu Barito Selatan, Barito Utara, Murung Raya, Kapuas, dan Kotawaringin Barat, terendam banjir cukup parah. Sebanyak 217.988 orang di 193 desa dan 26 kecamatan terdampak bencana ini. Jalur Trans-Kalimantanpun menjadi lumpuh akibat banjir setinggi 1-2 meter yang merendam wilayah tersebut.
Banjir pada Januari 2024 itu merupakan rangkaian kejadian banjir yang intens berulang sejak Desember 2023. Artinya, wilayah tersebut relatif sangat rentan terlanda bencana banjir apabila terjadi peningkatan curah hujan hanya dalam beberapa saat. Fenomena alam ini membuat Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir selama 10 hari sejak 23 Januari 2024 hingga 1 Februari 2024.
Selain Kalimantan Tengah (Kalteng), wilayah yang rentang terendam banjir di pulau ini adalah Kalimantan Barat (Kalbar). BPBD Kalbar melaporkan terdapat delapan kabupaten yang terendam banjir. Delapan daerah itu ialah Kabupaten Bengkayang, Sambas, Ketapang, Sintang, Melawi, Sekadau, Kapuas Hulu, dan Kabupaten Kubu Raya. Tujuh kabupaten yang melaporkan bencana itu menyebutkan total ada 69 desa dan 21.789 jiwa yang terdampak.
Hampir semua kejadian banjir di Kalimantan tersebut disebabkan tingginya curah hujan. Kondisi ini semakin intensif terjadi manakala ada fenomena cuaca ekstrem seperti yang terjadi saat ini. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, cuaca ekstrem pada Maret 2024 ini terjadi lantaran adanya tiga fenomena pemicu. Terdiri dari aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO) serta gelombang Kelvin dan Rossby Equatorial; aktivitas Cross Equatorial Northerly Surge (CENS); dan pembentukan pusat tekanan rendah di Samudra Hindia Barat Daya.
Bencana ekologis
Secara geografis, Kalimantan relatif sangat rentan terhadap bencana banjir. Wilayah Borneo ini memiliki karakterisik alam yang khas, yaitu banyaknya sungai dan anak-anak sungai yang menyebabkan daerah ini rentan akan luapan air. Bahkan, beberapa sungai terbesar dan terpanjang di Indonesia ada di Kalimantan, seperti Sungai Kapuas, Sungai Mahakam, Sungai Barito, dan Sungai Seruyan. Tidak heran jika beberapa daerah di Kalimantan disebut sebagai ”Kota Seribu Sungai”.
Sejumlah sungai besar di Kalimantan memiliki panjang hingga ribuan kilometer. Bentuk sungainya berkelak-kelok dengan perbedaan elevasi muka air yang tidak signifikan antara hulu dan hilirnya. Akibatnya, ketika hujan lebat, air sungai tidak dapat mengalir lancar karena di sisi hilirnya air sudah menggenang. Hal inilah yang menyebabkan daerah hulu sungai, seperti Barito Utara dan Murung Raya, Kalimantan Tengah, juga terdampak banjir.
Meskipun secara geografis wilayah tersebut memang rentan terendam, bencana banjir itu juga diperparah dengan adanya degradasi lingkungan. Salah satunya karena kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah aliran sungai (DAS). Seperti pada banjir 2021, tim Lapan menyebutkan bahwa banjir besar di Kalimantan Selatan terjadi karena berkurangnya hutan primer dan sekunder selama 10 tahun terakhir. Meskipun ditepis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lembaga ini menyebutkan bahwa terjadi penurunan luas hutan alam, salah satunya di DAS Barito seluas 62,8 persen selama kurun 1990-2019.
Berkurangnya luasan areal hutan itu terjadi di sejumlah kawasan di Kalimantan. Terlihat dari menurunnya tren data deforestasi neto dalam beberapa tahun terakhir. Deforestasi neto adalah luas lahan yang mengalami deforestasi dikurangi lahan yang mengalami reforestasi. Indikator ini menunjukkan lebih jelas luas lahan hutan yang berkurang.
Data dari BPS menunjukkan, deforestasi neto di Kalimantan mencapai 406.500 hektar pada rentang 2017-2022. Deforestasi terluas terjadi di Kalimantan Timur-Kalimantan Utara yang mencapi 180.100 hektar dan Kalimantan Barat hingga seluas 100.700 hektar. Hilangnya hutan Kalimantan dalam periode tersebut lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya terutama periode 1990-an. Di DAS Barito, misalnya, KLHK menyebutkan penurunan terbesar terjadi pada kurun 1990-2000 yang mencapai 55,5 persen.
Meskipun saat ini deforestasi sudah mulai berkurang, dampak dari hilangnya hutan di masa lampau tetap terasa hingga saat ini. Salah satu dampak buruknya adalah luapan banjir yang intensitasnya samakin sering. Kehilangan hutan menyebabkan luasan lahan kritis bertambah banyak dan daerah tangkapan air berkurang. Adanya fenomena cuaca esktrem yang semakin sering terjadi dan kondisi geografis aliran sungai yang panjang membuat risiko banjir di Kalimantan berpotensi semakin meningkat.
Oleh sebab itu, penanganan bencana banjir yang terjadi saat ini tidak cukup hanya memberikan bantuan semata bagi korban banjir. Persoalan lingkungan yang terjadi di Kalimantan harus segera di antisipasi dan dimitigasi guna melindungi keselamatan masyarakat dan memulihkan kondisi lingkungan. Cuaca ekstrem yang sekarang berlangsung memang menjadi pemicu banjir di Kalimantan, tetapi dampaknya tidak akan separah saat ini apabila kelestarian lingkungan tetap terjaga. (LITBANG KOMPAS)