Nasib petani di negeri ini tampaknya tidak pernah enak. Mereka ibarat roti tumpuk yang ditekan dari berbagai sisi.
Oleh
ANTONIUS PURWANTO
·3 menit baca
Sebagai negara agraris, sektor pertanian menjadi penopang ekonomi nasional yang cukup penting. Kontribusinya terhadap kue perekonomian Indonesia cukup besar, menempati posisi kedua setelah industri pengolahan.
Sebagian besar penduduk Indonesia pun masih menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari jumlah penduduk bekerja di Indonesia yang mencapai 139,85 juta orang pada Agustus 2023, sebanyak 28,21 persen bekerja di sektor pertanian. Ini lebih tinggi dibandingkan dengan penyerapan pekerja di sektor perdagangan (18,99 persen) dan industri (13,83 persen).
Namun, kesejahteraan petani hingga kini masih jauh dari yang diharapkan. Rata-rata pendapatan bersih mereka yang memiliki usaha pertanian Rp 1,59 juta per bulan pada Agustus 2023. Begitu pula mereka yang menjadi buruh di sektor pertanian. Upahnya tercatat Rp 2,37 juta per bulan. Angka itu terhitung terendah kedua setelah sektor jasa lain dan berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai Rp 3,18 juta per bulan.
Secara harian, jumlah nominal upah buruh tani sebenarnya meningkat. Namun, upah riil yang diterima, yang sudah disesuaikan dengan tingkat konsumsi petani, justru kian turun. Disparitas antara upah nominal dan upah riil ini bisa mendorong lebih banyak buruh tani ke dalam kemiskinan.
BPS dalam survei pertanian antarsensus tahun 2023 telah mengklasifikasi delapan jenis rumah tangga usaha pertanian (RTUP) berdasarkan luas lahan yang dimiliki petani. Klasifikasi ini dimulai dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,50 hektar hingga lebih dari 10 hektar.
Dari delapan jenis RTUP berdasarkan luas lahan yang dimiliki, petani gurem, yaitu petani yang menguasai lahan, baik milik, sewa, maupun bagi hasil, kurang dari 0,5 hektar, merupakan yang terbanyak jumlahnya.
Dalam enam dekade terakhir, jumlah petani gurem juga meningkat. Berdasarkan data BPS, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat dari 5,3 juta rumah tangga pada tahun 1963 menjadi 14,25 juta tahun 2003 dan terakhir 17,24 juta pada 2023. Persentase RTUP gurem terhadap total RTUP pengguna lahan di Indonesia meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.
Jika dirinci lebih lanjut, untuk Sumatera, persentase petani gurem paling banyak ada di Aceh (57,68 persen). Di Pulau Jawa, persentase petani gurem paling besar di DI Yogyakarta (87,75 persen). Sementara di Kalimantan, persentase petani gurem paling besar ada di Kalimantan Selatan (42,41 persen).
Selanjutnya, di Sulawesi, persentase petani gurem paling besar di Sulawesi Selatan (41,23 persen). Kemudian, di wilayah Maluku dan Papua, petani gurem paling tinggi ada di Papua Pegunungan (98,63 persen). Terakhir, di wilayah Bali-Nusa Tenggara, persentase tertinggi ada di Bali (69,32 persen).
Ada banyak faktor yang menyebabkan bertambahnya petani gurem di Tanah Air. BPS menyebutkan, salah satunya adalah lahan yang semakin menyempit. Penyempitan terjadi karena konversi lahan sawah yang masif untuk penggunaan lain, seperti perumahan, industri, perdagangan, dan sarana publik.
Meningkatnya jumlah petani gurem juga disebabkan pewarisan tanah dari orangtua kepada anak cucu petani. Faktor pewarisan ini memicu penyempitan luas kepemilikan lahan.
Dengan rata-rata kepemilikan lahan yang ”mungil”, petani akan selalu kesulitan mengejar skala keekonomian. Akibatnya, hasil usaha jadi tidak mencukupi kebutuhan sehingga tak sedikit yang lalu menjual atau menyewakan lahannya dan beralih pekerjaan ke luar sektor pertanian.
Di luar faktor tersebut, kuatnya serapan sektor industri dan jasa dalam menampung pertambahan tenaga kerja juga menyebabkan berkurangnya jumlah petani. Pendapatan yang lebih besar dan terbukanya kesempatan kerja di luar pertanian mengurangi serapan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian.
Faktor pendorong berikutnya terkait dukungan khusus dari pemerintah kepada petani yang belum optimal. Dukungan itu mulai dari pendidikan dan pelatihan, pendanaan, teknologi, infrastruktur, pendampingan, penjaminan pasar, hingga pemberian subsidi.
Keberpihakan
Terus terperangkapnya petani gurem dalam kemiskinan menjadi potret terus dianaktirikannya sektor yang menjadi tumpuan 40 persen angkatan kerja nasional ini.
Keberpihakan negara menjadi salah satu kunci meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani.
Dengan pertumbuhan jumlah petani gurem, program pertanian yang seharusnya dikembangkan, menurut BPS, tidak lagi berkaitan dengan penambahan lahan, tetapi lebih pada peningkatan produktivitas petani.
Mereka juga perlu diberi subsidi, mulai dari bantuan pupuk, benih, hingga pembangunan infrastruktur untuk kelancaran pengolahan lahan serta berbagai subsidi lain yang mengangkat kehidupan mereka ke tingkat yang lebih tinggi.
Kebijakan yang mendukung peningkatan kelayakan hidup petani juga mutlak diberikan agar pertanian tetap menjanjikan pekerjaan menarik di masa depan, khususnya bagi generasi muda. Perlindungan terhadap petani dari produk impor, permainan tengkulak, serta ketertinggalan teknologi juga perlu dilakukan.
Tentu saja hal ini bukan semata tanggung jawab pemerintah. Namun, dibutuhkan kolaborasi dari semua elemen masyarakat. (LITBANG KOMPAS)