Prabowo, Pemilu 2024, dan Sorotan Dunia
Pemilu di Indonesia menjadi sorotan dunia karena kompleksitas dan pentingnya posisi Indonesia dalam lanskap global.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, pelaksanaan pemilu di Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia. Di satu sisi, kompleksitas penyelenggaraan pemilu memantik decak kagum dari khalayak internasional. Namun, di sisi lain, rekam jejak kontestan yang unggul memicu kekhawatiran dari sebagian lainnya.
Sudah sepantasnya hajatan pemilu di Indonesia yang digelar pada Rabu, 14 Februari 2024, lalu mendapat perhatian dunia. Dengan jumlah populasi pemilih lebih kurang 204 juta orang, Indonesia kini menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Artinya, kesuksesan penyelenggaraan pemilu pekan lalu tersebut juga dilihat sebagai keberhasilan demokrasi secara umum untuk tetap tumbuh dan terawat di Indonesia.
Di samping faktor demografis, pemilu Indonesia juga dinilai penting karena posisi strategis Indonesia di lanskap global. Secara ekonomi, Indonesia termasuk dalam 20 negara dengan ekonomi terkuat di dunia, sekaligus memegang porsi besar dalam rantai pasok global dalam beberapa komoditas, seperti kelapa sawit, batubara dan nikel. Tak ayal, siapa pun yang nanti dilantik menjadi presiden akan turut menentukan arah perekonomian global.
Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi warga dunia adalah kompleksitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Seperti diketahui, pemilu tahun ini diselenggarakan di lebih dari 800.000 TPS yang tersebar di ribuan pulau di Indonesia. Kerumitan dan tantangan logistik ini pun ikut disorot oleh beberapa media besar dunia, seperti Time, BBC, dan The New York Times.
Baca juga: Pemilu Indonesia dalam Angka, Pesta Demokrasi Satu Hari Terbesar di Dunia
Stabilitas dan keberlanjutan
Walau belum ada hasil resmi dari KPU, pandangan internasional pada calon pemenang pemilu presiden Indonesia telah mengerucut. Kesimpulan ini dibentuk oleh hasil hitung cepat yang diselenggarakan oleh sejumlah lembaga survei, termasuk Litbang Kompas.
Dari beberapa lembaga yang melaksanakan kegiatan hitung cepat, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka konsisten unggul dengan perolehan di kisaran 57-59 persen. Selisih suara pasangan calon ini pun terbilang cukup jauh dengan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di kisaran 25 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sekitar 16 persen.
Di satu sisi, kemenangan Prabowo-Gibran ini mendapat respons positif dari pasar. Mengutip dari Reuters dan Nasdaq, bursa efek di AS, kemungkinan pemilu presiden yang tuntas dalam satu putaran ini menghilangkan awan ketidakpastian yang menggelayuti pasar selama beberapa waktu terakhir.
Selain soal ketidakpastian, reaksi positif dari investor internasional juga didorong oleh arah kampanye dari Prabowo-Gibran. Berbeda dengan para pesaingnya, pasangan calon ini lebih banyak mengusung narasi keberlanjutan.
Hal ini dimaknai oleh para investor sebagai sinyal positif bahwa agenda-agenda besar dari pemerintahan saat ini akan tetap berlanjut setidaknya hingga lima tahun ke depan.
Hal ini pun selaras dengan reaksi pasar di bursa efek Indonesia. Selama dua hari berturut-turut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) konsisten ditutup dengan penguatan. Pada 15 Februari, indeks ditutup dengan kenaikan 1,3 persen. Sementara pada 16 Februari, indeks kembali hijau dengan kenaikan 0,44 persen.
Baca juga: Ketika Indonesia Mengajarkan Pemilu pada Dunia
Rekam jejak
Meskipun begitu, tak semua komunitas internasional menyambut positif hasil pemilu presiden Indonesia. Beberapa media internasional menyoroti masa lalu Prabowo yang lekat dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, posisi Prabowo-Gibran yang kemungkinan besar terpilih ini dimaknai oleh sejumlah kalangan sebagai kemunduran demokrasi Indonesia.
Media Inggris, The Guardian, misalnya, mengibaratkan kemenangan Prabowo yang di depan mata sebagai ”musim dingin” yang akan datang ke lini masa politik Indonesia.
Dalam artikel yang berbeda, editorial media ini juga menyatakan bahwa kemenangan tersebut menjadi berita suram bagi demokrasi. Nuansa pesimisme ini pun diamini oleh Time yang menyatakan bahwa terpilihnya Prabowo akan membawa ketidakpastian bagi demokrasi Indonesia yang masih seumur jagung.
Dalam kedua artikel di atas, The Guardian menyoroti dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Beberapa kasus yang disebutkan dalam artikel mencakup penculikan terhadap 22 aktivis di 1998 dan pembantaian di Timor Leste tahun 1983.
Selain itu, kedekatan Prabowo dengan pemerintahan kediktatoran Soeharto pun menambah buruk persepsi dunia terhadapnya. Tak ayal, terpilihnya calon yang diduga kuat terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat ini dikhawatirkan akan membuat isu HAM tak mendapat perhatian di pemerintahan selanjutnya.
Dari rekam jejak tersebut, beberapa media lain juga menyoroti larangan masuk yang dikeluarkan oleh AS terhadap Prabowo. Beberapa media, di antaranya NPR, Time, Associated Press, The New York Times, dan The Guardian, secara gamblang menyatakan bahwa Pemerintah AS pernah melarang Prabowo untuk masuk ke negaranya karena dugaan berbagai kasus pelanggaran HAM.
Baca juga: Kampanye Pilpres Lebih Menarik Perhatian Masyarakat
Efek Jokowi
Menariknya, kemenangan Prabowo yang telah di depan mata ini dilihat tak lepas dari pengaruh Presiden Joko Widodo oleh komunitas internasional.
Dalam laporannya, The Guardian menyoroti bagaimana hakim MK yang merupakan ipar dari presiden memberikan keputusan yang menguntungkan bagi anaknya, Gibran, untuk bisa ikut berkontestasi dalam pemilu. Artikel tersebut juga menyoroti bahwa meskipun menyatakan netral, gesturnya sulit untuk tidak diartikan mendukung Prabowo pada pemilu kali ini.
Posisi Gibran sebagai calon wakil presiden yang kemungkinan besar terpilih pun dinilai sebagai perpanjangan kekuasan secara tidak langsung oleh Presiden Jokowi. Dalam laporannya, The New York Times menyoroti bahwa masuknya Gibran ke dalam pemerintahan ke depan merupakan upaya Presiden Jokowi untuk menjaga pengaruhnya di politik Indonesia pascamasa jabatannya usai.
Upaya-upaya untuk memperpanjang pengaruh ini dinilai sebagai kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Terlebih lagi, artikel tersebut juga menyoroti berbagai persoalan hukum dan konstitusi yang menjangkiti pemerintahan Jokowi pada periode kedua, seperti pelemahan KPK, pengesahan omnibus law yang ugal-ugalan, hingga kasus MKMK.
Menariknya, artikel ini turut menyoroti peran Jokowi untuk ”merehabilitasi” citra Prabowo sejak menariknya ke kabinet di 2019. Melalui polesannya, Prabowo bisa terlihat sebagai sosok yang akan melanjutkan pembangunan.
Kesan ini makin paripurna dengan bersandingnya Gibran menjadi calon wakil presiden dalam pemilu. Faktor inilah yang dilihat The New York Times dan Time sebagai faktor utama yang mendorong kemenangan Prabowo di pemilu lalu.
Pada akhirnya, pemilu Indonesia akan mendapat sorotan karena brand Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga serta pentingnya posisi Indonesia dalam lanskap gepolitik dan ekonomi global. Meskipun muncul sentimen positif, utamanya dari pelaku pasar, sentimen negatif cukup kencang mengalir kepada sosok Prabowo yang kemungkinan besar akan keluar sebagai pemenang.
Tak ayal, dibutuhkan upaya ekstra bagi sang pemenang untuk bisa meyakinkan dunia bahwa Indonesia tetap menjadi negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi. Karena sebagai bagian dari komunitas internasional, Indonesia tidak akan bisa mencapai potensi maksimalnya apabila hanya berdiri sendiri dan dikucilkan dari pergaulan global. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Meneropong Arah Angin Politik Global 2024