Perdagangan di bursa karbon Indonesia menyimpan potensi. Perlu dukungan industri mewujudkan pengurangan emisi karbon.
Oleh
GIANIE
·4 menit baca
Perdagangan di bursa karbon Indonesia relatif baru. Bursa karbon Indonesia secara resmi diluncurkan pada 26 September 2023 oleh Presiden Joko Widodo. Pengoperasiannya diselenggarakan Bursa Efek Indonesia atau BEI di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK.
Bursa karbon Indonesia hadir sebagai bentuk kontribusi nyata sesuai dengan ratifikasi Paris Agreement, terutama dari pelaku usaha di Indonesia, untuk mengatasi krisis perubahan iklim karena kenaikan suhu bumi. Hasil perdagangan karbon akan diinvestasikan pada upaya menjaga lingkungan yang bertujuan mengurangi emisi karbon.
Indonesia berkomitmen menuju masa depan yang rendah emisi dengan menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca secara sukarela sebesar 31,89 persen (tanpa syarat dan tanpa bantuan internasional) atau sebesar 43,2 persen (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030. Salah satu upaya penurunan emisi tersebut melalui perdagangan karbon.
Perdagangan karbon di BEI ini memiliki dua mekanisme, yaitu perdagangan produk melalui Allowance Market dan Offset Market. Allowance Market merupakan mekanisme pembatasan dan perdagangan yang umumnya diterapkan pada pasar karbon wajib.
Pelaku usaha tertentu ditetapkan oleh pemerintah mendapat ”cap” berupa alokasi kuota emisi untuk jangka waktu tertentu. Mereka yang melampaui batas tersebut dapat membeli unit karbon dari pelaku usaha lain yang kuotanya berlebih atau belum terpakai.
Produk dari mekanisme ini disebut dengan Persetujuan Teknis atas Batas Atas Emisi – Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Sederhananya, unit PTBAE-PU merupakan jatah yang diberikan negara kepada pelaku usaha di sektor tertentu untuk menghasilkan emisi dalam jumlah tertentu yang harus dipatuhi.
Mekanisme Offset Market adalah skema memperdagangkan unit karbon yang dihasilkan dari pengurangan atau penghilangan gas rumah kaca oleh pelaku usaha tertentu atau dari tindakan mitigasi perubahan iklim lainnya.
Pelaku usaha dapat membeli unit karbon untuk mencapai target pengurangan emisi dan memenuhi komitmen mereka terhadap karbon netral atau net-zero. Produk yang diperdagangkan lewat mekanisme ini adalah Sertifikat Pengurangan Emisi—Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang dikenal juga dengan sebutan kredit karbon (carbon credit).
Kredit karbon merupakan surat bukti pengurangan emisi oleh usaha atau kegiatan yang telah melalui kriteria pengukuran, pelaporan, dan verifikasi, serta tercatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim dalam bentuk nomor atau kode registri. Satu kredit karbon setara dengan pengurangan emisi satu ton karbon dioksida (CO2).
Indonesia memiliki potensi karbon yang besar dan digadang-gadang akan menjadi salah satu bursa karbon besar di dunia. Sektor ketenagalistrikan menjadi sasaran utama dalam perdagangan karbon mengingat terdapat banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara yang berpotensi ikut dalam perdagangan karbon.
Sektor lainnya yang juga potensial adalah industri pengolahan (secara umum), kehutanan, pertanian, minyak dan gas bumi, pertambangan, serta kelautan. Juga sektor transportasi, perbankan, dan industri keuangan.
Hingga akhir 2023, selama tiga bulan beroperasi, jumlah penjual unit karbon yang terdaftar baru ada dua pihak melalui produk SPE-GRK.
Yang pertama adalah Proyek PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk di Sulawesi Utara. Kedua adalah Pembangunan Pembangkit Listrik Baru Berbahan Bakar Gas Bumi PLTGU Blok 3 PJB Muara Karang.
Jumlah pembeli di bursa karbon telah mencapai 27 perusahaan. Sementara jumlah pengguna jasa bursa karbon mencapai 46 unit. Total volume perdagangan karbon mencapai 494.254 ton CO2 dengan nilai perdagangan sebesar Rp 30,91 miliar.
Perdagangan di bursa karbon diyakini akan terus meningkat mengingat semakin banyak industri yang memiliki target emisi nol. Diperlukan langkah-langkah untuk pengembangan bursa karbon, mulai dari menata regulasi di hulu, penetapan harga, hingga soal penerapan pajak karbon.
Pertama, regulasi diperlukan untuk ”memaksa” korporasi atau proyek kegiatan di berbagai sektor mau melakukan tebus karbon. Saat ini, ambang batas emisi yang diatur baru untuk sektor energi saja. Padahal, sektor lain banyak yang menyumbang emisi besar.
Kedua, soal harga. Diperlukan pula regulasi untuk menetapkan standar harga yang bisa menjadi referensi pasar. Dengan demikian, persoalan harga yang cenderung bervariasi bisa diatasi. Di samping juga tentunya harga kredit karbon di dalam negeri dibuat lebih menarik dibandingkan harga di pasar global.
Ketiga, soal pajak karbon. Penerapan pajak karbon diyakini akan mendukung ekosistem perdagangan karbon dan bisa membuat bursa karbon banyak diminati. Pasalnya, pungutan dari pajak karbon dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek pengurangan emisi atau menjadi bentuk subsidi untuk pengembangan energi baru dan terbarukan. Sebaliknya, pajak karbon menjadi disinsentif bagi pihak-pihak yang menghasilkan emisi karbon tinggi.
Meski demikian, perdagangan karbon di bursa efek tidak sepenuhnya berlangsung mulus. Sikap pesimistis terhadap upaya pengurangan emisi atau menekan pemanasan global lewat perdagangan bursa datang dari pemerhati lingkungan.
Kalangan ini berpendapat perdagangan karbon bukanlah jalan yang efektif, bahkan dianggap berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat. Perdagangan karbon hanya akan membuat perusahaan semakin mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mengurangi emisi mereka.
Jalan yang efektif untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan tetap menjaga kekayaan alam yang dimiliki. Mulai dari kekayaan hutan hujan tropis yang merupakan salah satu terbesar di dunia, hingga luasan hutan mangrove dan lahan gambut yang dapat menyerap emisi karbon dalam jumlah yang besar.
Perdagangan karbon dianggap bermanfaat bagi negara-negara yang tengah bertransisi menuju energi hijau. Akan tetapi, upaya mengurangi emisi karbon akan lebih baik melalui langkah pencegahan dibandingkan tindakan penanganan ketika emisi karbon sudah telanjur besar karena banyak penyebab. (LITBANG KOMPAS)