Laut Merah Memanas, Pertanda Buruk buat Ekonomi Global?
Konflik di Laut Merah dan krisis di Terusan Panama berdampak pada perdagangan global serta menimbulkan inflasi.
Perkembangan konflik Israel-Palestina menunjukkan tren perburukan. Selaras dengan prediksi dari beberapa pihak, konflik di antara kedua pihak tersebut mulai meluber, melibatkan aktor geopolitik lain, termasuk Blok Barat dan Aksis Iran. Memburuknya situasi Timur Tengah di awal tahun ini bisa menjadi pertanda buruk bagi situasi perekonomian global ke depan.
Memasuki minggu kedua Januari, dunia dikejutkan dengan langkah dramatis AS dan sekutunya di kawasan Timur Tengah. Sebagai balasan dari aktivitas milisi Houthi dari Yaman di Laut Merah, militer AS dan Inggris yang didukung beberapa negara di Timur Tengah menggempur sejumlah titik di Yaman.
Serangan ini dilakukan secara total, menggunakan serangan udara dari jet tempur hingga serangan laut dengan kapal perang dan kapal selam. Tak hanya itu, serangan juga dilakukan melalui jarak jauh melalui hujan rudal balistik Tomahawk dengan daya jelajah ribuan kilometer.
AS menyatakan bahwa serangan ini dilakukan secara strategis dengan menyasar beberapa titik tertentu, seperti sistem pertahanan udara, gudang persenjataan, dan tempat penampungan logistik. Namun, hal berbeda dirasakan oleh pihak yang diserang.
Pernyataan dari pejabat Yaman menjelaskan bahwa serangan dari koalisi AS tersebut justru menarget kota-kota besar, seperti ibu kota Yaman, Sana’a; kota Saada; dan kota Dhamar. Selain Sana’a, kedua kota yang ditarget ini sangat penting bagi Yaman dan warganya. Pasalnya, kota ini memiliki sejarah yang panjang, bahkan dipercaya sebagai salah satu titik awal berkembangnya Islam garis Syiah.
Serangan yang dilancarkan oleh AS dan sekutunya ke Yaman ini bukan tanpa alasan. Sejak Oktober lalu, kelompok militer Houthi yang bermarkas di Yaman mulai terlibat dalam konflik antara Israel dan Palestina.
Serangan yang dilakukan oleh kelompok milisi ini terfokus pada wilayah laut merah. Aksi yang dilakukan oleh milisi ini merupakan bentuk respons dan dukungan dari okupasi yang dilakukan oleh Israel ke Gaza selama sekitar tiga bulan terakhir.
Kelompok yang termasuk dalam aksi Iran, bersama milisi Hezbollah di Lebanon, ini menyerang kapal-kapal asing pembawa barang yang melintas di Selat Bab al-Mandab. Selat dengan ukuran sekitar 30 kilometer ini memisahkan Eritrea dan Djibouti di sisi Afrika dan Yaman di sisi Semenanjung Arab. Bagi para kapal yang telanjur melintasi Terusan Suez, tidak ada pilihan lain selain melewati jalur yang dikangkangi oleh milisi Houthi ini.
Baca juga: Perang Gaza Membuat Pelayaran Global Mundur 600 Tahun
Perdagangan internasional terganggu
Sebagai dampak dari eskalasi ketegangan di kawasan Laut Merah, berbagai perusahaan pengangkutan barang pun tak ingin ambil risiko.
Beberapa perusahaan, seperti Mediterranean Shipping Company dan Maersk, telah mengalihkan jalur armada mereka. Alih-alih melalui rute Terusan Suez di Mesir, perusahaan-perusahaan ini mengarahkan kapal mereka jauh ke selatan melalui Tanjung Harapan Baik di Afrika Selatan.
Perubahan jalur ini berdampak terhadap jarak tempuh yang makin jauh. Sebagai contoh, kapal dari Belanda atau wilayah Eropa Barat tadinya hanya perlu menempuh sekitar 18.500 kilometer untuk bisa bersandar di Taiwan atau China jika melewati jalur Terusan Suez. Namun, dengan perubahan jalur melalui Tanjung Harapan Baik, kapal ini harus menempuh jarak lebih dari 25.000 kilometer.
Tak ayal, krisis di kawasan Laut Merah ini pun membawa dampak yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bertambahnya jarak tempuh hingga hampir satu setengah kali lipat ini tentunya akan berujung pada makin lamanya proses transportasi logistik secara global. Selain melambat, penambahan jarak dan waktu ini juga pastinya akan berimbas pada naiknya ongkos pengiriman.
Padahal, jumlah kapal yang melintasi jalur Terusan Suez tidak sedikit. Setidaknya, 17.000 kapal melintas di sepanjang Terusan Suez sampai Selat Bab al-Mandab.
Jika dikalkulasi, tak kurang dari 12 persen perdagangan global melintas di jalur tersebut. Artinya, jalur dagang yang membawa lebih dari 1 triliun dollar AS per tahun sudah dapat dipastikan akan terganggu dalam beberapa waktu ke depan.
Analisis dari S&P Global Market Intelligence menyatakan, 15 persen dari barang impor dan ekspor dari Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara dikirim dari Asia melalui jalur laut. Barang yang dikirim melalui jalur ini pun sangat beragam, mulai dari barang elektronik, pakaian, pangan, hingga energi, termasuk 21,5 persen olahan minyak dan 13 persen minyak mentah.
Baca juga: Waspadai Lonjakan Harga akibat Raksasa Pelayaran Hindari Laut Merah
Prahara Panama
Celakanya, memanasnya situasi di Selat Bab al-Mandab berbarengan dengan gangguan yang terjadi di Kanal Panama. Selama periode Natal lalu, Terusan Panama sebagai jalur perdagangan utama kawasan Amerika dan Eropa serta sebagian dari perdagangan Amerika dan Asia terganggu akibat sumber air yang tidak normal.
Secara singkat, Terusan Panama menggunakan sistem buka tutup untuk mengalirkan air dari Danau Gatun ke Samudra Pasifik dan Atlantik. Untuk bisa menyeberangkan satu kapal, dibutuhkan sekitar 200 juta liter air yang dialirkan. Maka, terjaganya jumlah debit air di Danau Gatun sangat krusial agar terusan ini bisa berfungsi dengan baik.
Situasi di Terusan Panama terganggu akibat kekeringan panjang dampak dari El Nino. Bencana hidrometeorologi ini membuat ketinggian air di Danau Gatun turun ke titik terendahnya. Mau tak mau, Otoritas Terusan Panama (PAC) pun harus membatasi jumlah kapal yang melewati jalur ini.
Semenjak akhir Juli lalu, PAC telah mengurangi kuota kapal yang melintas di Terusan Panama. Dari rata-rata 36 kapal per hari, kuota dikurangi menjadi 32 kapal per hari. Pengurangan ini secara bertahap terus dilakukan hingga Desember, di mana hanya ada sekitar 22 kapal yang diizinkan melintas. Namun, pada pertengahan Desember, pihak otoritas terusan mengumumkan bahwa kuota akan ditambah menjadi 24 kapal per hari mulai Januari ini.
Beberapa langkah, seperti pembatasan berat dan jumlah kapal, pemanfaatan kembali air yang telah digunakan serta penyeberangan secara berbarengan pun telah diupayakan oleh PAC.
Namun, situasi diperkirakan masih belum bisa terkendali selama persoalan cuaca sebagai akar permasalahan masih belum terselesaikan. Diprediksi, kondisi di Danau Gatun dan Terusan Panama belum normal hingga musim kemarau usai sekitar Mei 2024.
Strategi dari para pengusaha logistik untuk menghadapi turbulensi di Terusan Panama cukup serupa dengan krisis di Laut Merah. Sebagian dari perusahaan-perusahaan ini memilih untuk mencari rute lain yang lebih pasti meski perubahan rute ini akan menambah jarak dan waktu tempuh dari pelayaran.
Pilihan untuk melintasi Terusan Panama atau mencari rute baru bak buah simalakama bagi para perusahaan ini. Tambahan jarak dan waktu yang menjadi konsekuensi dari kedua pilihan akan membuat biaya pelayaran membengkak.
Untuk menutupi kenaikan biaya, beberapa perusahaan kedapatan memberikan biaya tambahan. Hapag-Lloyd, misalnya, mengenakan biaya sekitar 130 dollar AS per TEU (kontainer kapasitas 20 kaki). Biaya yang lebih besar dikenakan oleh Mediterranean Shipping Company, bahkan lebih besar di angka 297 dollar AS per TEU.
Pada akhirnya, dua krisis yang terjadi di dua belahan dunia ini sedikit banyak akan memengaruhi alur perdagangan global. Terhambatnya arus perdagangan ini kemungkinan besar juga akan berdampak pada tingkat inflasi, terutama di kawasan Eropa, Amerika, dan Asia. Tak heran, nuansa pesimistis pun mulai menyelimuti situasi perekonomian di kuartal pertama tahun ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Maersk Line Hindari Laut Merah, Biaya Kargo Berpotensi Bertambah