Ketidakpuasan Milenial terhadap Kinerja Pemerintah di Bidang Ekonomi
Generasi milenial tidak puas dengan kinerja pemerintah bidang ekonomi, terutama dalam mengatasi masalah pengangguran.
Kalangan milenial menilai kinerja pemerintah di bidang ekonomi belum memuaskan. Kondisi ketidakpastian perekonomian yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan perasaan tidak aman kaum ini menatap masa depan.
Generasi milenial adalah orang-orang yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996, sekarang berada pada rentang usia 27 tahun hingga 42 tahun. Mereka ini mencapai masa awal kedewasaan saat milenium baru.
Generasi ini lahir di kala kondisi perekonomian masih stabil. Namun, tak lama kemudian, hidup mereka ditempa oleh beberapa kali krisis ekonomi.
Yang pertama adalah krisis multidimensi pada tahun 1998 yang berlangsung cukup lama. Kedua, krisis moneter global tahun 2008 yang dipicu oleh kegagalan kredit perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat yang menjalar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Ketiga, krisis ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19 tahun 2020.
Kehidupan milenial beranjak dari satu krisis ke krisis yang lain, penuh dengan perjuangan, sehingga mereka ini peka dengan perubahan-perubahan yang berdampak pada keseharian.
Perubahan itu ditambah pula dengan perkembangan teknologi yang masif, termasuk dalam penggunaan telepon pintar dan media sosial, sehingga generasi ini disebut juga sebagai generasi digital pertama.
Perubahan dan kepekaan yang dirasakan generasi milenial ini terbaca pula melalui survei. Hasil survei berkala Kompas periode Desember 2023 secara umum menunjukkan, di tahun keempat pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, terjadi sedikit penurunan kepuasan terhadap kinerja pemerintah, yaitu di tingkat 73,5 persen.
Di periode sebelumnya (Agustus), kepuasan berada di level tertinggi sepanjang periode kedua pemerintahan, yakni 74,3 persen. Salah satu bidang yang menyumbang penurunan kepuasan ini bersumber dari kinerja di bidang ekonomi, yang turun 0,7 persen menjadi 60,8 persen.
Generasi milenial termasuk yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi ini. Dari empat bidang yang dinilai, kepuasan terhadap bidang ekonomi adalah yang terendah yang ditunjukkan generasi milenial dibandingkan bidang lain.
Kepuasan generasi milenial terhadap kinerja bidang ekonomi hanya di tingkat 60,1 persen. Lebih kurang sama dengan bidang ekonomi, kepuasan terhadap kinerja di bidang hukum di tingkat 60,8 persen. Artinya, bidang ekonomi dan hukum ibarat dua sisi mata uang yang mendapat respons ketidakpuasan dari kalangan milenial.
Sementara dua bidang lain, yakni kinerja politik-keamanan dan kesejahteraan sosial, mendapat penilaian kepuasan tinggi yang diungkap generasi milenial, masing-masing di atas 80 persen.
Lebih dalam, ketidakpuasan terhadap kinerja ekonomi terutama tampak dalam hal penyediaan lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran. Secara umum, kepuasan terhadap upaya mengatasi pengangguran hanya di tingkat 44,5 persen. Tingkat ketidakpuasan sedikit lebih tinggi, yaitu 47,4 persen.
Baca juga : Perekonomian Turun, Bansos Diapresiasi
Rasa aman
Sebagai generasi yang tumbuh dan ditempa oleh beberapa kali krisis, generasi milenial menginginkan dan mencari pekerjaan yang menjamin masa depan mereka. Mereka sangat menekankan pekerjaan yang dapat memberi rasa aman dalam jangka panjang (job security).
Dua hal yang menjadi prioritas utama generasi milenial dalam mencari pekerjaan menurut Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF, 2016) adalah uang dan rasa aman (money and security). Rasa aman dalam bekerja ini mengacu pada kondisi keterampilan atau kompetensi yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Hal inilah yang kurang mereka rasakan dengan kinerja pemerintah dalam mengatasi kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian pascapandemi. Pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat berdampak pada berkurangnya lapangan kerja.
Selain itu, ancaman terhadap rasa aman mereka juga disebabkan oleh pasar tenaga kerja yang cenderung berubah karena faktor tren ekonomi, kesehatan, dan geopolitik secara global.
Saat ini ada dua tantangan yang dihadapi generasi milenial terkait pasar tenaga kerja. Pertama, masih banyaknya angka pengangguran, termasuk pada kalangan yang berpendidikan tinggi. Dari jumlah 7,86 juta orang Indonesia yang menganggur (BPS, Agustus 2023), hampir 1 juta orang adalah lulusan perguruan tinggi, baik diploma maupun sarjana.
Kedua, perubahan keterampilan yang dibutuhkan seiring dengan disrupsi teknologi. Ada pekerjaan yang hilang, tetapi sebaliknya muncul pekerjaan baru dengan kualifikasi atau kompetensi yang baru.
Kondisi ini tentu memberi kegamangan dan kecemasan akan keberlanjutan pekerjaan di masa mendatang. Sementara jaring pengaman sosial tidak cukup tersedia untuk menjamin masa tua. Kedua tantangan inilah yang memengaruhi penilaian generasi milenial terhadap kinerja pemerintah menangani kondisi ekonomi.
Baca juga : Kinerja Politik Diapresiasi, Penegakan Hukum Masih Mengganjal
Generasi Z
Kinerja bidang hukum juga mendapat apresiasi yang rendah dari generasi milenial, terutama dalam hal pemberantasan suap dan korupsi.
Suap dan korupsi sering kali bersinggungan dengan kegiatan ekonomi, misalnya suap untuk memuluskan perizinan, penggelembungan (mark up)dana proyek, dan jual-beli jabatan.
Berbeda dengan generasi milenial, generasi Z tidak menempatkan kinerja ekonomi pemerintah sebagai persoalan utama mereka.
Bagi generasi Z, generasi yang lahir setelah tahun 1996, kepuasan terhadap kinerja ekonomi merupakan yang terendah kedua (62,1 persen). Kepuasan yang terendah dialamatkan pada kinerja pemerintah bidang hukum (50,4 persen).
Padahal, usia generasi Z adalah usia awal mencari kerja. Minimnya penyediaan lapangan kerja tentu berdampak pada masa depan mereka. Mengenyam pendidikan tinggi ternyata tidak serta-merta menjamin mendapat pekerjaan dengan gaji yang layak. Pengangguran masih mengintai di tengah situasi perekonomian yang dibayangi krisis.
Peran pemerintah sangat diharapkan untuk memperbaiki kinerja ekonomi, begitu pula dengan kinerja di bidang hukum. Jika tidak diperbaiki, berbagai persoalan akan terakumulasi, yang pada akhirnya bisa menjadi beban baru bagi pemerintah. Tantangan itu harus diurai dari sekarang untuk bisa meraih Indonesia Emas tahun 2045. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Apresiasi pada Pemerintah Masih Tinggi