Orientasi Pemilih Gen Z Sudah Kokoh, tetapi Mudah Rapuh
Pemilih Gen Z semakin mantap dalam menetapkan pilihan politiknya, tetapi pilihan mereka cenderung rapuh karena potensi perubahannya masih tetap tinggi.
Kesimpulan ini terekam dari hasil survei Kompas periode Desember 2023. Lebih dari setengah generasi Z (17-25 tahun) menjatuhkan pilihan kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Di urutan kedua pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD berhasil merebut 13,6 persen suara generasi Z. Sementara pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar tercatat mendulang dukungan 9,6 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jika responden dari kelompok usia ini ditanyakan sosok capres dan cawapres secara terpisah, hasilnya tidak berbeda secara urutan.
Sosok capres Prabowo masih lebih memikat para pemilih generasi Z jika dibandingkan dengan Anies dan Ganjar. Lebih dari setengah generasi Z menjatuhkan pilihannya kepada Prabowo. Di urutan kedua, 16 persen, memilih Ganjar dan 10,9 persen memilih Anies.
Untuk sosok cawapres, polanya sama. Hampir dari setengah responden generasi Z di survei ini memilih Gibran Rakabuming Raka. Sementara 21,8 persen responden memilih Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar dipilih oleh 8,2 persen dari generasi Z.
Terkait alasan memilih, karakter capres yang tegas dan berwibawa (29,5 persen) menjadi faktor pertimbangan bagi generasi Z. Faktor kedua yang menjadi pertimbangan adalah pribadi capres yang dinilai sederhana dan merakyat disebutkan oleh 11,2 persen responden. Aspek lain, seperti pengalaman memimpin dan tingkat pendidikan, tampak tidak menjadi faktor yang diperhitungkan.
Untuk sosok cawapres, justru sebaliknya. Sosok yang sederhana dan merakyat jadi pertimbangan terbesar untuk generasi Z, yakni 13,3 persen. Figur dengan karakter yang tegas dan berwibawa menjadi pertimbangan selanjutnya yang dipilih oleh 9,3 persen dari responden generasi Z ini.
Temuan itu menyiratkan, di satu sisi, strategi kampanye tim pemenangan Prabowo-Gibran dapat dikatakan berhasil memanen suara dari ceruk pemilih generasi Z.
Di sisi lain, gaya kampanye mereka dengan berbagai gimik itu juga menuai kritikan dari kubu lawan. Terlepas dari kontroversi tersebut, tujuan tim sukses Prabowo-Gibran untuk mendapatkan potensi suara dari generasi Z di atas kertas telah tercapai.
Baca juga: Preferensi Politik Gen Z Makin Terbaca
Partai politik
Untuk pilihan partai politik, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tercatat cukup menguasai ceruk pemilih generasi Z. Perolehan elektabilitas 28,2 persen cukup untuk mengangkat Partai Gerindra di posisi teratas.
Jika dilihat dalam populasi sampel survei Kompas, Partai Gerindra juga menjadi yang tertinggi keterpilihannya di kalangan pemilih generasi milenial.
Bisa jadi, Partai Gerindra berhasil melakukan penetrasi kampanye di media sosial dengan gaya komunikasi yang dapat diterima pemilih muda.
Generasi Z dikenal berkomunikasi menggunakan media sosial dan menghabiskan waktu bersama gawai jauh lebih banyak durasinya dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi ini tumbuh dan berkembang di era digital sehingga cenderung terhubung secara daring setiap saat.
Generasi ini tumbuh dan berkembang di era digital sehingga cenderung terhubung secara daring setiap saat.
Selanjutnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berada di posisi kedua dengan perolehan elektabilitas 15,3 persen. Jarak antara PDI-P dan Partai Gerindra cukup jauh, yakni 12,9 poin atau hampir dua kali lipat dari perolehan elektoral saat ini. Pemilih PDI-P terlihat masih cenderung diisi oleh kelompok generasi X dan baby boomers.
Hanya kedua partai politik inilah yang berhasil mengumpulkan angka keterpilihan di atas 10 persen di kalangan generasi Z dibandingkan dengan partai politik lain yang bersaing di Pemilu 2024. Partai-partai lain masih lebih banyak bertumpu pada pemilih yang usianya di atas generasi Z, bahkan ada tujuh partai politik yang belum mampu mengumpulkan 1 persen suara generasi ini.
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Membaca Arah Pilihan Gen Z di Pemilu 2024
Masih bisa berubah
Menariknya, generasi Z terbukti tidak ingin terlalu terbuka dengan identitas dirinya. Sebanyak 65,7 persen mengaku tidak akan menyebarkan atau memberi tahu orang lain tentang pasangan capres-cawapres pilihannya.
Artinya, tim pemenangan belum dapat mengandalkan para pemilih muda ini untuk turut mempromosikan atau menjadi agensi yang dapat memengaruhi pilihan politik orang di sekitarnya.
Basis dukungan dari generasi Z pun tergolong cukup lemah. Untuk pilihan capres dan cawapres, sebanyak 47,7 persen mengaku masih dapat berubah pilihannya. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan mereka yang merasa pilihannya sudah tetap, yakni 39,8 persen.
Pola serupa ditemukan dalam pilihan partai politik. Sebanyak 57,7 persen mengaku pilihan partai politiknya masih dapat berubah dalam kurun dua bulan ke depan. Sementara yang merasa sudah mantap dengan pilihan partai politiknya berada di angka 40,2 persen.
Baik dalam pilihan pasangan capres-cawapres maupun partai politik, kelompok pemilih mengambang (undecided voters) dari kelompok muda ini masih terbilang tinggi. Mereka yang mengaku belum menentukan pilihan partai politik sebesar 12,4 persen. Adapun untuk pilihan capres dan cawapres, angkanya lebih tinggi, yakni 22,1 persen.
Temuan itu tidak dapat diartikan begitu saja bahwa generasi Z tidak memiliki loyalitas atau mudah untuk mengubah keputusannya. Di satu sisi, bisa jadi partai politik dan tim sukses capres-cawapres masing-masing belum dapat menjawab kebutuhan generasi Z. Di sisi lain, temuan itu menyiratkan masih terbukanya persaingan memperebutkan suara dari pemilih gen Z di sisa waktu kampanye ini.
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Pilihan Partai Pemilih Mula Berbeda, Siapa yang Unggul?
Strategi
Kondisi ini menegaskan bahwa tidak mudah bagi kontestan pemilu menerapkan strategi kampanye guna merebut suara gen Z. Generasi ini memang memiliki antusiasme besar menyambut Pemilu 2024.
Besarnya antusiasme pemilih ini tidak sekadar dalam jumlah, tetapi juga terkait kesadaran mereka untuk menjadikan pemilu sebagai momentum menunjukkan aspirasi politiknya.
Namun, kampanye partai politik yang mengusung jargon ”pemuda” dan aktif menaikkan konten di media sosial rupanya tidak jadi jaminan.
Partai politik harus mampu menawarkan program yang realistis dan mengakomodasi isu-isu yang disorot generasi Z, seperti kesehatan mental dan lingkungan hidup. Akan tetapi, sasaran program yang terlalu muluk dengan gaya bahasa ”mendaki-daki” justru lebih mendatangkan antipati para pemilih kelompok usia ini.
Generasi Z cenderung pragmatis dan mempertimbangkan aspek finansial dalam pengambilan keputusan. Pasalnya, generasi ini dihadapkan pada situasi persaingan yang semakin rumit dibandingkan dengan kelompok usia di atasnya.
Persaingan untuk memperoleh pendidikan berkualitas, jaminan kesehatan, lapangan kerja, perumahan, dan karier adalah masalah nyata yang dihadapi generasi ini.
Baik partai politik maupun tim pemenangan pasangan capres-cawapres perlu ingat bahwa tidak semua pemilih gen Z hidup dalam pusaran media sosial.
Masih ada sebagian pemilih dari golongan usia ini yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga pada saat orang seusianya memperoleh kesempatan mencicipi pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.
Inilah tantangan bagi para kontestan pemilu untuk bisa membuktikan kepada pemilih dari gen Z ini yang karakternya antusias, bahkan sebagian besar sudah menetapkan pilihannya, tetapi cenderung mudah rapuh dengan pilihannya tersebut. (LITBANG KOMPAS)