Tahun 2024, Industri Penerbangan Optimistis Pulih dan Bangkit
Industri penerbangan di Tanah Air memasuki fase pemulihan setelah terdampak Covid-19. Pada tahun 2024, diprediksi bisnis angkutan udara akan berangsur bangkit dan mengalami lonjakan jumlah permintaan.
Industri penerbangan di Tanah Air memasuki fase pemulihan setelah terdampak Covid-19. Pada tahun 2024, diprediksi bisnis angkutan udara akan berangsur bangkit dan mengalami lonjakan jumlah permintaan. Di sisi lain, masih ada persoalan terkait rantai pasok, ketersediaan pesawat, dan kenaikan harga bahan bakar yang harus segera diatasi guna mendukung layanan udara lebih optimal.
Industri penerbangan di Indonesia mulai pulih tahun ini setelah tiga tahun terpukul pandemi Covid-19. Sebelumnya, industri ini terdampak cukup signifikan akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berimbas pada perjalanan pesawat baik domestik maupun internasional. Kala itu, sejumlah negara, termasuk Indonesia, memberlakukan pembatasan secara ketat sehingga pintu-pintu berbatasan negara ditutup, tidak menerima kedatangan pengunjung dari negara asing.
Seiring pembukaan perbatasan sejak Mei 2022, lalu diikuti dengan pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Januari 2023, industri penerbangan di Tanah Air secara bertahap kembali pulih.
Kondisi pemulihan tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah penumpang penerbangan udara baik domestik maupun internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penumpang angkutan udara domestik yang berangkat pada Oktober 2023 sebanyak 5,3 juta orang atau naik 5,38 persen dibandingkan kondisi pada September 2023. Jumlah penumpang tujuan luar negeri (internasional) juga naik 0,78 persen menjadi 1,5 juta orang pada Oktober lalu.
Selama periode Januari-Oktober 2023, jumlah penumpang domestik tercatat 51,8 juta orang dan jumlah penumpang internasional sebanyak 12,8 juta orang. Masing-masing naik 21,55 persen dan 152,27 persen dibandingkan kondisi pada periode yang sama tahun 2022.
Baca juga : Tahun Politik Diprediksi Dongkrak Mobilitas Pesawat Terbang
Tahun sebelumnya, lalu lintas penumpang domestik mencapai 56,7 juta dengan tingkat pemulihan (recovery rate) mencapai 71 persen dibandingkan 2019. Sementara penumpang internasional pada 2022 berjumlah 12,6 juta dengan recovery rate 34 persen.
Kementerian Perhubungan memprediksi, jumlah penumpang periode Natal dan Tahun Baru 2023/2024 akan melonjak naik dari tahun lalu. Diperkirakan jumlahnya sekitar 4 juta orang atau 19 persen lebih tinggi dibandingkan periode Natal dan Tahun Baru 2022/2023 yang sebanyak 3,4 juta orang.
Prediksi tersebut menunjukkan angka recovery rate penumpang angkutan udara telah mendekati capaian sebelum pandemi melanda. Jika dibandingkan dengan periode Natal dan Tahun Baru 2019, recovery rate akhir tahun ini sebesar 84,6 persen untuk penerbangan domestik dan 93,5 persen untuk penerbangan internasional.
Prospek
Mencermati perkembangan tersebut, industri penerbangan di Indonesia tampaknya tinggal menunggu waktu untuk kembali pulih seiring membaiknya kinerja positif sektor aviasi. Mengutip dari dokumen white paper berjudul ”Projected Recovery of the Aviation Industry towards the New Normal”, hasil kerja sama Indonesia National Air Carriers Association (INACA) dan Universitas Padjadjaran menyatakan, industri penerbangan diprediksi kembali ke level optimal pada 2024 nanti.
Selain memenuhi kebutuhan reguler, seperti perjalanan bisnis dan wisata, membaiknya perjalanan udara di Indonesia juga terimbas dari kegiatan pemilu. Pada tahun politik ini, yakni pada kurun 2023 hingga setidaknya Februari 2024 nanti, kegiatan terkait pemilu diperkirakan berdampak pada mobilitas penumpang pesawat yang cukup besar. Hal itu berdampak positif pada sejumlah maskapai untuk meningkatkan frekuensi perjalanan dengan banyaknya agenda politik yang membutuhkan konektivitas udara secara cepat.
Di tingkat global, Dewan Bandara Internasional (Airports Council International/ACI) yang beranggotakan 1.925 bandara di 171 negara juga memprediksi industri penerbangan di seluruh dunia akan pulih sepenuhnya dari pandemi Covid-19 pada tahun 2024.
Tahun depan, diperkirakan jumlah penumpang yang terangkut akan mencapai 9,4 miliar orang, melampaui tahun 2019 (sebelum pandemi) yang berjumlah 9,2 miliar penumpang. Estimasi tahun 2024 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan volume penumpang global tahun 2023 yang berjumlah 8,6 miliar orang.
Baca juga : Perhubungan Udara di Ambang Krisis?
Salah satu faktor yang mendorong lonjakan jumlah penumpang udara tersebut adalah pembukaan kembali jalur penerbangan ke China dan lonjakan perjalanan domestik di ”negeri tirai bambu” itu. Sebagai negara yang memiliki kontribusi ekonomi internasional terbesar di dunia, aktivitas penerbangan internasional ke China dan juga penerbangan domestiknya sangat berpengaruh pada kinerja dunia penerbangan secara global.
Selain faktor China, hal lain yang turut mengakselerasi pemulihan dunia penerbangan adalah meredanya gangguan rantai pasok dan inflasi yang relatif terkendali secara global. Dengan demikian, ekonomi semakin tumbuh dinamis sehingga perjalanan bisnis dan wisata turut meningkat.
Proyeksi dari ACI tersebut tentu saja menambah optimisme pelaku industri penerbangan di Tanah Air untuk bangkit kembali tahun depan, terutama pada penerbangan internasional. Pasalnya, secara statistik, Indonesia mendominasi pasar penerbangan, khususnya di Asia Tenggara.
Dalam skala global, industri penerbangan Indonesia bertengger di urutan ke-7 dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Prediksinya, setidaknya 390 juta penumpang akan terbang dari dan di Indonesia pada 2037.
Tantangan pemulihan
Kendati industri penerbangan diprediksi akan pulih pada 2024, di sisi lain masih terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi oleh industri aviasi. Selain pengaruh kondisi global, setidaknya ada tiga tantangan yang perlu mendapat perhatian serius pelaku bisnis penerbangan nasional, baik itu operator ataupun regulator. Tantangan tersebut meliputi sisi suplai dan juga sisi permintaan.
Di sisi suplai, masih ada keterbatasan jumlah pesawat yang dapat dioperasikan. Data Kementerian Perhubungan mencatat, hingga 30 Agustus 2023, jumlah pesawat yang beroperasi untuk penumpang niaga berjadwal sebanyak 393 unit dan pesawat yang sedang dalam kondisi perawatan 173 unit. Sementara itu, kebutuhan idealnya 700 pesawat. Masih terbatasnya jumlah pesawat ini disebabkan industri penerbangan yang belum sepenuhnya pulih pasca-Covid-19 dan banyak rute penerbangan yang hilang dengan alasan rute sepi dan inefisien.
Saat ini, penerbangan domestik melayani 261 rute yang menghubungkan 121 kota di Indonesia dan dilayani oleh 13 maskapai penerbangan, termasuk dua penerbangan kargo. Adapun penerbangan internasional saat ini melayani 121 rute yang menghubungkan 14 kota di Indonesia dan 53 kota di 26 negara. Penerbangan internasional dilayani tujuh operator Indonesia dan 45 operator asing.
Baca juga : Pasar Perjalanan Udara Internasional Belum Membaik
Kendala lain dari sisi suplai adalah rantai pasok suku cadang pesawat. Pengiriman suku cadang pesawat untuk menunjang maintenance, repair, and overhaul (MRO) dinilai belum normal. Kendala pengiriman ini akibat pandemi yang belum sepenuhnya pulih serta dampak perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan pada ketersediaan suku cadang pesawat.
Kendala suku cadang itu dapat berdampak serius pada keselamatan dan kualitas pelayanan yang diberikan kepada konsumen penerbangan. Sejumlah kasus kerusakan pesawat ditemukan, seperti AC mati serta permasalahan mesin, sehingga pesawat urung lepas landas. Masalah-masalah teknis ini bisa menjadi ancaman bagi pelayanan dunia penerbangan.
Selain terkendala dari sisi suplai, ada hambatan pula dari sisi permintaan. Tarif angkutan udara masih relatif tinggi akibat tingginya harga avtur, biaya leasing, dan biaya operasional lain. Biaya bahan bakar merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya operasi pesawat udara. Sekitar 40 persen biaya operasional pesawat datang dari avtur.
Persoalan tersebut tampaknya tak lepas dari penerbitan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 7 Tahun 2023 tentang Besaran Biaya Tambahan (Surcharge) yang Disebabkan Adanya Fluktuasi Bahan Bakar (Fuel Surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Aturan itu memberikan kewenangan kepada maskapai untuk mengenakan kebijakan fuel surcharge yang bersifat opsional sebagai akibat fluktuasi harga avtur dengan tetap wajib memperhatikan daya beli konsumen dan tak bertujuan untuk menambah keuntungan.
Untuk pesawat udara jenis jet, kebijakan biaya tambahan paling tinggi 10 persen dari tarif batas atas dan untuk pesawat udara jenis propeler paling tinggi 25 persen dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan setiap badan usaha angkutan udara. Di samping itu, ada perbedaan harga avtur antarkota. Semakin menuju Indonesia bagian timur, harganya cenderung lebih mahal.
Di luar itu, lemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama dunia, seperti dollar AS, dalam beberapa waktu terakhir sangat berdampak pada industri penerbangan. Sementara itu, tarif batas atas dan bawah pesawat tak berubah sejak 2019.
Depresiasi rupiah menjadi beban serius bagi maskapai penerbangan. Apalagi, maskapai Indonesia banyak bergantung dari rute domestik, bukan internasional. Maskapai rute domestik yang penghasilannya dalam bentuk rupiah mengalami tekanan pembayaran karena hampir semua komponen produksi penumpangnya berkaitan erat dengan nilai kurs asing.
Melemahnya nilai tukar rupiah akan semakin memberatkan biaya sewa pesawat, harga komponen, dan suku cadang serta asuransi pesawat yang semuanya dalam valuta asing. Selain itu, 66 persen unsur dalam biaya operasi berhubungan dengan dollar AS. Di antaranya, avtur sekitar 36 persen, pemeliharaan 16 persen, dan sewa pesawat atau penyusutan 14 persen. Hal ini tentu menjadi beban tambahan bagi maskapai penerbangan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi beragam tantangan tersebut, diperlukan kolaborasi dan sinergi antarpemangku kepentingan penerbangan di Indonesia. Pemerintah dapat memberikan sejumlah insentif yang meringankan beban operator sehingga biaya tarif penerbangan dapat ditekan lebih rendah dan terjangkau konsumen penerbangan. Dengan demikian, tren penumpang angkutan udara akan terus meningkat sehingga akan menguntungkan dunia penerbangan. Di sisi lain, ekonomi akan semakin tumbuh dinamis mendorong kemajuan ekonomi di daerah-daerah. Investasi untuk kepentingan usaha dan wisata akan terus berkembang seiring tingginya aksesibilitas angkutan udara di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)