Medsos Menyimpan Potensi Kerawanan Pemilu
Medsos rentan melahirkan kerawanan Pemilu 2024. Ujaran kebencian dan kampanye bermuatan hoaks makin berpeluang terjadi.
Tema kampanye media sosial menjadi perhatian tersendiri oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam Pemilu 2024. Hal ini terlihat dari diluncurkannya Indeks Kerawanan Pemilu 2024 dengan isu strategis kampanye di media sosial pada 31 Oktober 2023.
Bawaslu melakukan pengukuran indeks ini dengan dua tingkatan, yakni provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat provinsi, setidaknya ada tiga isu utama yang menjadi temuan indeks ini. Pertama, terkait ujaran kebencian yang mendominasi tingkat kerawanan karena terjadi di sekitar 50 persen dari provinsi di Indonesia.
Kemudian yang kedua ialah isu penggunaan konten hoaks atau berita bohong yang banyak digunakan dalam masa tahapan pemilu, terutama di masa kampanye. Isu ini tercatat terjadi di 30 persen dari provinsi yang menjadi kajian indeks kerawanan ini. Ketiga, kampanye bermuatan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang terjadi di 20 persen provinsi.
Ujaran kebencian juga ditemukan di tingkat kabupaten/kota sebagai isu yang paling rentan melahirkan kerawanan pemilu, terutama terkait kampanye. Kampanye bermuatan ujaran kebencian tercatat potensinya berada di angka 33 persen wilayah kabupaten/kota, disusul kemudian oleh kampanye bermuatan SARA dengan angka 27 persen.
Di tingkat provinsi, wilayah yang paling tinggi tingkat kerawanannya pada aspek kampanye melalui media sosial atau yang lebih dikenal dengan istilah medsos ini adalah DKI Jakarta, Maluku Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo.
Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota, wilayah yang menyimpan kerawanan tinggi di aspek kampanye medsos adalah Kabupaten Fakfak, Intan Jaya, Malaka, Kota Jakarta Timur, Purworejo, Jaya Wijaya, Yapen, Lombok Timur, Sekadau, Halmahera Tengah. Disusul kemudian Kabupaten Pasangkayu, Alor, Majalengka, Kulon Progo, Agam, Bangka, Bangka Selatan, Ponorogo, Kendal, Kota Balikpapan, Kota Bogor, dan Kota Parepare.
Dalam rilis yang dipublikasikan pada 31 Oktober 2023, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menjelaskan, indeks kerawanan pemilu ini sebagai mitigasi dan deteksi dini potensi kerawanan dalam pemilu dan pilkada serentak 2024.
Terkait kampanye di medsos, Bagja melihat pengalaman di Pemilu 2019 terkait maraknya hoaks dan kampanye hitam sehingga membuat pemilu menjadi tegang. Kampanye di medsos membuat ketegangan yang tidak perlu dalam proses pemilu. Hal inilah yang menjadi dasar diluncurkannya Indeks Kerawanan Pemilu 2024.
Bagaimanapun, di tengah disrupsi media, di mana penggunaan media sosial begitu tinggi intensitas dan penyebarannya, hoaks menjadi lebih mudah diproduksi dan menyebar.
Dalam laporannya yang terbaru, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) merekam, sepanjang dua minggu pertama November 2023 ditemukan 67 hoaks. Dari jumlah tersebut, isu politik tetap paling populer (lebih dari 73 persen) dibanding isu lain. Data ini makin menegaskan, hoaks pemilu menjadi asupan sehari-hari yang rawan melahirkan potensi ketegangan.
Baca juga: Pemilu 2024 Menjadi Ujian Netralitas ASN
Pola kerawanan pemilu
Indeks Kerawanan Pemilu Bawaslu terkait isu kampanye di medsos ini juga memetakan pola kerawanan yang terjadi melalui kanal dunia maya tersebut. Setidaknya ada dua pola yang berhasil terekam dalam proses analisis indeks. Pertama, pola serangan terhadap penyelenggara pemilu.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat soal serangan ini, terutama saat Pemilu 2019. Saat itu terjadi setelah KPU mengumumkan hasil rekapitulasi suara pemilihan presiden, ditemukan 245 isu hoaks yang sebagian besar ditujukan kepada penyelenggara pemilu, baik terhadap KPU maupun Bawaslu.
Pola kedua adalah saling serang antarkandidat atau pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Indeks juga mengumpulkan data sekunder, salah satunya dari kerja sama antara Indonesia Indicator dan Bawaslu.
Datanya merekam, sepanjang 16 Maret sampai dengan 16 April 2019, setidaknya terdapat 1.916 penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang dilakukan dua kubu kandidat yang berkontestasi. Sebanyak 801 konten ditransmisikan melalui platform Twitter, 799 konten melalui Facebook, dan 316 konten melalui Instagram.
Selain media sosial, tidak jarang pemberitaan media daring juga menjadi kanal bagi upaya menyerang lawan politik atau kontestan lain. Artinya, serangan di dunia maya terkait upaya mendegradasi lawan politik lumrah dan marak terjadi.
Hal ini tampak dari laporan Indonesia Indicator dan Bawaslu yang merekam jumlah serangan di antara calon presiden melalui media daring di seluruh provinsi pada Pemilu 2019. Saat itu, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendapatkan 3.654 serangan dalam pemberitaan daring, sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapatkan 2.499 serangan melalui kanal yang sama.
Indeks Kerawanan Pemilu yang diinisiasi Bawaslu ini juga merekam soal siapa saja yang berpotensi menjadi aktor atau pelaku serangan terhadap kontestasi melalui konten-konten yang disebarkan di kanal medsos ini. Setidaknya ada tiga aktor yang berpotensi menjadi pelaku, yakni peserta pemilu (partai politik dan kandidat), anggota tim sukses atau tim kampanye, dan para pendengung/buzzer dan simpatisan/pendukung.
Pada akhirnya, tidak mudah melakukan pengawasan terhadap lalu lintas di media sosial, terutama terkait ujaran kebencian dan hoaks. Bawaslu mencatat, pola saling serang di antara kubu pendukung capres/cawapres perlu menjadi kewaspadaan tersendiri pada masa kampanye Pemilu 2024.
Baca juga: Mengantisipasi Kerawanan Pemilu 2024 di Luar Negeri
Penetrasi internet
Mitigasi potensi daerah rawan penyebaran kampanye medsos yang mengandung SARA, ujaran kebencian, dan hoaks perlu dilakukan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat penetrasi internet yang tinggi dan tingginya penyebaran berita yang berisi serangan terhadap kandidat capres/cawapres seperti yang diungkap dalam indeks kerawanan ini.
Apalagi, isu kecurangan begitu mencuat akhir-akhir ini, mulai dari munculnya informasi soal pengerahan kepala desa hingga semakin menghangatnya isu terkait netralitas penyelenggara pemilu, TNI, ataupun Polri yang pada akhirnya sedikit banyak menyumbang potensi ketegangan politik. Merujuk catatan Bawaslu dalam indeks kerawanan ini, dibutuhkan sejumlah langkah antisipasi terhadap potensi lahirnya ketegangan politik akibat kampanye di medsos ini.
Mitigasi tersebut, di antaranya, dengan upaya membangun pusat kolaborasi multipihak untuk countering kampanye SARA, hoaks, dan ujaran kebencian. Pusat kolaborasi ini berupa komunitas penjaga (shield community).
Sementara Bawaslu diharapkan bisa menjadi leading sector dalam kolaborasi antara penyelenggara pemilu, penyedia platform media sosial, media, dan pemantau/pegiat pemilu. Upaya kolaborasi ini juga bisa diikuti dengan membangun pusat informasi dan berbagi konten dalam rangka countering kampanye SARA, hoaks, dan ujaran kebencian.
Misalnya, dengan menyisipkan tema-tema toleransi, integrasi, dan tema lain untuk menangkal penyebaran kampanye SARA, hoaks, dan ujaran kebencian. Bagaimanapun langkah antisipasi atau pencegahan lebih mudah dilakukan dengan tetap melibatkan partisipasi masyarakat secara luas.
Langkah Bawaslu, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Polri membentuk desk pemilu untuk memperkuat pengawasan terhadap kampanye di media sosial menjadi upaya positif untuk meredam potensi kerawanan yang bersumber dari dunia maya ini (Kompas, 28/11/2023).
Dengan pengawasan yang juga dibarengi dengan partisipasi publik melalui gerakan sosial, upaya untuk menangkap sejumlah konten yang bermuatan negatif bisa dilakukan. Selain itu, langkah ini sekaligus juga untuk memperkuat literasi digital masyarakat yang saat ini relatif masih jadi pekerjaan rumah.
Data Kemenkominfo menyebutkan, indeks literasi digital di Indonesia tahun 2022, dari skala 1-5, adalah 3,54. Angka ini relatif naik tipis dibanding indeks tahun 2021 yang berada di angka 3,49. Dari empat indikator yang diukur, indeks aspek keamanan digital masih yang terendah.
Upaya-upaya meningkatkan literasi digital ini sedikit banyak akan menjadi penangkal secara alamiah bagi masyarakat pengguna media sosial untuk menghindari konten-konten negatif yang rentan disebarkan saat masa kampanye pemilu. Setidaknya upaya-upaya literasi ini mampu meredam potensi kerawanan pemilu yang rentan terjadi di dunia maya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Melawan Politik Uang, Perkuat Pengawasan Partisipatif