Sekolah sebagai Ruang Aktualisasi dan Apresiasi Anak Berkebutuhan Khusus
Diperlukan akses seluas-luasnya bagi anak penyandang disabilitas serta mendukung budaya inklusif di sekolah.
Anak-anak penyandang disabilitas belum sepenuhnya diterima di masyarakat. Jalur pendidikan dan sekolah dapat menjadi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan potensi pribadi.
Indonesia masih menghadapi tantangan mengembangkan potensi anak penyandang disabilitas. Jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 2,2 juta jiwa atau 3,3 persen dari total jumlah anak. Namun, pengembangan potensi anak penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain masyarakat belum sepenuhnya mengerti dan menerima keberadaan mereka.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 16-18 Oktober 2023 kepada 512 responden di 34 provinsi menyebutkan, tiga dari sepuluh responden melihat masyarakat belum sepenuhnya menerima keberadaan mereka. Bahkan, 4,4 persen responden merasa masyarakat belum bisa menerima anak-anak itu.
Situasi ini juga sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari anak penyandang disabilitas. Mereka kerap menerima perundungan, penolakan, hingga perlakuan kasar dari orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, banyak dari mereka takut bergaul, cenderung menyendiri, dan tak bisa mengembangkan diri. Orangtua dan keluarga juga lebih protektif dan membatasi anak-anaknya berkegiatan di luar rumah.
Dari situ, permasalahan lain muncul, yaitu anak-anak tidak bisa mengembangkan potensinya karena tak ada ruang untuk mereka berkarya. Hal ini akhirnya membuat anak-anak semakin tersingkir di masyarakat. Padahal, apabila diberi ruang untuk berkembang, mereka juga bisa berkarya dan berprestasi. Dari karya dan prestasi itu, mereka bisa dipandang dan diterima masyarakat.
Baca juga: Pentingnya Memahami Anak Berkebutuhan Khusus
Melihat problem dasar itu, hal yang perlu dilakukan adalah memberi ruang-ruang bagi anak penyandang disabilitas untuk berkreasi dan berprestasi. Hal ini terwujud melalui sekolah dan layanan pendidikan lain yang wajib disediakan oleh pemerintah.
Dengan jaminan dari negara dan pemerintah, anak penyandang disabilitas layaknya anak-anak pada umumnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan. Mereka dapat mengenal serta dikenal oleh anak-anak lain dan masyarakat sehingga saat dewasa bisa bersosialisasi dan beraktivitas seperti orang lain.
Pendidikan inklusif
Menyadari pentingnya ruang pendidikan bagi anak penyandang disabilitas, negara-negara menerapkan konsep pendidikan inklusif. Dalam sistem pendidikan inklusif, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Unicef menyebutkan, pendidikan inklusif yang dimaksud adalah semua anak berada dalam ruang kelas yang sama dan di sekolah yang sama. Maksudnya, anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan berada di ruang kelas dan sekolah yang sama dengan anak-anak lain.
Indonesia menerapkan pendidikan inklusif dalam sistem pendidikannya. Dalam sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan khusus disediakan secara inklusi bagi mereka yang berkebutuhan khusus. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam praktiknya, sistem pendidikan di Indonesia belum mampu sepenuhnya menerapkan pendidikan inklusif menurut Unicef. Saat ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus disediakan melalui sekolah khusus, yaitu sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusif. SLB merupakan sekolah dengan infrastruktur, tenaga pendidik, dan sistem pembelajaran yang dirancang khusus untuk anak penyandang disabilitas.
Baca juga: Penyandang Disabilitas Melawan Stigma dengan Prestasi
Sebaliknya, sekolah inklusif sejatinya adalah sekolah reguler, tetapi menerima anak berkebutuhan khusus. Di sekolah inklusif, anak penyandang disabilitas mendapatkan pembelajaran yang sama dengan anak-anak pada umumnya. Sekolah inklusif ini ditunjuk oleh pemerintah atau inisiatif sekolah dengan melihat kapasitas prasarana dan tenaga pendidik.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, saat ini terdapat 6.764 SLB mulai dari tingkat TK hingga SMA. Jumlah sekolah inklusi mencapai 44.477 sekolah. Jumlah sekolah inklusi itu meningkat pesat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 40.928 sekolah.
Hal ini menunjukkan, ruang pendidikan bagi anak penyandang disabilitas semakin luas. Jumlah murid yang terdaftar di sekolah inklusi juga bertambah dari 126.600 pada 2021 menjadi 146.200 pada 2023.
Kesenjangan inklusif
Meskipun ada peningkatan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Nyatanya masih banyak anak berkebutuhan khusus yang belum atau tak lagi melanjutkan pendidikan. Berdasarkan data Statistik Pendidikan 2022, lebih banyak anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah dibandingkan dengan anak nondisabilitas.
Pada kelompok usia 7-12 tahun (tingkat SD), terdapat 8,43 persen anak disabilitas yang tak bersekolah. Anak nondisabilitas yang tidak bersekolah pada tingkat itu hanya 0,52 persen.
Dengan kata lain, masih ada kesenjangan akses pendidikan antara anak penyandang disabilitas dan nondisabilitas, bahkan di level pendidikan dasar. Angka anak yang tidak bersekolah pada anak berkebutuhan khusus jauh meningkat seiring dengan bertambahnya jenjang pendidikan. Pada kelompok umur 13-15 tahun atau tingkat pendidikan SMP, ada 39,15 persen anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah. Bahkan, di tingkat SMA (anak usia 16-18 tahun), terdapat 56,17 persen anak berkebutuhan khusus yang tidak bersekolah.
Baca juga: Sekolah Inklusi, Niat untuk Merangkul Perbedaan
Ada beberapa penyebab rendahnya partisipasi anak penyandang disabilitas dalam pendidikan. Pertama, kurangnya jumlah dan sebaran fasilitas pendidikan yang mau menerima mereka. Tidak setiap daerah memiliki SLB dan cukup untuk menjangkau jumlah anak penyandang disabilitas di wilayahnya.
Maka, sebenarnya sekolah inklusi bisa menjembatani kekurangan ini. Namun, saat ini tak semua sekolah mampu menjadi sekolah inklusif. Penyebabnya, sekolah inklusif memerlukan infrastruktur, sistem pembelajaran, dan tenaga pendidik yang mengikuti kebutuhan beragam murid.
Saat ini keberadaan sekolah inklusif juga belum optimal. Jumlah dan kualitas gurunya belum memadai. Di samping itu, budaya inklusif di sekolah inklusif, apalagi sekolah reguler, belum berjalan dengan baik. Masih banyak anak penyandang disabilitas yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dan perundungan di lingkungan sekolah.
Dengan kondisi tersebut, perlu ada dorongan lebih untuk menyediakan pendidikan inklusif bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tidak hanya menambah sarana-prasarana pendidikan berupa SLB dan sekolah inklusi, tetapi juga menguatkan budaya inklusif di dalamnya. Hal ini penting dilakukan untuk memberi kesempatan dan akses seluas-luasnya bagi anak penyandang disabilitas.
Buka ruang sebesar-besarnya bagi anak penyandang disabilitas untuk merasakan pendidikan yang sama dengan anak pada umumnya dan bisa mengaktualisasikan diri sehingga lambat laun mereka diakui masyarakat. Hal ini langkah awal untuk mengikis stigma dan pengabaian oleh masyarakat kepada anak-anak berkebutuhan khusus. (LITBANG KOMPAS)