Membuka Peluang Kerja Sama dengan Negara Kaya Minyak di Timur Tengah
Negara produsen energi fosil akan membangun kolaborasi dengan sejumlah negara untuk menjaga kelangsungan ekonominya di tengah kian susutnya permintaan energi fosil pada masa depan.
Rencana dunia yang ingin meraih net zero emissions tahun 2050 memunculkan peluang kerja sama ekonomi baru pada sejumlah negara. Negara-negara produsen energi fosil akan membangun kolaborasi dengan sejumlah negara untuk menjaga kelangsungan ekonominya di tengah kian susutnya permintaan energi tak terbarukan di masa depan.
Berdasarkan laporan World Energy Outlook 2023 dari Badan Energi Internasional (IEA), diperkirakan penggunaan energi fosil pada saat emisi karbon nol tahun 2050 akan menyusut sangat drastis. Penggunaan energi berbasis minyak bumi berkurang menjadi 12 persen, gas alam 4 persen, dan batubara tinggal 2 persen. Energi fosil masih akan dipergunakan pada saat emisi nol nanti, tetapi dengan tingkat penggunaan seminimal mungkin. Itu pun akan disertai dengan teknologi pelengkap guna mereduksi emisi karbon yang dihasilkan energi fosil bersangkutan.
Kondisi tersebut diproyeksikan akan sangat jauh berbeda dengan situasi sekarang di mana sangat bergantung pada energi fosil yang tidak ramah lingkungan. Laporan IEA menyebutkan, pada tahun 2022, konsumsi energi final yang berasal dari produk minyak bumi sangat mendominasi, yakni dengan persentase mencapai 38 persen. Konsumsi energi final berbasis fosil berikutnya disusul oleh penggunaan bahan bakar dari gas alam yang mencapai 16 persen dan batubara sekitar 12 persen. Untuk konsumsi energi final berupa listrik masih relatif kecil, yakni sekitar 20 persen.
Relatif minimnya konsumsi listrik itu menjadi catatan yang menarik karena lewat elektrifikasi inilah rencana energi ramah lingkungan akan terus dimaksimalkan di masa depan. Untuk saat ini, total konsumsi energi listrik yang berkisar 20 persen itu sebagian besar masih bersumber pada energi fosil. Sekitar 60 persennya bersumber dari energi tak terbarukan. Rinciannya terdiri dari batubara sekitar 36 persen, gas alam 22 persen, dan dari bahan bakar minyak 2 persen.
Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkitan listrik dunia saat ini relatif masih kecil, yakni kurang dari 40 persen. Terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 15 persen, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 9 persen, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) 7 persen, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 4 persen, dan bioenergi 2 persen.
Baca juga: Merealisasikan Target Bauran Energi Baru Terbarukan
Seluruh sumber pembangkit energi listrik dari EBT itu akan terus ditingkatkan di masa depan. Ditargetkan pada tahun 2050, konsumsi energi final berupa elektrifikasi melonjak menjadi 53 persen atau naik 32 persen dari posisi tahun 2022 yang sebesar 20 persen. Lonjakan konsumsi elektrifikasi ini sebagian besar akan ditopang oleh sumber pembangkitan listrik ramah lingkungan. Sekitar 97 persen pembangkit listrik nanti akan bersumber dari EBT. Diproyeksikan sekitar 41 persen dari PLTS, 31 persen dari PLTB, 11 persen PLTA, 8 persen PLTN, 4 persen bioneregi, 1 persen panas bumi, dan sisanya pembangkit yang dilengkapi alat reduksi emisi karbon.
Oleh sebab itu, untuk merealisasikan target global tersebut seluruh negara berupaya melakukan transisi energi di setiap negaranya dengan mengacu komitmen yang disepakati dalam Perjanjian Paris Cop 21 tahun 2015. Setiap negara berupaya mengimplementasikan kontribusi reduksi emisi karbon yang ditetapkan secara nasional melalui Nationally Determined Contribution (NDC) yang disepakati dengan lembaga perubahan iklim dunia, UNFCCC.
Transisi ekonomi
Rencana global dalam transisi energi itu mendorong sejumlah negara untuk mengoptimalkan potensi sumber daya energi yang ramah lingkungan di negaranya masing-masing. Termasuk negara-negara yang berlimpah energi fosil pun dituntut untuk mendukung langkah dunia ini.
Tentu saja, kebijakan global itu menjadi perhatian serius bagi sejumlah negara yang kaya sumber daya energi fosil. Transisi energi ini sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, tetapi juga mengancam bagi kelangsungan ekonomi negara-negara produsen energi. Terutama sejumlah negara yang mengandalkan sumber daya energi fosil bagi kemajuan ekonomi negaranya. Misalnya negara-negara di kawasan Timur Tengah yang berlimpah sumber daya minyak buminya.
Oleh sebab itu, negara-negara produsen minyak tersebut berkepentingan untuk menyelamatkan sumber perekonomiannya agar tetap dibutuhkan tanpa bertentangan dengan pengembangan EBT dunia. Energi fosil tetap menjadi komoditas penting yang dapat beriringan dengan berkembanganya EBT di masa depan.
Berdasarkan jurnal ”Energy Diplomacy in a Time of Energy Transition” karya Steven Griffiths yang diterbitkan oleh Jurnal Elsevier pada tahun 2019 menerangkan bahwa negara-negara eksportir migas menjadi sangat berkepentingan membina hubungan bilateral dan multilateral dengan semua negara mitra strategis perdagangan hidrokarbonnya. Salah satu tujuannya, menjaga aliran finansial dari kekayaan migas yang dimilikinya dapat terus berlangsung dalam jangka panjang hingga cadangan yang dimilikinya habis. Selain itu, untuk melakukan kolaborasi diversifikasi ekonomi di luar migas demi menjamin kemajuan bangsa di masa mendatang. Poin pentingnya adalah secara bertahap mengurangi ketergantungan perekonomiannya dari devisa ekspor migas.
Salah satu kawasan di dunia yang berkepentingan menjalin diplomasi tersebut adalah Timur Tengah. Kawasan ini merupakan pemasok minyak bumi terbesar di dunia. Sekitar 847 juta ton atau hampir 75 persen neraca perdagangan minyak bumi dunia diangkut dari wilayah ini tiap tahun. Besarnya pasokan minyak tersebut membuat posisi geopolitik kawasan itu sangat kuat. Sebagian negara di Timur Tengah dapat memengaruhi kebijakan suatu negara hanya melalui soft power kekayaan migasnya. Terutama negara di kawasan Asia yang merupakan pangsa terbesar konsumsi migas dari Timur Tengah, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Singapura, India, dan Indonesia.
Namun, dengan kian berkembangnya pembangunan dan pemanfaatan EBT secara global membuat negara-negara produsen minyak akan mengalami penurunan potensi kekuatan ekonomi dan juga geopolitiknya dalam beberapa tahun mendatang. Hingga satu dekade ke depan, kemungkinan, negara-negara di Timur Tengah, khususnya anggota Gulf Cooperation Council (GCC) yang terdiri dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman masih memiliki permintaan yang tinggi terhadap komoditas minyak buminya. Namun, tetap saja dihadapkan pada kemungkinan ketidakpastian karena fenomena transisi energi secara global.
Baca juga: Optimalisasi EBT Menjadi Prioritas Indonesia Menuju Karbon Netral 2060
Dari ke-6 negara GCC, UEA adalah salah satu negara yang memiliki posisi paling strategis. Negara ini memiliki hubungan diplomatik setidaknya dengan 189 negara di dunia sehingga jaringan internasionalnya sangat kuat. Pada 2017, UEA meluncurkan soft power strategy untuk meningkatkan reputasi UEA di berbagai sektor secara global. Terkait kebijakan energi, negara ini telah berupaya melakukan serangkaian kegiatan untuk memperkuat lanskap diplomatiknya.
Berdasarkan perdagangan hidrokarbon, hubungan mitra energi utama UEA adalah dengan China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Negara-negara Asia ini berpengaruh kuat terhadap UEA tidak hanya sebatas transaksi migas, tetapi juga sebagai partner dalam hubungan ekonomi yang lebih luas. Hal ini sangat logis dilakukan dalam masa transisi energi seperti saat ini. Kedua belah pihak akan saling menguatkan dan menguntungkan.
Hal tersebut dimanfaatkan negara kawasan Asia untuk menjadi mitra pemasok energi dalam jangka panjang demi menjaga stabilitas ekonomi Asia. Kondisi ini menyebabkan UEA memiliki posisi geopolitik yang sangat kuat terhadap kawasan Asia. Posisi menguntungkan ini diisi dengan mengembangkan kerja sama perekonomian yang lebih luas lagi. Tujuannya, untuk membangun pondasi yang kuat bagi UEA dan negara mitranya di Asia. Dengan demikian, sama-sama diuntungkan karena menciptakan kemajuan bagi kedua pihak sekaligus memperkuat ekonomi UEA dari sisi non-migas. Jadi, mengurangi ketergantungan UEA terhadap ekspor migas.
Bentuk kerja sama yang sudah dilakukan antara lain UEA bersama ADNOC, perusahaan minyak Abu Dhabi memberikan konsesi minyak darat dan lepas pantai kepada perusahaan dari China, Jepang, Korsel, dan India. UEA juga berambisi mengembangkan sektor petrokimia terbesar di dunia pada tahun 2025 dengan melibatkan perusahaan dari India di sektor hilir. Jepang diberi konsesi perminyakan di sejumlah lokasi hingga tahun 2058. Perusahaan China (CPECC) diberi kesempatan membangun jalur pipa minyak rute Habshan-Fujairah yang memungkinkan pemuatan minyak mentah UAE tidak perlu melewati Selat Hormuz yang merupakan chokepoint. Dengan Korea Selatan, selain bermitra bisnis minyak, UEA menjalin kontrak kerja sama pengembangan nuklir. Dalam hal nuklir ini, UEA juga bekerja sama dengan China dan Rusia.
Dengan sejumlah negara tersebut, UEA juga mencari peluang untuk mengembangkan sektor lain di luar migas. UEA berambisi menjadi negara yang mampu mengembangkan industri canggih berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Kerja sama ini setidaknya menggandeng negara China dan India. Langkah ini merupakan upaya UEA untuk menempatkan posisinya dalam industri canggih di dunia.
Peluang Indonesia
Upaya transisi ekonomi negara Timur Tengah tersebut menjadi peluang yang sangat baik bagi Indonesia untuk ditangkap sebagai kesempatan memajukan perekonomian nasional, misalnya mengembangkan potensi wisata Indonesia, pembangunan infrastruktur vital, memproduksi baterai kendaraan listrik berbasis nikel, akselerasi pemanfaatan EBT, hingga modernisasi teknologi kilang-kilang minyak Indonesia.
Semua peluang tersebut sangat potensial dikembangkan di Indonesia dan dalam jangka panjang dapat berkontribusi positif bagi perekonomian negara investor Timur Tengah. Untuk saat ini, salah satu infrastruktur penting yang dibangun di Indonesia dengan bekerja sama dengan Timur Tengah adalah PLTS Terapung Cirata. Fasilitas pembangkit listrik ramah lingkungan berkapasitas 192 megawatt peak (MWp) ini dibangun dengan komitmen meraih karbon netral Indonesia 2060.
Baca juga: PLTS Terapung Terbesar se-Asia Tenggara Diresmikan Presiden
PLTS Terapung di Cirata yang diresmikan pada 9 November 2023 itu merupakan hasil kerja sama Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, bersama PT PLN dan berkolaborasi dengan perusahaan energi, Masdar dari UEA. Masdar merupakan perusahaan energi yang dimiliki oleh tiga perusahaan energi besar di UEA, yakni the Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), Mubadala Investment Company, dan Abu Dhabi National Energy Company PJSC (TAQA).
Masdar lebih spesifik mengembangkan proyek-proyek energi bersih berbasis EBT, seperti PLTS, PLTB, panas bumi, dan hidrogen. Dalam proyek PLTS Cirata ini, saham yang dimiliki Masdar mencapai 49 persen dan sisanya, 51 persen, dimiliki PT PLN sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia. Skema perjanjian jual-beli energi listrik itu berupa BOOT, yakni Build, Own, Operate & Transfer, selama 25 tahun. Jadi, akan dioperasikan secara kerja sama antara Masdar dan PT PLN, energi listriknya dibeli PLN, dan akan dikembalikan dan dimiliki Indonesia setelah 25 tahun ke depan.
Peluang kerja sama seperti itu sangat membantu bagi Indonesia karena menjadi lebih ringan dari sisi investasi biaya. Selain itu, akan menguntungkan bagi kedua belah pihak karena Indonesia dapat mengakselerasi peningkatan bauran EBT dan bagi UEA dapat memiliki sumber ekonomi baru di luar mata rantai perdagangan minyak bumi.
Kolaborasi tersebut dapat terus dikembangkan di Indonesia dengan mengoptimalkan segenap potensi sumber daya yang ada di dalam negeri. Mengingat, untuk saat ini bauran EBT nasional baru berkisar 12 persen, sedangkan target pada tahun 2025 target bauran energinya sudah mencapai 23 persen EBT. Oleh karena itu, perlu langkah progresif agar target tersebut dapat terealisasi sehingga tahapan NDC yang sudah tersusun dapat diwujudkan secara bertahap. Kerja sama dengan investor dari negara-negara kaya minyak di Timur Tengah sangat mungkin untuk terus dijajaki demi meraih karbon netral 2060. (LITBANG KOMPAS)