Listrik Akan Mendominasi Bentuk Energi Masa Depan Dunia
Di masa depan, sebagian besar sumber energi akan berpijak pada jenis energi yang bersifat baru terbarukan. Listrik akan menjadi bentuk EBT yang paling banyak dikonsumsi masyarakat dunia.
Oleh
BUDIAWAN SIDIK A
·4 menit baca
Komitmen net zero emissionspada tahun 2050 mendatang menuntut adanya perubahan konsumsi energi yang signifikan dari seluruh masyarakat dunia. Bila saat ini konsumsi energi masih dominan mengandalkan energi fosil, nanti di masa depan sebagian besar akan berpijak pada energi baru terbarukan. Listrik akan menjadi bentuk energi yang paling banya dikonsumsi masyarakat dunia.
Berdasarkan World Energy Outlook 2023 dari Badan Energi Internasional atau IEA, terlihat adanya skenario global dalam mencapai tahapan emisi karbon nol atau net zero emmisions (NZE). Pada tahun 2050 nanti, konsumsi energi final dalam bentuk energi listrik di seluruh dunia melonjak sangat pesat menjadi sekitar 53 persen. Besaran ini naik lebih dari dua kali lipatnya dari kondisi tahun 2022 lalu yang masih berkisar 20 persen.
Lonjakan perlistrikan tersebut seiring dengan kian berkurangnya konsumsi energi final yang berupa energi fosil. Pada tahun 2022 lalu, konsumsi energi final yang berasal dari produk minyak bumi sangat mendominasi, yakni dengan persentase mencapai 38 persen. Konsumsi energi final berbasis fosil berikutnya disusul oleh penggunaan bahan bakar dari gas alam yang mencapai 16 persen dan batubara sekitar 12 persen.
Seiring dengan komitmen NZE 2050, penggunaan energi fosil tersebut diproyeksikan akan terus menyusut. Pada tahun 2050, penggunaan energi berbasis minyak bumi berkurang menjadi 12 persen, gas alam 4 persen, dan batubara tinggal 2 persen. Energi fosil tetap akan dipergunakan pada masa emisi nol dunia nanti, tetapi dengan tingkat penggunaan seminimal mungkin.
Selain itu, sejumlah energi fosil tersebut juga akan disertai dengan hadirnya energi komplementer yang berbasis lingkungan. Misalnya saja, bahan bakar cair yang didominasi bahan bakar minyak akan disertai dengan bahan bakar ramah lingkungan berwujud cair lainnya, seperti biofuels, amonia, dan minyak sintetis. Bahan bakar gas juga akan disertai dengan bahan bakar serupa yang berbasis alam, seperti biomethane dan hydrogen. Pun demikian bahan bakar padat yang selama ini didominasi batubara, di masa depan nanti akan dilengkapi dengan solid bioenergy yang lebih ramah lingkungan.
Hanya saja, bahan bakar ramah alam yang setara energi fosil tersebut jumlahnya relatif tidak terlalu banyak. Salah satu penyebabnya adalah biaya pengembangan teknologi dan investasinya yang relatif sangat mahal sehingga tidak semua negara mampu menerapkan. Selain itu, penggunaan energi ini juga harus sesuai dengan jenis teknologi yang akan menggunakannya. Dengan kata lain, harus ada rekayasa teknik kembali pada sejumlah alat, kendaraan, mesin-mesin, dan teknologi agar mampu mengonsumsi energi ramah lingkungan tersebut. Hal ini tentu saja akan kembali membutuhkan investasi dengan biaya yang juga sangat mahal sehingga menjadi kendala bagi siapa pun ketika akan mengaplikasikannya.
Solusi praktisnya, menggubah segala macam bentuk teknologi dengan berbasis pada energi listrik. Dengan menggunakan energi ini, sejumlah peralatan, kendaraan, dan mesin-mesin dapat dioperasionalkan secara mudah tanpa harus harus menyediakan alat konversi energi ketika akan digunakan. Oleh sebab itu, di masa depan, energi listrik diskenariokan akan melonjak pesat hingga menguasai sekitar 53 persen bentuk energi yang akan dikonsumsi oleh seluruh masyarakat dunia. Besaran ini setara dengan 183 exajoules atau sebesar 4,37 miliar TOE (ton oil equivalen).
Energi listrik
Tentu saja, sejalan dengan komitmen NZE 2050, dominasi energi listrik itu juga akan disuplai sumber energi listrik yang ramah lingkungan. Pembangkitan energi di seluruh dunia yang saat ini mayoritas berasal dari energi fosil akan bergeser menggunakan teknologi pembangkitan yang lebih minim emisi karbon.
Pada tahun 2022 lalu, pembangkit energi listrik secara global sebagian besar hingga 45 persen bersumber dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Selanjutnya, sekitar 23 persen disuplai dari pembangkit listrik tenaga gas (PLTG); lalu 17 persen dari pembangkit energi terbarukan; 12 persen dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN); dan 3 persen sisanya dari sumber energi minyak bumi.
Kalkulasi sumber pembangkitan energi tersebut menunjukkan bahwa sumber energi dari fosil sangat mendominasi penyediaan listrik hingga kisaran 70 persen. Sisanya disuplai energi terbarukan dan dari pembangkitan energi nuklir. Pada tahun 2050 mendatang, kontribusi sumber pembangkitan energi listrik akan berubah secara drastis dan lebih menekankan pada sumber energi ramah lingkungan. Diperkirakan 78 persen berasal dari pembangkit energi terbarukan; sekitar 3 persen dari hidrogen dan amonia, serta 17 persen dari PLTN.
Pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil susut tinggal tiga persen saja. Itu pun PLTU batubara dan PLTG yang tersisa sudah harus menggunakan teknologi penangkap karbon atau carbon capture, utilization and storage (CCUS). Tanpa teknologi pendukung energi bersih ini, pembangkit energi fosil dilarang untuk dioperasikan.
Pembangkit energi listrik dari sumber terbarukan akan didorong pada jenis-jenis pembangkitan yang minim emisi karbon. Sebagin besar, sekitar 29 persen, akan menggunakan solar PV atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS); 21 persen akan menggunakan pembangkit listrik tenaga bayu atau angin (PLTB); 8 persen berbasis pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA); dan 9 persen lainnya menggunakan pembangkit bionergi.
Untuk kian mengoptimalkan kinerja pembangkit listrik dari sumber terbarukan itu, Organisasi Energi Dunia (IEA) juga merencanakan untuk terus meningkatkan pengunaan PLTN. Dengan kolaborasi energi baru terbarukan (EBT) ini, target untuk meraih karbon netral dunia pada tahun 2050 dapat tercapai.
Pemilihan penggunaan jenis pembangkit energi listrik dalam upaya NZE 2050 sangat penting untuk mengakselerasi reduksi emisi karbon. Pemilihan jenis energi ini sangat krusial, karena tidak semua pembangkit energi yang ramah lingkungan memiliki kemampuan mereduksi emisi karbon secara maksimal.
Menurut World Nuclear Association, sumber energi fosil dari batubara merupakan penyumbang emisi CO2 terbesar di antara seluruh pembangkit energi listrik. Setiap KWh listrik dari pembangkit batubara menghasilkan sekitar 820 gram CO2. Angka emisi CO2 ini berpuluh-puluh kali lipatnya dari emisi CO2 yang dihasilkan oleh pembangkitan EBT, seperti solar PV, geotermal, PLTA, PLTN, dan PLTB.
Pembangkit listrik dari sumber EBT memiliki dampak emisi karbon yang beragam bagi lingkungan. Sementara solar PV atau PLTS menghasilkan emisi karbon sekitar 48 gram CO2 per kilowatt hour (kWh) listrik yang dihasilkan PLTS bersangkutan. Adapun PLTS yang di pasang di atap rumah tingkat emisi karbonnya kian mengecil menjadi sekitar 41 gram CO2 per kWh listrik. Pembangkit listrik panas bumi (geotermal) menghasilkan emisi karbon per kWh listrik sekitar 27 gram CO2. Untuk PLTA angka emisinya kian kecil lagi menjadi sekitar 24 gram CO2 per kWh. Selajutnya, paling kecil tingkat emisi karbonnya di antara pembangkit energi listrik dari EBT itu adalah PLTN dan PLTB. Kedua jenis pembangkit listrik ini memiliki tingkat emisi karbon sekitar 11-12 gram CO2 per kWh listrik.
Berdasarkan efek emisi karbon tersebut, masing-masing pemangku kepentingan mulai dari level pemerintah, swasta, hingga masyarakat dapat berperan aktif dalam upaya mereduksi emisi karbon di lingkup wilayah negaranya masing-masing. Dalam skala besar, pemerintah dan swasta dapat bekerja sama menyediakan sumber pembangkitan energi yang andal dan ramah lingkungan. Masyarakat pun dapat berkontribusi dengan turut serta mengoptimalkan sumber energi di lingkungan sekitarnya. Mulai dari memasang PLTS atap hingga memanfaatkan bioenergi yang potensial dikembangkan di daerahnya.
Dengan kolaborasi tersebut, akan tercipta akselerasi mereduksi emisi karbon di level daerah ataupun nasional. Keberhasilan ini akan menopang rencana besar dunia untuk bersama-sama mencapai karbon netral tahun 2050 mendatang. Oleh sebab itu, perlu kerja sama banyak pihak lintas intitusi dan lintas negara agar rencana besar mereduksi emisi karbon untuk memitigasi ancaman anomali iklim dunia dapat tercapai. Perlu dukungan banyak pihak karena transisi menuju energi baru terbarukan membutuhakn banyak alokasi modal, aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebijakan pemerintah yang memudahkan peran swasta dan investor dalam mendukung langkah progresif pro-lingkungan ini. (LITBANG KOMPAS)