Beribadah dan beragama merupakan keseharian hidup yang melekat dalam diri orang Indonesia. Dibandingkan penduduk lain di sejumlah negara di Asia dan Asia Tenggara, orang Indonesia paling sering bersembahyang.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·4 menit baca
Pada bulan September 2023, Pew Research merilis hasil survei yang mereka lakukan terhadap enam negara di wilayah Asia dan Asia Tenggara. Kamboja, Sri Lanka, dan Thailand dipilih dengan pertimbangan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Buddha. Berikutnya, Indonesia dan Malaysia dipilih karena merupakan dua negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Terakhir, Singapura pun menjadi wilayah yang disurvei sebagai representasi negara yang cenderung lebih beragam secara agama. Lembaga survei asal Amerika Serikat ini melakukan pengumpulan respons pada pertengahan tahun 2022.
Hasilnya, responden di keenam negara ini menunjukkan kecondongan untuk percaya kepada Tuhan maupun makhluk-makhluk yang tak kasat mata. Indonesia menjadi negara teratas yang seluruh respondennya atau 100 persen mengaku percaya kepada Tuhan. Dalam poin yang sama posisi Indonesia diikuti oleh Malaysia, yakni sebesar 99 persen.
Sementara posisi terbawah dari enam negara dalam soal kepercayaan kepada Tuhan adalah Kamboja. Namun, meski berada di posisi terakhir, terdapat 78 persen responden yang berasal dari Kamboja yang percaya kepada Tuhan atau pun makhluk tak kasat mata (unseen beings). Dalam konteks negara mayoritas Buddha, Pew Research mengganti kata God atau Tuhan dengan unseen beings tersebut.
Dengan kata lain, keenam negara ini menunjukkan konsistensinya di satu sisi sebagai negara-negara yang memiliki basis penduduk pemeluk agama besar. Di sisi lain, kepercayaannya terhadap Tuhan terbilang tinggi. Artinya, ada korelasi positif antara memeluk agama dan kepercayaan kepada Tuhan.
Secara khusus menjadi menarik ketika melanjutkan melihat data ini dalam poin kebiasaan berdoa setiap hari. Dari enam negara ini, Indonesia menjadi negara dengan persentase responden tertinggi yang mengaku berdoa setiap hari (pray daily). Sebanyak 95 persen responden Indonesia mengaku berdoa setiap hari.
Posisi orang Indonesia dalam soal kebiasaan berdoa setiap hari diikuti oleh Malaysia dengan persentase 82 persen. Sementara itu, responden di Kamboja yang tampak paling jarang berdoa secara rutin tiap harinya. Hanya sekitar 23 persen responden dari Kamboja yang mengaku berdoa setiap hari.
Selain kebiasaan berdoa setiap hari, responden dari Indonesia juga menunjukkan diri sebagai kelompok yang paling mempertimbangkan agama sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupan.
Sebanyak 98 persen responden dari Indonesia memandang agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Setelah Indonesia, Sri Lanka menjadi negara yang respondennya sepakat dengan hal ini, yakni 92 persen.
Sementara itu, Singapura menjadi negara dengan responden yang paling sedikit angkanya mengamini bahwa agama adalah hal yang penting. Hanya sekitar 36 persen saja responden asal Singapura yang menyatakan agama sangat penting dalam kehidupan mereka.
Fenomena kuatnya praktik beragama orang Indonesia yang tergambar dari data di atas dalam soal kepercayaan terhadap Tuhan, beribadah setiap hari, hingga memandang agama sebagai bagian sangat penting dalam kehidupan tidak dapat dilepaskan dari cara pandang tradisi sejarah spiritualitas ke-Timuran, selain juga bahwa sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa.
Dalam tradisi kebudayaan Jawa, misalnya, diyakini bahwa ada siklus kehidupan yang meyakini hidup tidak hanya ada di alam sekarang ini. Ada tiga “dunia” yang dipercaya, yakni alam purwa, madya, dan wusono.
Yang pertama (purwa) adalah sebelum manusia dilahirkan di muka bumi. Sementara alam madya adalah segala pengalaman hidup manusia di bumi. Terakhir, alam wusana merupakan kehidupan berikutnya setelah manusia mati dari dunia yang sekarang.
Tak hanya masyarakat Jawa, namun siklus hidup ini tampak menjadi basis umum falsafah hidup Timur. Dengan begitu, menjadi tidak mengherankan laku-laku spiritual, termasuk di dalamnya praktik keagamaan, menjadi hal yang melekat dalam kehidupan masyarakat di Timur, termasuk Indonesia. Sebab, kehidupan setelah manusia mati dari dunia menjadi hal yang ditekankan dalam ibadah dan ritual keagamaan.
Hal ini terlihat berbeda dengan sebagian tradisi filsafat Barat yang “hanya” membicarakan dunia yang dihidupi manusia saat ini. Menjadi tidak mengherankan apabila penekanan-penekanan makna hidup lebih bertumpu pada soal-soal yang materialistik. Bahkan terdapat pandangan Barat yang menilai agama merupakan bentuk eskapis dari kegetiran dan kepahitan hidup.
Dapat dilihat Karl Marx, misalnya, yang terkenal dengan ungkapan agama adalah the opium of the people atau sering diterjemahkan agama adalah candu masyarakat. Dalam pandangan ini, agama membuat kelas pekerja merasa lebih baik dalam situasi penindasan. Dengan adanya agama, mereka yang tertindas mendapatkan penghilang rasa sakit akibat penindasan dalam ketidakmampuannya membeli “opium”.
Jika pandangan Marx ini cenderung bernada kritis dan sinis terhadap agama, terdapat pandangan yang bernada lebih positif dalam melihat agama yang memuat ritual di dalamnya. Pada tahun 1912, Emile Durkheim menulis The Elementary Forms of Religious Life. Salah satu konsep yang ditawarkan oleh Durkheim adalah Collective Effervescence.
Terjemahan yang mendekati konsep ini adalah buih-buih kolektif atau pun “kegembiraan” kolektif. Tatkala sebuah ritual, baik itu agama maupun tradisi, secara kolektif dilakukan, maka terjadi luapan-luapan emosi dan spiritual yang hadir di sana. Sebab, ritual memungkinan manusia untuk keluar dari rutinitas harian, termasuk pekerjaan-pekerjaan kasarnya. Titik puncak dari ritual ini, yakni adanya keterikatan kuat secara kolektif dalam kelompok tersebut.
Melanjutkan sejumlah perspektif maupun konsep di atas, tanpa justifikasi mana yang benar dan salah, menjadi penting untuk melihat kembali makna agama secara etimologis yang artinya adalah tidak kacau maupun keteraturan.
Dalam arti tertentu agama merupakan sarana atau jalan untuk mencapai situasi hidup yang tidak kacau dalam kehidupan bersama termasuk hidup bernegara.
Dengan demikian, tingginya semangat masyarakat untuk melakukan ritual agamanya termasuk beribadah setiap hari dapat diteruskan dengan pertanyaan lanjutan, sudahkah kehidupan Indonesia dewasa ini terbebas dari kekacauan?
Sudahkah praktik kuat beragama masyarakat Indonesia berjalan selaras dengan keteraturan dan keharmonisan hidup bersama? Pertanyaan ini tampaknya menjadi sangat relevan untuk menjadi refleksi terus menerus. (LITBANG KOMPAS)