Ketahanan Pangan Belum Tuntas, Anggaran Kian Terbatas
Kompleksnya tantangan mewujudkan ketahanan pangan menuntut dukungan anggaran yang sepadan guna merealisasikan berbagai program penyediaan pangan nasional.
Kian kompleksnya tantangan mewujudkan ketahanan pangan menuntut upaya ekstra untuk mengatasinya. Salah satunya ialah dukungan anggaran guna merealisasikan berbagai program ketahanan pangan. Pada saat bersamaan, anggaran yang dialokasikan untuk upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional masih sangat minim.
Anomali iklim yang akhir-akhir ini terjadi menambah panjang daftar rintangan dalam upaya pemenuhan pangan nasional. Kekeringan yang diperparah oleh fenomena El Nino berdampak besar pada produktivitas pangan.
Analisis Litbang Kompas pada 12-13 Oktober 2023 yang secara mendalam mengulas produksi padi menemukan, setiap kenaikan suhu udara 1 derajat celsius akan menurunkan produksi padi hingga 4.500 ton (Kompas, 12/10/2023). Analisis tersebut sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Dalam publikasi Berita Resmi Statistik edisi 16 Oktober 2023, BPS menyebutkan produksi padi pada 2023 diperkirakan 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka produksi tersebut turun 1,12 juta ton GKG atau 2,05 persen dibandingkan pada 2022 yang mencapai 54,75 juta ton GKG.
Bahan pangan lain, baik nabati maupun hewani, pun tak akan lepas dari ancaman penurunan produksi. Munculnya hama dan penyakit turut membuat produktivitas tanaman pangan terganggu. Hewani penghasil bahan pangan juga kian rentan penyakit. Masih lekat dalam ingatan, penyakit mulut dan kuku tahun lalu memorakporandakan peternakan ruminansia yang menjadi penopang pangan hewani di Indonesia.
Baca juga: Anggaran Rp 76,9 Triliun untuk Perkuat Ketahanan Pangan
Pada saat yang sama, alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian makin marak terjadi seiring kemajuan wilayah. Kemajuan tersebut mendorong tumbuhnya perumahan diikuti pembangunan fisik fasilitas penunjang, seperti pendidikan, kesehatan, dan hiburan.
Regenerasi insan pertanian juga nyaris mandek. Tak banyak generasi muda yang tertarik menggeluti bidang pertanian, terutama penghasil pangan. Minimnya kesejahteraan hingga kesempatan pekerjaan lain yang lebih bergengsi membuat kalangan milenial memilih meninggalkan pertanian.
Alternatif solusi
Kompleksitas tersebut membuat upaya mewujudkan ketahanan pangan kian pelik. Langkah-langkah ekstra harus ditempuh alih-alih hanya bertahan pada cara-cara lama. Menghadapi anomali iklim yang makin tidak mudah diperkirakan, inovasi bibit tanaman pangan unggul yang tahan cuaca ekstrem menjadi keniscayaan. Tak hanya padi, inovasi pada bahan pangan lain, seperti jagung dan umbi-umbian pun diperlukan.
Periode musim hujan dan kemarau yang kini berubah memerlukan pula sistem perairan yang mumpuni. Bendungan yang produktif dibutuhkan guna menampung air saat musim hujan datang, dilengkapi sistem irigasi yang optimal agar saat kemarau, pertanian tetap dapat berproduksi.
Baca juga: Minimnya Tampungan Air untuk Irigasi Pertanian
Kebutuhan sarana prasarana pemeliharaan pun meningkat mengingat serangan hama dan penyakit pada pertanian dan peternakan terus bermunculan. Stok pupuk untuk pertanian pangan dan obat-obatan untuk peternakan harus dijamin ketersediaannya.
Sementara itu, problem alih fungsi lahan mestinya dapat diantisipasi dengan penyediaan lahan kembali atau relokasi jika peralihan terpaksa dilakukan. Pembukaan lahan tidur juga bisa menjadi alternatif solusi. Pada saat yang sama, jaminan kesejahteraan bagi pekerja pertanian harus diwujudkan agar generasi penerus pertanian dapat dipertahankan.
Anggaran minim
Jika upaya-upaya tersebut ditempuh, setidaknya sektor pertanian dapat diselamatkan dan ketahanan pangan perlahan dapat diwujudkan. Meski demikian, tak dapat dimungkiri bahwa untuk mewujudkannya diperlukan anggaran yang relatif lebih besar. Kenyataannya, beberapa tahun terakhir anggaran untuk Kementerian Pertanian sebagai instansi yang bertanggung penyediaan pangan justru terus menurun.
Tahun ini, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pagu Kementan Rp 15,3 triliun. Bahkan, hanya dialokasikan sebesar Rp 14,6 triliun untuk tahun depan. Angka tersebut konsisten mengalami penurunan sejak 2021. Saat itu anggaran Kementan sebesar Rp 15,8 triliun.
Kendati relatif lebih tinggi, angka tersebut sebenarnya jauh di bawah anggaran yang seharusnya. Pagu awal tahun 2021 di atas Rp 21 triliun, begitu pula dengan tahun 2020. Namun, pandemi Covid-19 yang melanda membuat alokasi itu dipangkas dan dialihkan menjadi anggaran percepatan ekonomi nasional. Besaran penghematannya hampir sepertiga dari anggaran awalnya.
Meski demikian, sebelum pandemi, penurunan anggaran sudah terjadi pada tahun 2019 dengan hanya mendapat alokasi Rp 19,4 triliun. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, angkanya konsisten Rp 21 triliun. Bahkan, tahun 2015 anggaran untuk Kementan menembus angka Rp 28 triliun.
Besaran tersebut merujuk pada laporan keuangan pemerintah pusat. Artinya, anggaran yang dialokasikan 5-10 persen lebih besar mengingat realisasi anggaran kementerian biasanya di kisaran 90-95 persen.
Bukan hanya kian terbatas, keberpihakan anggaran pada instansi penopang pangan relatif minim dibandingkan dengan kementerian lain. Kementan hanya mendapat 1,5 persen dari total APBN 2023. Kendati masuk dalam jajaran kementerian dengan anggaran di atas 1 persen, posisi Kementan di paling akhir.
Baca juga: Konservasi Air Jaga Produksi Padi Nasional di Tengah Krisis Iklim
Kementerian yang mendapat alokasi terbesar adalah Kementerian Pertahanan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pengadaan di dua kementerian tersebut memang membutuhkan anggaran sangat besar. Sebagian anggaran pada Kementerian PUPR pun diperuntukkan bagi pengadaan sarana penunjang pertanian, seperti bendungan, embung, dan irigasi.
Namun, merujuk nota keuangan dan APBN 2023 yang disusun Kementerian Keuangan, target pengadaan dan rehabilitasi sarana pertanian untuk tahun ini dan tahun depan relatif lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya. Padahal, alokasi anggarannya lebih besar dan cenderung kian meningkat.
Pada saat yang sama, pemerintah menugaskan Bulog untuk mengimpor beras sebanyak dua juta ton. Jika diasumsikan harga beras impor setengah dari harga eceran di pasaran yang sekitar Rp 13.500 per kilogram, setidaknya anggaran yang dibutuhkan untuk impor beras sebesar Rp 13,5 triliun. Anggaran impor beras ini hampir setara dengan pagu anggaran Kementan tahun ini.
Keberpihakan anggaran
Di sinilah komitmen pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan dipertanyakan. Padahal, pangan merupakan kebutuhan pokok bagi semua penduduk yang harus dipenuhi setiap hari, tak pandang usia ataupun latar belakang.
Namun, anggarannya masih jauh di bawah kebutuhan dasar lain, yakni pendidikan dan kesehatan, bahkan Kementerian Sosial. Ketiganya mendapatkan alokasi anggaran Rp 60 triliun-Rp 80 triliun pada tahun yang sama. Dwi Putra Kurniawan, Ketua Serikat Petani Indonesia Wilayah Kalimantan Selatan, turut menyesalkan hal tersebut. ”Dalam postur APBN, alokasi untuk Kementan itu rendah, bahkan di bawah Kementerian Sosial. Inilah indikasi bahwa pemerintah tidak benar-benar serius,” katanya saat ditemuidi Banjarbaru, Minggu (1/10/2023).
Anggaran untuk subsidi pupuk yang merupakan kebutuhan tak terpisahkan dari pertanian kian menyusut. Pada 2019, pemerintah menganggarkan Rp 34,3 triliun untuk subsidi pupuk, tetapi tahun ini dialokasikan Rp 25,3 triliun. Di luar anggaran Kementan, pemerintah juga mengalokasikan anggaran khusus untuk ketahanan pangan. Berbeda dari pagu Kementan, alokasi khusus untuk ketahanan pangan konsisten naik sejak 2020. Tahun ini besarannya mencapai Rp 100,9 triliun dan dianggarkan lebih besar untuk tahun depan, yakni Rp 108,8 triliun.
Baca juga: Beragam Jenis Pangan Lokal Menjadi Solusi Defisit Beras Nasional
Alokasi tersebut masuk dalam kategori anggaran prioritas pembangunan yang difokuskan untuk bantuan benih atau bibit unggul serta upaya penanggulangan hama dan penyakit. Dana juga disiapkan untuk memberikan bantuan sarana dan prasarana produksi pertanian serta pengairan atau irigasi.
Kendati demikian, keterbatasan anggaran masih mengganjal upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Hal ini diakui Rahmanto, Direktur Irigasi Kementan, saat ditemui Kompas di kantornya, Selasa (26/9/2023). Ia mengatakan, banyak potensi air yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian, khususnya tanaman pangan. Namun, upaya penyediaannya terganjal oleh anggaran.
Keterbatasan anggaran diakui pula oleh Ismail Wahab, Direktur Serelia Kementan, saat ditemui Kompas, Rabu (4/10/2023). Upaya penyediaan bahan pangan sorgum, pengganti gandum, sebagai antisipasi dampak perang Rusia-Ukraina terpaksa belum dijalankan. ”Kami sudah merencanakan pengembangan 100.000 hektar sorgum, tetapi anggaran negara terbatas. Ada hal lain yang diprioritaskan,” ungkapnya.
Kendati disediakan alokasi khusus ketahanan pangan, besarannya tetap lebih rendah dibandingkan dengan prioritas pembangunan lainnya. Bidang pendidikan dan perlindungan sosial, misalnya, masing-masing mendapat alokasi Rp 612,2 triliun dan Rp 476 triliun pada tahun ini.
Melihat kompleksitas tersebut, keseriusan pemerintah terus dinantikan agar ketahanan pangan nasional benar-benar dapat diwujudkan. Pendanaan tak dapat dikesampingkan dalam upaya mewujudkannya. Fokus anggaran pada pengembangan pertanian dalam negeri akan lebih berkelanjutan alih-alih alokasi kian diperbesar untuk impor bahan pangan. (LITBANG KOMPAS)