Setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat celsius setahun akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di setiap provinsi di Indonesia.
Oleh
YOESEP BUDIANTO, BUDIAWAN SIDIK A
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga dasarian III September 2023, level El Nino di Indonesia berada di level moderat dengan nilai indeks 1,68. Level El Nino akan mencapai level kuat jika indeksnya mencapai nilai 2,0. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi kondisi kering ini bertahan hingga Februari 2024 dan melemah pada bulan-bulan berikutnya.
Kondisi El Nino saat ini bersamaan dengan puncak musim kemarau sehingga berpotensi memicu kekeringan areal tanam padi yang menyebabkan penurunan produktivitas. Pelaksana Tugas Menteri Pertanian yang juga Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo mengatakan, El Nino berdampak besar pada produksi padi sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan beras nasional.
”El Nino ada pengaruhnya (produksi beras). Daerah sentra produksi beras, seperti Lampung dan Jawa, semuanya berwarna hitam di peta BMKG yang berarti bercurah hujan rendah. Ada pula Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Ini semua pusat beras,” kata Arief pada wawancara daring bersama Litbang Kompas, Senin (2/10/2023).
Hal tersebut sejalan dengan temuan Litbang Kompas melalui pemodelan regresi data panel untuk melihat sejumlah variabel yang berpengaruh pada produksi padi di Indonesia. Regresi mengombinasikan data runtut waktu empat tahunan sepanjang 2002-2022 dan cross section di 34 provinsi.
Analisis ini menggunakan enam variabel yang memiliki pengaruh kuat terhadap produksi padi, yaitu luas lahan, tenaga kerja, pupuk, nilai tukar petani (NTP), curah hujan, dan suhu udara. Hasil analisis menemukan variabel terkait iklim, seperti suhu udara dan curah hujan, berdampak signifikan terhadap produksi padi. Bahkan, variabel iklim menjadi ancaman serius terhadap produksi tanaman pangan.
Hasil regresi data panel menunjukkan variabel suhu udara memiliki koefisien sebesar negatif 4,572829. Artinya, setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat celsius setahun akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di setiap provinsi di Indonesia.
Variabel iklim lainnya yang berdampak signifikan adalah curah hujan. Setiap curah hujan naik 1 milimeter per tahun, produksi padi di tiap-tiap provinsi di Indonesia bertambah sekitar 42 ton.
Petani gagal panen
Variabel iklim berupa suhu udara dan curah hujan terbukti berdampak signifikan terhadap produksi padi di Indonesia. Dari sisi curah hujan, ada dua pendekatan untuk melihat pola hujan secara nasional, yaitu variabilitas antartahun dan tren jangka panjang.
Variabilitas antartahun ini merujuk pada fenomena basah dan kering secara bergiliran. Untuk tren jangka panjang, diperkirakan terjadi penurunan curah hujan di masa depan.
”Ada kecenderungan pada tren jangka panjang bahwa di pertengahan abad nanti, curah hujan di Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan sekarang. Wilayah paling berisiko adalah sisi selatan garis khatulistiwa,” ujar Ardhasena Sopaheluwakan, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Rabu (27/9/2023).
Apabila tren curah hujan terus menurun, suhu rata-rata terpantau akan terus meningkat. Ardhasena menambahkan, fase El Nino diperparah dengan perubahan iklim saat ini.
Berdasarkan catatan Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA), wilayah Indonesia telah mengalami tujuh kali kondisi kering ekstrem akibat El Nino. Kekeringan ekstrem tercatat muncul pada 2016 yang menurunkan produksi padi Indonesia 11,47 persen. Dampak lanjutan dari El Nino juga dirasakan pada 2019. Akibat kondisi kering, produksi padi nasional turun hingga 7,76 persen.
Pada tahun ini, ancaman penurunan produksi padi akibat kekeringan terjadi pula di sejumlah daerah, seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kondisi lebih kering menyebabkan banyak sumber air hilang dan sistem irigasi tak berfungsi. Petani di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Hamsan (67) dan Misdiana (57), pasangan suami istri, mengalami gagal panen di lahan mereka seluas 1 hektar gara-gara kekeringan.
”Tanahnya pecah-pecah dan sangat kering. Dari bawah seperti tidak ada air, dari atas juga tidak turun hujan sama sekali. Kami bingung dan hanya bisa menangis melihat itu semua,” ucap Misdiana saat ditemui di rumahnya, Selasa (3/10/2023).
Hal serupa dialami Supiyah (55), petani di Desa Purwosari, Kabupaten Barito Kuala, Kalsel, yang gagal panen dua tahun terakhir. Kesulitan utamanya adalah jenis lahan berupa rawa pasang surut sehingga ketersediaan air fluktuatif.
Manajemen sumber daya
Faktor cuaca dan iklim berpengaruh signifikan terhadap produksi padi nasional. Implikasinya sangat besar, mulai dari kegagalan panen hingga sulitnya memenuhi ketersediaan pangan nasional. Akibatnya, dibutuhkan pengelolaan lahan melalui manajemen sumber daya air dan kesuburan tanah.
Kepala Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Lahan UGM Junun Sartohadi mengatakan, pengelolaan lahan sangat penting dimulai dari identifikasi tipe iklim lokal daerah. ”Yang pertama adalah iklimnya sesuai atau tidak. Yang kedua, airnya. Ada wilayah yang kelebihan air, ada yang kecukupan air, ada yang kekurangan air. Terakhir, pengelolaan tanahnya yang bisa diusahakan dengan pupuk,” ujarnya, Rabu (27/9/2023).
Selain itu, faktor yang perlu dipertimbangkan lagi ialah karakteristik lahan. Kepala Pusat Bioteknologi IPB Dwi Andreas Santoso menekankan pentingnya pemahaman tentang hal ini. ”Untuk klasifikasi kesesuaian lahan padi terkonsentrasi di Jawa. Selain karena material vulkanik dari gunung api, masyarakat Jawa juga memiliki budaya cocok tanam sejak dahulu,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Selain pemahaman terhadap iklim lokal, manajemen air, dan karakteristik lahan, pengelolaan lahan untuk pertanian yang berkelanjutan juga perlu memprioritaskan kualitas benih padi. Situasi iklim yang makin tidak menentu ke depan menuntut kemampuan adaptasi dan bertahan hidup tanaman padi. Maka, dibutuhkan varietas benih yang resistan terhadap anomali iklim. (LITBANG KOMPAS)