Setelah Biodiesel, Terbitlah Bioetanol
Upaya pemerintah menghadirkan ”green gasoline” perlu dikaji dengan saksama karena rantai pasok bioetanol berbeda jauh dengan komoditas biodiesel.
Bahan bakar nabati diandalkan untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan. Saat ini, biodiesel menjadi komoditas paling akseleratif. Keberhasilan ini akan ditindaklanjuti rencana peningkatan produksi biofuel lainnya untuk menghasilkan bioetanol.
Saat ini, pemerintah terus berupaya mereduksi emisi karbon di berbagai sektor kegiatan agar target jangka menengah pada 2030 dapat terealisasi. Salah satu sektor kegiatan yang kian masif mengimplementasikan upaya reduksi emisi karbon itu adalah bidang energi. Pemerintah terus berusaha meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) agar penggunaan energi fosil kian minim.
Dalam jangka pendek, yakni hingga tahun 2025, pemerintah menargetkan realisasi bauran EBT mencapai 23 persen. Artinya, suplai energi final di Indonesia pada 2025 sebesar 23 persennya bersumber dari EBT yang lebih ramah lingkungan. Sisanya, sekitar 77 persen lainnya dari energi fosil. Namun, hingga tahun 2023 ini, bauran EBT tersebut baru mencapai kisaran 12 persen atau masih kurang sekitar 11 persen dari target yang direncanakan.
Dalam kurang dari tiga tahun, tampaknya perlu upaya lebih serius lagi dari pemerintah untuk mewujudkan target itu. Pasalnya, selama ini tren realisasi bauran EBT rata-rata hanya bertambah kurang dari 2 persen setahun sehingga peluangnya kecil untuk meraih target bauran 23 persen pada 2025. Perlu ada upaya-upaya radikal yang harus dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait dalam merealisasikan bauran EBT itu.
Mengacu pada data Handbook of Energy Economic Statistics of Indonesia (HEESI) 2022, dari sekitar sembilan jenis EBT yang sudah dikembangkan di Indonesia, ternyata hanya satu jenis, yakni biofuel, yang mengalami peningkatan produksi secara signifikan. Pada tahun 2011, persentase suplai biofuel terhadap keseluruhan energi final di Indonesia hanya 0,19 persen. Angka ini terpaut cukup jauh dengan dua kontributor EBT terbesar, yakni pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang mencapai 2,32 persen dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 1,26 persen.
Sebelas tahun kemudian, kondisi tersebut berubah cukup drastis di mana biofuel meningkat pesat dan menyumbang bauran EBT terbesar di Indonesia. Pada 2022, bauran EBT dari biofuel mencapai 4,23 persen, sedangkan PLTA dan PLTP cenderung stagnan. Tenaga air (hydropower) hanya naik sedikit dengan kontribusi 3 persen dan energi geotermal tetap di bawah 2 persen.
Fenomena tersebut mengindikasikan bahan bakar nabati (BBN) yang bersumber dari biomassa kemungkinan besar akan menjadi EBT yang sangat diandalkan di Indonesia. Produksinya akan terus meningkat secara akseleratif, mengalahkan sumber EBT lainnya. Apalagi, komoditas biodiesel ini didukung oleh sejumlah faktor yang sangat mendukung pengembangan produksinya.
Baca Juga: Pasokan Bioetanol yang Berkelanjutan Jadi Tantangan
Faktor pertama ialah banyaknya bahan baku nabati untuk memproduksi asam lemak ester metil atau etil sebagai produk biodiesel. Bahan baku itu di antaranya berasal dari minyak kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kacang suuk, kapuk atau randu, kelor, nimbas, randu alas, dan kesambi. Apalagi, Indonesia sebagai salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia membuat penyediaan bahan baku untuk biodiesel relatif sangat mudah.
Kedua, adanya sejumlah regulasi dari pemerintah yang sifatnya mewajibkan penggunaan biodiesel. Regulasi tersebut terdiri atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain. Lewat aturan ini, pada 2009-2014, pemerintah melakukan mandatory secara bertahap mulai dari B2-B7,5 hingga B10.
Selanjutnya, muncul kembali Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Perubahan regulasi ini mendorong peningkatan kadar biodiesel dalam campuran bahan bakar minyak (BBM) solar, yakni B15 pada 2015 dan B20 pada 2016-2019. Mulai Januari 2020, mandatory biodiesel ditingkatkan lagi sebagai bahan bakar campuran diesel sebesar 30 persen atau B30.
Implementasi mandatory yang terus meningkat tersebut menyebabkan produksi biodiesel terus bertambah pesat setiap saat. Pada 2011-2022, produksi biodiesel rata-rata meningkat sekitar 960.000 kiloliter setahun sehingga pada 2022 output-nya mencapai 11,84 juta kiloliter. Nominal ini lebih dari enam kali lipatnya tahun 2011, yang kala itu produksi biodiesel nasional baru berkisar 1,8 juta kiloliter.
Biodiesel dan bioetanol
Peningkatan produksi biodiesel tersebut menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan ketahanan energi nasional. Pemerintah secara bertahap dapat mengurangi impor produk BBM jenis solar. Berdasarkan data HEESI 2022, konsumsi energi final yang menggunakan bahan bakar minyak seperti bensin, solar, biodiesel, elpiji, dan sejenisnya mencapai kisaran 48 persen. Artinya, produk turunan minyak bumi itu sangat mendominasi pasokan kebutuhan energi secara nasional. Dengan adanya komoditas biodiesel, impor BBM jenis solar dapat dikurangi dan produksi BBN yang dicampur biodiesel dapat ditingkatkan.
Dapat dibayangkan, apabila komoditas BBM jenis bensin juga ditingkatkan kandungan unsur nabatinya, peluang untuk meningkatkan ketahanan energi akan semakin besar. Apalagi, saat ini konsumsi BBM jenis bensin persentasenya sedikit lebih besar daripada BBM jenis solar. Oleh sebab itu, rencana PT Pertamina (Persero) yang akan menjual produk pertamax green 92 yang merupakan campuran pertalite (RON 90) dan etanol 7 persen (E7) perlu disikapi secara positif.
Selain bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang mayoritas dari impor, produk ini juga berupaya menekan emisi karbon yang dihasilkan dari proses pembuangan kendaraan. Produk pertamax green 92 menurut rencana akan menggantikan pertalite yang saat ini ada di pasaran.
Meskipun secara konsep rencana tersebut relatif sangat baik, ada baiknya pemerintah dan PT Pertamina harus terus melakukan sejumlah kajian dengan menggandeng sejumlah pihak mengenai usulan produk BBM itu. Kajian itu mulai dari riset tentang keandalan mesin kendaraan yang mengonsumsi pertamax green, pengujian tingkat efisiensi gas buang yang minim emisi karbon, hingga rantai pasok dalam memproduksi bioetanol.
Baca Juga: Gantikan Pertalite, Pertamina Ingin Impor Etanol untuk Campuran Pertamax
Kajian tersebut sangatlah penting, khususnya terkait rantai pasok produksi bioetanol yang kondisinya sangat jauh berbeda dengan produksi biodiesel. Secara teori, bioetanol merupakan bahan kimia cair dari hasil fermentasi karbohidrat (pati) dengan bantuan mikroorganisme. Bahan baku yang dapat digunakan untuk menghasilkan senyawa etanol atau ethyl alcohol di antaranya jagung, ubi kayu, umbi-umbian, tebu, aren, sorgum, kulit cokelat, kopi, dan sejumlah komoditas lainnya yang mengandung karbohidrat atau gula.
Dari bahan bakunya, ada indikasi bahwa biaya produksi bioetanol relatif sangat mahal. Pasalnya, hampir sebagian besar komoditas pangan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia. Apalagi, saat ini Indonesia belum mampu swasembada pada sejumlah komoditas yang menjadi sumber bahan baku bioetanol itu. Berbeda halnya dengan bahan baku biodiesel, produksi kelapa sawit di Indonesia sangat berlimpah.
Jadi, terkait rantai pasok produksi bioetanol tersebut masih menjadi persoalan krusial ketika Indonesia berencana ingin menjual pertamax green di pasaran. Dengan ketergantungan impor bahan baku minyak bumi beserta produk turunannya yang semakin tinggi, rencana pencampuran bioetanol pada BBM bensin akan berpotensi mendorong biaya produksi menjadi semakin mahal. Apabila diterapkan pada jenis BBM nonsubsidi, tidak akan menimbulkan permasalahan serius di sisi keuangan PT Pertamina dan juga anggaran subsidi negara. Namun, sebaliknya, jika diimplementasikan untuk mengganti produk pertalite yang mendapat subsidi negara, pihak korporasi BUMN dan pemerintah harus mengalkulasinya dengan saksama.
Jangan sampai pemerintah menanggung beban biaya yang sangat besar dari produksi bioetanol yang bahan baku komoditasnya saat ini masih terfokus untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Pemerintah perlu belajar banyak hal mulai dari hulu hingga hilirnya setidaknya pada Amerika Serikat dan Brasil. Kedua negara ini merupakan produsen bioetanol terbesar di dunia karena berlimpahnya produksi jagung di AS dan tebu di Brasil.
Meskipun demikian, rencana PT Pertamina menghadirkan green gasoline itu patut diapresiasi. Selain bertujuan memperkuat ketahanan energi nasional, rencana tersebut juga dapat sebagai lecutan untuk meningkatkan produksi pangan nasional yang bernilai strategis dan ekonomi tinggi. Apabila rencana itu jadi diterapkan, pemerintah harus memastikan para petani mendapat keuntungan dari rantai pasok produksi bioetanol di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)