Eksploitasi Pertambangan dan Ancaman Akhir Hayat Pulau-pulau Kecil
Eksploitasi alam di pulau kecil dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan, mengingat kerentanan ekologis yang tinggi dengan daya pulih yang rendah.
Eksploitasi pertambangan berisiko tinggi mendegradasi ekosistem wilayah, terutama di pulau-pulau kecil. Tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, kegiatan pertambangan juga memicu kerawanan sosial yang berpotensi memicu konflik antarmasyarakat.
Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada tahun 2022, ditemukan setidaknya ada 164 izin tambang di 55 pulau kecil di seluruh Indonesia. Sejumlah pulau kecil itu sekarang mengalami kerusakan akibat eksploitasi tambang. Pulau kecil itu misalnya Pulau Obi, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli di Maluku Utara; Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara; Pulau Sangihe di Sulawesi Utara; Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan; serta Pulau Bunyu di Kalimantan Utara.
Eksploitasi alam di pulau kecil dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan, mengingat kerentanan ekologis yang tinggi dengan daya pulih yang rendah. Artinya, begitu ada kerusakan di salah satu bagian pulau, dampaknya akan meluas secara cepat di seluruh pulau dan sulit dipulihkan. Sistem ekologi pulau kecil yang sangat spesifik dengan keberagaman spesies endemik membuat pemulihannya sangat sulit.
Salah satu kasus pelik kerusakan pulau kecil terjadi di Pulau Obi di Halmahera Utara yang, antara lain, dipicu pertambangan nikel. Industri nikel telah merusak aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat setempat. Hal serupa terjadi di Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara yang menyebabkan kerusakan ekologis parah (Kompas, 31/7/2023).
Pulau yang luasnya hanya 715 kilometer persegi itu menanggung dampak kerusakan lingkungan karena tambang nikel. Setiap tahun banjir bandang terjadi di pulau kecil ini. Padahal, sebelum adanya proyek tambang itu, bencana alam tidak pernah menghampiri.
Eksploitasi pulau kecil lainnya juga dialami Pulau Sangihe di Sulawesi Utara yang separuh lebih wilayahnya ditetapkan sebagai wilayah pertambangan emas. Total wilayah penguasaan tambang mencapai 42.000 hektar. Pulau Bunyu di Kalimantan Utara juga bernasib serupa di mana pulau ini ditambang untuk diambil sumber daya fosilnya, seperti minyak bumi, gas bumi, sekaligus batubara.
Baca juga: Flora dan Fauna Pulau Wawonii Terancam Tambang Nikel
Praktik eksploitasi pulau kecil untuk tambang tersebut jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan. Apalagi, saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah aturan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil. Aturan yang dimaksud adalah UU No 1 Tahun 2014 perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Pasal 23 Ayat 2 dalam UU itu dengan tegas menyebutkan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara. Tidak ada sama sekali klausul tentang kegiatan tambang di pulau-pulau kecil.
Larangan untuk semua bentuk penambangan juga disebutkan di Pasal 35, yaitu penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral. Pelanggaran hukum di aturan tersebut akan dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun. Nominal denda yang dikenakan Rp 2 miliar-Rp 10 miliar.
Kerusakan ruang hidup
Aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil menyebabkan muncul bencana ekologis bagi masyarakat. Bencana ekologis itu meliputi kejadian bencana ekstrem; pencemaran air, tanah, dan laut; kerusakan hutan dan sulitnya akses pangan; serta hilangnya ruang hidup masyarakat.
Pengerukan lahan karena aktivitas tambang juga dapat merusak ekosistem yang telah terbangun selama jutaan tahun. Alhasil, keseimbangan lingkungan terganggu sehingga memicu bencana banjir bandang dan tanah longsor di wilayah-wilayah yang sebelumnya nihil bencana.
Permukaan lahan yang telah gundul mengurangi infiltrasi air hujan dan meningkatkan laju aliran permukaan. Sementara itu, penumpukan material galian dan kayu-kayu akan terbawa oleh aliran air permukaan. Kestabilan lereng perbukitan pulau-pulau kecil juga rusak karena pengerukan yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan keseimbangan topografinya.
Baca juga: Kawasan Biodiversitas Utama Terancam Aktivitas Tambang
Selain itu, juga terjadi pencemaran air, tanah, dan laut karena limbah hasil pengolahan komoditas tambang. Salah satu contohnya adalah sumber air bersih di Pulau Wawonii yang tercemar lumpur sehingga warga kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kasus lain terjadi di Pulau Bangka karena tambang timah yang merusak ekosistem pesisir dan mangrove.
Tak hanya secara ekologi, aktivitas tambang di pulau kecil juga rawan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal. Banyak komoditas pangan yang akhirnya hilang, seperti sagu dan kopra. Jatam menemukan hilangnya komoditas sagu dan kopra di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara, akibat pertambangan nikel. Alih fungsi lahan mendorong keruntuhan ekosistem pangan sehingga masyarakat juga kesulitan mencari pangan di hutan atau ladang karena telah beralih fungsi ke tambang.
Dampak lain pertambangan di pulau-pulau kecil ialah berkurangnya wilayah desa dan lokasi mata pencarian masyarakat. Kerusakan lingkungan di laut menyebabkan kerugian besar bagi nelayan yang kian sulit mendapatkan tangkapan ikan. Hal serupa dialami petani yang harus menelan pil pahit akibat gagal panen karena minimnya akses air yang memadai bagi areal budidaya taninya. Air sungai yang tercemar buangan limbah juga menjadi racun yang mematikan tanaman.
Perlindungan pulau kecil
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam dan sosial yang sangat tinggi. Peran pulau-pulau kecil sangat strategis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Hanya saja, eksploitasi lahan karena pertambangan telah merusak ekosistem kepulauan yang telah menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup setempat.
Kerusakan pulau-pulau kecil akan menyebabkan kehilangan besar bagi biodiversitas di negara ini. Banyak spesies endemik yang hanya ditemukan di pulau-pulau kecil. Kondisi ini kian diperparah dengan rentannya wilayah kepulauan terdampak krisis iklim sehingga kerusakannya menjadi sangat masif. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu mengingat kembali dan melakukan komitmennya dalam pengelolaan pulau kecil.
Sesuai dokumen United Nations Group of Experts on Geographical Names tahun 2019, jumlah pulau yang telah terverifikasi di Indonesia mencapai 16.671 pulau. Masih ada sekitar 838 pulau yang belum divalidasi, baik secara posisi geografis maupun asal-usul dan penamaannya (toponimi).
Baca juga: Masyarakat Kepri Khawatir Dampak Lingkungan Tambang Pasir Laut
Dalam lingkup internasional, Indonesia telah menyatakan komitmen untuk bersama menjaga lingkungan dan ekosistem maritimnya. Komitmen pertama secara internasional yang diambil Indonesia adalah saat Deklarasi Stockholm tahun 1972. Deklarasi tersebut berisikan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup di masa depan melalui penerapan hukum lingkungan internasional.
Komitmen berikutnya berlangsung saat Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992. Ada 27 asas dalam deklarasi yang berorientasi pada pengelolaan lingkungan darat dan laut secara berkelanjutan. Tahun 2022 komitmen Indonesia terhadap lingkungan diperkuat melalui Deklarasi Johannesburg.
Regulasi di dalam negeri sebenarnya telah mengatur upaya perlindungan pulau-pulau kecil. Dimulai dari UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Terkait ruang hidup layak bagi masyarakat di pulau kecil, ada perlindungan melalui UU No 39 Tahun 1999 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Perlindungan lingkungan hidup juga diatur melalui UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian didetailkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil melalui UU No 27 Tahun 2007 yang mengalami perubahan di UU No 1 Tahun 2014. Pemanfaatan pulau-pulau kecil juga diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008.
Semua aturan yang berkaitan dengan pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan tegas mengatur pada fungsi konservasi, pendidikan, penelitian, dan pariwisata. Karena itu, fokus mengembalikan pada fungsi-fungsi tersebut harus dilakukan pemerintah untuk mencegah makin menurunnya kualitas lingkungan di pulau-pulau kecil. Sebagai bangsa yang memiliki identitas kemaritiman, komitmen untuk menjaga lingkungan dan ekosistem maritimnya, termasuk di pulau-pulau kecil, perlu lebih ditingkatkan pemerintah dan seluruh elemen bangsa secara bersama-sama. (LITBANG KOMPAS)