Survei Litbang ”Kompas” merekam, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar akan lebih banyak bertumpu pada mesin politik PKB dalam mendulang simpati dan dukungan pemilih NU.
Oleh
YOHAN WAHYU
·6 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (tengah) berfoto bersama dengan bakal calon presiden Anies Baswedan dan bakal calon wakil presiden Muhaimin Iskandar seusai memberikan pidato Deklarasi Capres dan Cawapres 2024 oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan di Hotel Majapahit, Surabaya, Jatim, Sabtu (2/9/2023).
Pilihan bakal calon presiden Anies Rasyid Baswedan kepada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Muhaimin Iskandar untuk menjadi bakal calon wakil presiden yang mendampinginya disinyalir tidak lepas dari upaya untuk mendapatkan limpahan elektoral dari pemilih Nahdlatul Ulama. Sejauh mana pasangan ini mampu meraup dukungan dari nahdliyin?
Deklarasi pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden, Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, di Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu, 2 September 2023, menjadi eskalasi dari dinamika politik yang cukup menghangat di internal Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebab, keputusan terbentuknya koalisi Partai Nasdem dan PKB yang kemudian melahirkan pasangan Anies-Muhaimin ini tidak membuat semua partai politik di KPP mengamininya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan tetap mendukung pasangan ini dengan bergabungnya PKB di koalisi. Sementara Partai Demokrat menyatakan mencabut dukungannya kepada Anies Baswedan dan keluar dari KPP.
Terlepas dari apa yang terjadi di panggung belakang lahirnya pasangan Anies-Muhaimin ini, keputusan memilih Muhaimin sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan sebenarnya menjawab kebutuhan untuk menutup kelemahan elektoral Anies selama ini.
Hasil survei Litbang Kompas menangkap, sejauh ini tingkat keterpilihan Anies stagnan, bahkan cenderung semakin tertinggal dari dua sosok lainnya, yakni Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Jika dilihat dari peta elektoral pada survei Litbang Kompas periode Agustus 2023, potensi keterpilihan Anies yang paling dominan hanya ada di wilayah DKI Jakarta.
Di wilayah yang pernah dipimpinnya dengan menjadi gubernur ini, Anies menguasai sepertiga lebih elektoral dibandingkan dengan Ganjar dan Prabowo. Namun, jika dilihat dari total persebaran elektoralnya secara nasional, DKI Jakarta hanya menyumbang kurang dari 10 persen untuk Anies.
Hal ini tidak lepas dari wilayah DKI Jakarta memang bukan kantong pemilih terbanyak di wilayah Pulau Jawa yang menjadi basis pemilih di Indonesia.
Dari daftar pemilih tetap yang sudah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum, sebanyak 204.807.222 pemilih atau 56,3 persen di antaranya berada di Jawa. Sementara penopang terbanyak pemilih di Jawa adalah Jawa Barat (35,7 juta pemilih), Jawa Timur (31,4 pemilih), dan Jawa Tengah (28,3 juta pemilih).
Dari ketiga wilayah Jawa tersebut, kekuatan elektoral Anies masih di bawah Ganjar dan Prabowo. Di Jawa Barat, misalnya, terekam masih dikuasai oleh sosok Prabowo dengan 24,7 persen dukungan yang terbaca dari hasil survei Litbang Kompas periode Agustus 2023.
Kemudian, di Jawa Tengah lebih dikuasai Ganjar dengan mendulang dukungan mencapai 49,2 persen suara alias hampir separuh pemilih. Sementara hal yang sama juga tercatat di Jawa Timur, Ganjar mendulang 33,5 persen dukungan.
Dengan hanya kuat di wilayah DKI Jakarta yang secara proporsi pemilih di Jawa tidak begitu besar, tidak ada pilihan bagi Anies untuk mencari cara agar bisa mendongkrak tingkat keterpilihannya di tiga wilayah Jawa yang lain. Tujuannya jelas agar menjadi penyumbang terbesar proporsi pemilihnya di pulau ini.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Para kader Partai Keadilan Sejahtera mengangkat poster bakal calon presiden Anies Baswedan saat saat apel siaga dan senam di Lapangan Astaka, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Minggu (3/9/2023). Tidak ada gambar Muhaimin Iskandar dalam apel siaga itu meskipun telah dideklarasikan sebagai bakal calon wakil presiden pendamping Anies.
Jawa Timur boleh jadi lebih potensial dipilih karena secara politik dan sosial kultural relatif lebih terbuka pertarungannya dengan tiga sosok bakal capres yang ada sekarang. Di Jawa Barat, Anies relatif sudah mendapat sumbangan elektoral paling tinggi dari provinsi ini. Dari total pemilihnya, hampir seperlimanya disumbang dari Jawa Barat.
Sementara Jawa Tengah tentu akan lebih berat persaingannya karena menjadi basis utama dari Ganjar dan PDI-P. Pilihan kepada Jawa Timur lebih masuk akal karena belum sekuat personalisasinya dengan ketiga sosok yang ada, baik Anies, Ganjar, maupun Prabowo.
Pilihan terhadap sosok Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon presiden mendampingi Anies boleh jadi sebagai langkah untuk memperkuat personalisasi wilayah Jawa Timur dari kekuatan poros di KPP ini.
Bagaimanapun sosok Muhaimin Iskandar begitu melekat dan tidak bisa dilepaskan dari Nahdlatul Ulama. Gus Muhaimin, demikian panggilan akrabnya, dalam pidato deklarasi pasangan Anies-Muhaimin juga menyebutkan, ia adalah keturunan dari KH Bisri Syansuri, salah seorang pendiri NU. Kiai Bisri merupakan kakek buyut dari Muhaimin.
Muhaimin juga menjabat sebagai Ketua Umum PKB, partai politik yang dilahirkan dari keluarga besar nahdliyin. Bahkan, Gus Muhaimin tercatat sebagai ketua umum terlama saat ini yang memimpin PKB sekaligus termuda saat pertama kali menjadi ketua umum partai.
Dalam deklarasi pasangan Anies-Muhaimin, pekan lalu, itu juga dihadiri puluhan kiai, termasuk KH Muhammad Kholil Asad Syamsul Arifin (Situbondo). KH Muhammad Kholil Asad Syamsul Arifin merupakan putra dari KH Raden As’ad Syamsul Arifin, salah seorang wasilah (perantara) ketika Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari meminta restu kepada gurunya, KH Cholil Bangkalan, untuk mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Tak pelak, personalisasi Muhaimin pada NU di atas kertas sudah menjadi modal sosial pasangan Anies-Muhaimin untuk berkontestasi dalam Pemilihan Presiden 2024.
Lalu, bagaimana peluang elektoralnya? Survei Litbang Kompas periode Agustus 2023 merekam dari kelompok pemilih berlatar belakang Nahdlatul Ulama, orientasi pilihan politiknya juga tidak jauh berbeda secara proporsi dengan pilihan politik dari total responden secara umum di survei.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Wartawan menunggu jumpa pers berlatar poster Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam Pembukaan Rapat Pleno DPP PKB di Jakarta Pusat, Jumat (1/9/2023). Partai Nasdem dengan Partai Kebangkitan Bangsa resmi mengusung pasangan Anies Baswedan dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar di Pemilu 2024.
Pada kelompok responden secara umum, seperti yang sudah dipublikasikan Kompas pada 21 Agustus 2023, tingkat elektoral Anies berada di posisi ketiga dengan raihan dukungan mencapai 12,7 persen. Di atasnya, Ganjar memimpin dengan 24,9 persen dan Prabowo 24,0 persen.
Hal yang sama kita temukan pada kelompok responden berlatar belakang nahdliyin. Tingkat elektabilitas Anies di pemilih NU secara nasional mencapai 12,8 persen. Sementara Ganjar 25,6 persen dan Prabowo 25,0 persen.
Bagaimana dengan pemilih berlatar belakang NU di wilayah Jawa Timur? Hal yang sama juga terekam, Anies masih di posisi ketiga dengan 7,5 persen suara, di bawah Ganjar (37,1 persen) dan Prabowo (20,8 persen).
Artinya, dari ketiga kelompok pemilih, yakni pemilih secara umum nasional, pemilih berlatar belakang NU secara nasional, dan pemilih berlatar belakang NU di Jawa Timur, pamor Anies masih berada jauh di bawah Ganjar dan Prabowo.
Tentu pilihan terhadap Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon wakil presiden menjadi upaya untuk semakin memperlebar dukungan pemilih, terutama pemilih di basis-basis Nahdlatul Ulama, seperti halnya Jawa Timur.
Apalagi rekam jejak pemilu yang sudah dialami PKB membuktikan, mesin politik PKB relatif sukses mempertahankan posisi partai ini di lima besar partai politik nasional. Rekam jejak di pemilu ini ditandai juga dengan kesuksesan Muhaimin Iskandar yang dipercaya menjadi Ketua Umum PKB sampai empat periode hingga saat ini.
Hasil survei Litbang Kompas periode Agustus 2023 juga merekam bagaimana potensi elektoral PKB di mata pemilih nahdliyin yang cenderung mengalami peningkatan. Pada survei Januari 2022, potensi elektoral PKB di kalangan pemilih NU mencapai 8,5 persen. Angka ini mengalami peningkatan di survei Agustus 2023 ini dengan potensi elektoralnya yang mencapai 10,2 persen.
Tetap mengacu survei Litbang Kompas periode Agustus 2023, jika dibandingkan dengan elektabilitasnya di tingkat nasional yang mencapai 7,6 persen, angka 10,2 persen di kalangan pemilih NU secara nasional tersebut menunjukkan bahwa PKB memang lebih populer di kalangan basis pemilihnya, yaitu warga nahdliyin.
Apalagi jika kemudian dilihat di wilayah Jawa Timur, tingkat elektoral PKB di kalangan pemilih NU di provinsi ini mencapai 18,6 persen.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Para pendukung membawa poster saat Deklarasi Capres dan Cawapres 2024 oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu (2/9/2023). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menerima tawaran Partai Nasdem untuk memasangkan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden dengan Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon wakil presiden.
Potensi elektoral PKB dengan mesin politiknya ini tentu membuka peluang bagi pasangan Anies-Amin untuk mendulang dukungan meski langkah itu tetap tidak mudah.
Setelah deklarasi pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan, NU tidak terlibat dalam urusan Pilpres 2024. Tidak ada capres ataupun cawapres dari NU, begitu penegasan Gus Yahya.
Dalam lima bulan ke depan akan menjadi pertaruhan tak mudah bagi pasangan Anies- Muhaimin untuk merebut simpati dan dukungan warga NU, apalagi jika kemudian bakal capres lainnya, yakni Ganjar ataupun Prabowo, juga menggandeng sosok dari kalangan yang sama.
Namun, setidaknya jaringan dan kekuatan mesin politik PKB menjadi modal sosial sekaligus politik bagi pasangan Anies-Muhaimin mendulang elektoral di kontestasi 2024. (LITBANG KOMPAS)