Anak Berkonflik dengan Hukum, Berhak Mendapat Perlindungan dan Pembinaan
Negara harus menjamin perlindungan kepada anak secara menyeluruh tanpa batasan sekat. Anak yang berkonflik dengan hukum sekalipun berhak mendapatkan naungan ini.
Negara harus menjamin perlindungan kepada anak secara menyeluruh tanpa batasan sekat. Anak yang berkonflik dengan hukum sekalipun berhak mendapatkan naungan ini. Meskipun masih banyak kendala dalam mewujudkannya, seluruh hak pada anak yang menjadi narapidana dan tengah menjalani masa tahanan tetap harus terpenuhi.
Hal tersebut menjadi harapan bagi setidaknya 1.974 tahanan dan narapidana anak di Indonesia. Harapan demikian juga sangat diinginkan lebih luas lagi bagi 261.200 anak di dunia yang tengah ditahan dan menghadapi persoalan hukum.
Situasi mereka tidaklah mudah karena di usianya yang masih dini, mereka harus berhadapan dengan pidana hukum atas perbuatannya. Terlepas apa pun itu kasusnya, proses hukum yang harus dijalani cukup berat untuk ditanggung pada usia mereka. Apalagi, sejumlah kasus juga mendapat tekanan yang besar dari lembaga hukum dan juga masyarakat.
Di lingkup masyarakat dan juga keluarga, anak berkonflik dengan hukum tersebut sering kali menjadi sasaran perundungan dan stigmatisasi atas perbuatannya. Akibatnya, anak dikucilkan, dipaksa terputus dari akses pendidikan, dan juga kegiatan lainnya. Di level proses hukum, mereka juga sering mendapatkan kekerasan, penelantaran, serta pemutusan akses pendidikan dan sosial. Akhirnya, tidak sedikit yang mengeluhkan gangguan kesehatan mental dan fisik.
Padahal, di tingkat dunia, dalam Konvensi Hak-hak Anak 1989 sangat jelas dituliskan bahwa perlindungan dan pemberian hak anak diperuntukkan kepada seluruh anak di dunia tanpa diskriminasi. Bahkan, secara khusus, artikel 37 dengan jelas menjamin perlindungan dan hak anak berkonflik dengan hukum.
Baca juga: Lindungi Hak Anak, Pemerintah Beri Remisi kepada 1.091 Anak Binaan
Jaminan yang diberikan pertama adalah tidak ada anak-anak yang diperbolehkan mendapatkan perlakuan dan hukuman kejam atau tidak manusiawi. Anak-anak terlarang mendapat hukuman mati atau penjara seumur hidup tanpa pembebasan. Kedua, penangkapan atau penahanan anak harus sesuai dengan hukum dan hanya boleh digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat-singkatnya.
Selain itu, apabila anak-anak ditahan mereka harus diperlakukan manusiawi dan memperhatikan kebutuhan seusianya. Mereka yang ditahan juga harus dipisahkan dari tahanan orang dewasa dan berhak untuk tetap berhubungan dengan keluarganya. Anak-anak bersangkutan juga berhak mendapatkan bantuan hukum.
Di Indonesia, perlindungan anak termasuk anak berkonflik dengan hukum juga dengan gamblang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Begitulah bunyi dari Pasal 4 UU No 23/2002. Di situ, jelas disebutkan bahwa hak tersebut diperuntukkan bagi setiap anak tanpa terkecuali.
Keadilan restoratif
Untuk mewujudkan hal tersebut membutuhkan waktu yang panjang disertai pengusahaan berbagai peraturan pendukung lainnya. Langkah awal dibuka dengan disahkannya UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
UU tersebut secara khusus mengatur proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, baik itu pelaku, saksi, maupun korban dengan pendekatan keadilan restoratif. Salah satu wujudnya adalah melalui proses diversi. Diversi ini merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari dalam proses peradilan pidana ke luar proses peradilan.
Diversi itu diterapkan mulai dari tingkat penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan melalui musyawarah. Harapannya ada penyelesaian kasus selain pemenjaraan anak. Alternatifnya bisa berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi, penyerahan ke orang tua, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan, dan pelayanan masyarakat.
Baca juga: Narapidana Anak, Meraih Fitri dari Balik Jeruji Besi
Dalam UU tersebut juga secara khusus diatur tentang lembaga baru tempat penahanan dan proses peradilan anak. Pertama adalah lembaga penempatan anak sementara (LPAS), yakni lembaga khusus untuk menampung anak-anak dalam proses penahanan. Tujuannya, anak yang ditahan di tempat itu tetap mendapatkan pelayanan, perawatan, pendidikan, pendampingan meskipun ia berstatus tersangka. Setiap provinsi diwajibkan untuk membangun LPAS ini.
Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur penempatan anak ketika sudah usai menjalani masa pidana. Selama masa itu anak ditempatkan di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) untuk diberikan pembinaan di bidang pendidikan, kepribadian, dan kemandirian. Sama dengan LPAS, lembaga pembinaan anak itu juga wajib dibangun di setiap provinsi di Indonesia.
Dua lembaga itu, yakni LPAS dan LPAK, merupakan pembaruan dalam sistem penahanan dan pemidanaan anak di Indonesia yang mengarah pada pemenuhan hak-hak anak. Sebelum ada UU itu, anak berkonflik dengan hukum (ABH) ditahan dan dipidana tanpa dipisah dengan orang dewasa. Meskipun di rumah tahanan tetap berada di blok yang berbeda dengan orang dewasa, hal itu tetap memengaruhi psikologi anak.
Lapas dan rutan anak yang juga sudah ada sebelumnya nyatanya belum menjamin hak anak sepenuhnya. Oleh sebab itu, UU Sistem Peradilan Pidana Anak ini diharapkan membawa perubahan dalam sistem penahanan dan pemidanaan anak. Dibandingkan lapas dan rutan anak, LPAS dan LPKA lebih mengedepankan hak-hak anak untuk bermain, belajar, mendapat perlindungan, pembinaan, dan dijauhkan dari unsur penghukuman.
Saat ini LPKA menyelenggarakan pembinaan pendidikan yang juga mengangkat program Sekolah Mandiri Merdeka Belajar. Tercatat pada tahun 2020 terdapat 1.313 anak yang melanjutkan pendidikan formal di LPKA. Selain itu, ada 603 anak juga mengambil pendidikan nonformal yang disediakan LPKA. Pendidikan formal yang disediakan mulai dari SD hingga SMA. Adapun pendidikan nonformal yang dilayankan adalah program paket A sampai paket C.
Tantangan
Setelah lebih dari satu dekade diterapkan, UU Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan transformasi positif dalam peradilan anak. Hanya saja, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar benar-benar dapat menjamin perlindungan dan pemenuhan hak ABH.
Keberadaan LPAS dan LPKA yang diharapkan menjadi tempat yang sesuai bagi ABH nyatanya belum ada di setiap provinsi. Saat ini, baru ada 19 LPSA dan 33 LPKA di Indonesia.
Baca juga: 49 Anak Binaan di LPKA Jakarta Dapat Remisi Khusus Idul Fitri
Terbatasnya fasilitas tersebut membuat tahanan dan narapidana anak ditempatkan di rutan atau di lapas bersama tahanan dan narapidana dewasa. Menurut data Ditjen Pemasyarakatan, hingga Agustus 2023, sebanyak 459 anak ditempatkan di lapas dan 166 lainnya berada di rutan. Akibatnya, pemenuhan hak anak seperti bidang pendidikan belum sepenuhnya maksimal. Bahkan, beberapa ABH tidak mendapatkan akses pendidikan sejak dalam status tersangka atau saat berada dalam penahanan. Padahal, dalam UU jelas disebutkan bahwa ABH sejak dalam penahanan di LPSA berhak untuk mendapatkan akses pendidikan.
Menurut studi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tahun 2016 dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia tahun 2020, situasi tersebut menambah risiko ABH putus sekolah. Apalagi sebelum melewati proses hukum, banyak ABH yang sudah putus sekolah karena dikeluarkan dari institusi pendidikan. Belum lagi ditambah dengan stigma masyarakat dan teman-temannya sehingga tahanan dan narapidana anak sering kali enggan untuk melanjutkan pendidikannya.
Padahal, anak-anak yang berkonflik dengan hukum tersebut masih tetap seorang anak yang berhak untuk mendapatkan pendidikan dan menentukan masa depannya lebih baik. Terlepas dari tindakan yang telah diperbuat, ia tetap seorang anak yang masih dalam proses perkembangan baik secara psikis ataupun fisik sehingga butuh perlindungan dan pembinaan. Ia juga masih memiliki masa depan panjang yang seharusnya tidak terhenti saat ia ditahan atau dipidana karena suatu kasus pidana yang melibatkannya.
Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan anak sesuai dengan haknya setidaknya bisa memberikan bekal bagi masa depannya ketika mereka usai menjalani masa penahanan. Di sisi lain, masyarakat dan lingkungan pendidikan juga diharapkan mulai mengikis stigma buruk bagi ABH sehingga mereka mendapat kesempatan kedua untuk dapat berkembang dan meneruskan hidupnya. (LITBANG KOMPAS)