Bulan ini, 26 Agustus 2023, Wiji Thukul akan genap berusia 60 tahun. Namun, sejak 1998 hingga kini, tak ada kejelasan nasibnya. Satu yang pasti dalam 25 tahun ini, ia hilang.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga melintasi mural potret penyair dan aktivis HAM Wiji Thukul di Kawasan Kota Tua, Jakarta (25/7/2020). Mural Wiji Thukul karya pelukis Bagong Surono dibuat untuk mengapresiasi semangat perlawanan Wiji Thukul terhadap penindasan rezim Orde Baru.
”Suaraku tak bisa berhenti bergema. Di semesta raya suaraku membara. Walau kau terus saja coba membungkamnya. Namun suaraku tak akan bisa kau redam”. Demikianlah cuplikan lirik lagu ”Kebenaran akan Terus Hidup”ciptaan Fajar Merah. Ia menulis lagu ini salah satunya karena rindu dengan ayahnya, Wiji Thukul.
Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis yang keras menentang rezim Orde Baru, hingga kini ini masih berstatus hilang bersama 12 orang lain dalam daftar orang hilang. Kasus penculikan aktivis ini terjadi menjelang akhir pemerintahan Orde Baru tahun 1997-1998.
Sebagai seorang yang menyerukan kritik melalui puisi, Wiji Thukul sejatinya tidak lahir dalam kemewahan intelektual. Sebaliknya, kritik Wiji Thukul lahir dari rahim kesusahan dan kegetiran hidup sebagai bagian dari lapisan kelas sosial bawah. Ayahnya adalah seorang tukang becak. Kesulitan ekonomi meruntuhkan harapannya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Ia tak lulus sekolah menengah. Demi melanjutkan hidup, ia kemudian bekerja sebagai seorang buruh.
Dalam struktur ekonomi kapitalisme, buruh dipandang hanya memiliki daya tawar rendah atas tenaga yang dimiliki yang ditukar dengan upah. Buruh sekaligus menjadi lapisan terbawah dari stuktur ini. Pasalnya, ia bisa sewaktu-waktu diganti dengan yang lain saat tenaganya dipandang tak lagi cukup untuk menopang proses produksi.
PRASETYO EKO PRIHANANTO
Arsip foto Wiji Thukul, penyair dan wiraswastawan yang menempuh pendidikan SMA di Solo, Jawa Tengah (6/6/1994).
Kenyataan sosial
Menjadi tidak mengherankan apabila puisi-puisi Wiji Thukul tidak dikemas dalam kata-kata bergelimang keindahan. Sebaliknya, syair-syair yang ia tuliskan lebih banyak dibalut kata-kata lugas yang secara tegas menyuarakan perlawanan atas penindasan. Misalnya apa yang dia tulis dalam puisi ”Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu”, ”Apa gunanya punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli. Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu”.
Dalam kata-kata ini dapat dilihat bahwa kelas bawah yang mengalami kemiskinan getir lebih penting untuk mendapatkan penanganan yang nyata. Jika pemerintah, yang diisi tentunya oleh orang-orang terpelajar, tidak menunjukkan aksi nyata untuk menjawab problem kemiskinan, bagi Wiji Thukul tak ada faedahnya. Dengan kata lain, tingginya ilmu dan cakapnya bernarasi tak memiliki dampak apa pun apabila tidak digunakan untuk membongkar penindasan.
Kenyataan sosial yang pelik selalu menjadi poin utama yang muncul dalam puisi-puisi Wiji Thukul. Orde Baru memiliki perhatian besar terhadap pembangunan di Indonesia. Namun dalam proses itu, tak jarang rakyat kecil menjadi pihak yang terpaksa dikorbankan. Dalam puisi ”Bunga dan Tembok”, Wiji Thukul menggambarkan rakyat kecil selayaknya bunga, tapi yang tak dikehendaki tumbuh.
”Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh. Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah. Seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kaukehendaki adanya. Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi.” Dalam puisi ini yang ditunjuk sebagai ”kau” tidak lain adalah pemerintah kala itu dengan agenda pembangunannya.
KOMPAS/ EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek) mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan Presiden Soeharto mundur.
Kenyataan sosial lain yang direkam oleh Wiji Thukul adalah tindakan represif yang cenderung ditampilkan pemerintah Orde Baru ketika menghadapi kritik. Represi yang dilakukan pun tak jarang memanfaatkan kekuatan militer. Dalam puisi berjudul Puisi Sikap, Wiji menyuarakan kenyataan ini.
”Maumu mulutmu bicara terus, tapi tuli telingamu tak mau mendengar. Maumu aku ini jadi pendengar terus. Bisu. Kamu memang punya tank, tapi salah besar kamu, kalau karena itu lantas aku manut.” Sangat terang dalam puisi ini bagaimana represi terjadi. Meski begitu, Wiji menunjukkan prinsipnya bahwa ia tidak gentar. Ia menggambarkan tidak akan manut atau menurut meskipun berhadapan dengan tank.
Kemiskinan yang dialami Wiji Thukul bersama teman-temannya rakyat kecil, ia rasakan membuat kesejahteraan menjadi hal yang terlampau mustahil dirasakan. Dalam puisi berjudul Suti, Wiji menggambarkan peliknya situasi seorang buruh pabrik saat harus mengalami sakit keras.
”Suti tidak pergi kerja, pucat ia duduk dekat ambennya. Suti di rumah saja, tidak ke pabrik tidak ke mana-mana. Suti tidak ke rumah sakit, batuknya memburu, dahaknya berdarah. Tak ada biaya”.
KOMPAS/HARIADI SAPTONO
Keluarga Wiji Thukul, Sipon, dan anaknya, Fajar Merah, saat berusia 4 tahun.
Hilang
Dapat dibayangkan bagaimana pemerintahan Orde Baru yang cenderung represif dan anti terhadap kritik mendengar suara lantang Wiji Thukul dalam puisi-puisinya. Tentu merah dan panas telinga penguasa kala itu. Puncak dari geramnya rezim Orde Baru terhadap Wiji Thukul, tak terlepas dari peristiwa 27 Juli 1996 alias Kudatuli.
Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi salah satu yang dituding mendalangi peristiwa. Wiji Thukul yang juga merupakan anggota dari partai ini sekaligus masuk dalam daftar pencarian orang. Hal ini membuat Wiji Thukul terpaksa untuk berpindah-pindah selama beberapa waktu. Akhirnya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) mengumumkan Wiji Thukul masuk dalam daftar aktivis 1998 yang hilang.
Dalam laporannya, Kontras menuliskan hilangnya Wiji Thukul masuk dalam peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997—1998. Wiji dinyatakan hilang pada kisaran akhir 1998 atau awal 1999. Ia terakhir terlihat di Jakarta, yakni di Utan Kayu. Wiji Thukul masuk dalam daftar 13 orang korban yang masih hilang dan belum dikembalikan.
Peristiwa ini sudah berlalu sekitar 25 tahun dan rezim pemerintahan sudah berganti sebanyak lima kali. Akan tetapi, penyelesaian kasus ini masih berada dalam lorong gelap. Bahkan hingga meninggalnya Sipon, istri Wiji Thukul, pada awal tahun 2023, ia tak tahu bagaimana nasib suaminya. Dalam kasus pelanggaran HAM seperti ini, tak pelak peran pemerintah terus dinanti keseriusannya.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Anggota keluarga menangisi kepergian Dyah Sujirah, atau Sipon, istri dari aktivis dan penyair Wiji Thukul, di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (6/1/2023). Sipon meninggal dalam kondisi belum memperoleh kejelasan mengenai nasib suaminya yang menjadi korban penghilangan orang secara paksa.
Survei periodik Kompas Agustus 2023 merekam tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah paling tinggi dalam empat tahun terakhir, yakni 74,3 persen. Namun, bidang hukum dan ekonomi berada pada posisi di bawah angka kepuasan umum. Kepuasan bidang hukum sebesar 61,9 dan ekonomi 61,5 persen.
Persoalan ekonomi dan hukum tampak menjadi problem utama yang muncul dalam kasus Wiji Thukul. Ia berteriak-teriak mengkritik penguasa atas kemiskinan dan kesulitan hidup yang dialami. Lalu, hingga saat ini ia hilang akibat persoalan hukum yang tak tuntas. Dengan begitu, apa yang disuarakan oleh Wiji Thukul masih relevan untuk mengevaluasi lagi posisi pemerintah saat ini. Dalam periode pemerintahan yang akan segera berakhir, keadilan selayaknya diperjuangkan untuk semua lapisan, tak hanya segelintir.
Masih relevannya suara Wiji Thukul memotret fakta sosial membuktikan bahwa meskipun secara fisik dihilangkan, tetapi perjuangannya tetap berlanjut. Seperti namanya, Wiji Thukul atau biji yang tumbuh.
Sebagaimana Fajar Merah melanjutkan lagu melanjutkan perjuangan ayahnya, ”Karena kebenaran akan terus hidup, sekalipun kau lenyapkan. Kebenaran tak kan mati. Aku akan tetap ada dan berlipat ganda”. (LITBANG KOMPAS)