Jalan Panjang Menuju Indonesia Bebas Sampah
Indonesia kerap disorot sebagai salah satu negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia dan juga menjadi negara yang dinilai buruk penanganan sampahnya.
Timbulan sampah yang banyak dan pengurangan sampah yang kurang optimal menjadi tantangan berat untuk menuju Indonesia bebas sampah. Namun, bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan, melihat banyak negara telah lebih dahulu berhasil mengoptimalkan pengelolaan sampah di negaranya.
Persoalan sampah di Indonesia seakan-akan tidak pernah ada habisnya. Di tingkat dunia, Indonesia kerap disorot sebagai salah satu negara dengan penanganan sampah yang buruk. Data dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyebutkan Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Setiap tahunnya, ada 3,2 juta ton sampah plastik yang tidak terkelola. Parahnya, ada 1,29 juta ton dari sampah itu berakhir begitu saja di laut.
Sorotan lain juga ditujukan pada sampah-sampah yang berserakan di sejumlah sungai di Indonesia. Hal itu berkat aksi dari Pandawara Group yang berinisiatif membersihkan sampah di sejumlah sungai. Dari video-video aksi mereka yang diunggah di media sosial, memang tampak banyaknya sampah yang dibiarkan begitu saja menggenang di sungai dan pinggiran pantai.
Meskipun sudah sering mendapat perhatian dari tingkat dunia hingga masyarakat, atensi terhadap persoalan sampah biasanya hanya berlangsung temporer. Padahal, apabila tidak ditangani dengan maksimal, timbulan sampah yang diperkirakan akan semakin banyak ini akan terus memenuhi lingkungan dan menyebabkan penyakit.
Bertambahnya timbulan sampah memang tidak dapat dihindari. Hal ini wajar karena seiring dengan bertambahnya penduduk, meningkat pula jumlah sampah yang dihasilkan. Menurut data Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (Jaktranas) dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017, proyeksi timbulan sampah pada 2025 mencapai 70,8 juta ton. Jumlah tersebut meningkat 7,6 persen dari tahun 2017 dengan 65,8 juta ton sampah.
Baca juga: Darurat Pengelolaan Sampah di Indonesia
Data dari Sistem Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) juga menunjukkan catatan bertambahnya timbulan sampah. Tercatat, timbulan sampah tahunan pada 2022 mencapai 34,9 juta ton dengan rata-rata jumlah sampah harian 95.500 ton. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2019. Pada saat itu, timbulan sampah pada tahun tersebut hanya 29,3 juta ton dengan jumlah sampah yang terkumpul per hari sebesar 80.200 ton.
Kondisi ini menggambarkan penanganan sampah menjadi hal serius untuk segera ditindaklanjuti. Pemerintah pun sebenarnya telah menaruh perhatian pada persoalan itu baik dalam berbagai kebijakan maupun program-program. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Di dalamnya tertuang target cukup tinggi terkait penanganan sampah. Pemerintah menetapkan pada 2025, pengurangan sampah harus mencapai 30 persen dari total timbulan sampah yang dihasilkan pada tahun tersebut. Ini artinya, perlu pengurangan sampah sebanyak 20,9 juta ton. Selain itu, ditetapkan pula target penanganan sampah sebesar 70 persen dari total timbulan sampah atau 49,9 juta ton sampah.
Pengurangan sampah
Target tersebut dilakukan secara bertahap. Pada 2017, pengurangan sampah ditargetkan 15 persen dari total timbulan sampah, sedangkan pengurangan sampah ditargetkan 72 persen. Kemudian pada 2021, target pengurangan sampah meningkat menjadi 24 persen dan penanganan sampah sebesar 74 persen.
Dengan target tersebut, seluruh sampah yang terkumpul harus dikelola supaya tidak menimbun begitu saja. Pengelolaan itu memang dilakukan dengan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah dilakukan dengan membatasi, mendaur ulang, dan memanfaatkan kembali sampah. Sementara penanganan sampah lebih kepada proses pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Target-target tersebut memang cukup sulit untuk dicapai. Sebab, dibutuhkan partisipasi dari masyarakat hingga pihak swasta. Dalam pengurangan sampah misalnya, pemerintah mengupayakan penerapan extended producer responsibility (EPR).
EPR ini ditujukan pada para produsen agar mereka bertanggung jawab pada dampak ke lingkungan dari proses produksi mereka. Para produsen diarahkan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan mulai dari desain produk hingga pembuangan produk oleh konsumen.
Baca juga: Ketika Pandawara Menginisiasi Bersih-bersih Pesisir Lampung
Meski demikian, penerapan EPR ini belum membuahkan hasil yang maksimal. Hingga 2022, hanya 15 badan usaha yang telah menerapkan EPR. Jumlah sampah yang terkurangi baru 1.145,5 ton.
Di tingkat masyarakat, pemerintah menggerakkan bank sampah. Program ini dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat. Selain untuk mengurangi sampah, bank sampah juga bermanfaat untuk menambah nilai ekonomi dari sampah yang terkumpul. Masyarakat juga mendapatkan keuntungan ekonomis dari pengumpulan dan pengolahan sampah.
Berdasarkan lingkup wilayahnya, bank sampah dibagi menjadi dua yaitu Bank Sampah Unit (BSU) dan Bank Sampah Induk (BSI). BSU mencakup wilayah RT,RW, Kelurahan dan kawasan permukiman. Sementara BSI melingkupi wilayah komersial, industri, dan kawasan yang lebih luas.
KLHK mencatat hingga 2021, terdapat 11.556 unit bank sampah yang tersebar di 363 kabupaten/kota. Dari bank sampah itu, ada 419.204 nasabah yang terdaftar di dalamnya. Omzet bulanan yang diterima bank sampah per Juli 2021 mencapai Rp 2,8 miliar.
Sayangnya, banyaknya bank sampah itu hanya berhasil mengurangi sampah sebanyak 2,7 persen dari total timbulan sampah nasional. Angka ini tidak jauh berbeda dari capaian pada 2018 dengan pengurangan sampah sebesar 2,4 persen. Padahal, pada 2018 hanya terdapat 7.488 unit bank sampah dengan 209.144 nasabah. Ini artinya, peningkatan jumlah bank sampah belum memberikan dampak maksimal terhadap pengurangan sampah di Indonesia.
Banyak kendala yang membuat bank sampah ini kurang optimal dalam menangani masalah sampah di Indonesia. Sumber daya dan perhatian untuk mengelola bank sampah ini terbatas. Mayoritas bank sampah masih berada di lingkungan masyarakat kelompok menengah bawah. Itu saja masih didominasi oleh kelompok usia senior.
Selain itu, bank sampah masih berdiri sendiri tanpa memiliki industri sendiri. Akibatnya, penyaluran sampah terhambat dan sporadis. Tidak semua bank sampah terkoneksi langsung dengan pabrik daur ulang. Ini menyebabkan pengumpulan dan penjualan sampah tidak stabil. Apalagi, operasional bank sampah juga membutuhkan biaya yang cukup besar.
Komitmen kuat
Jalan terjal yang harus ditempuh Indonesia dalam pengelolaan sampah ini sebenarnya juga dialami oleh negara-negara lain. Di tingkat dunia, Bank Dunia menyebutkan ada 2,01 miliar ton sampah rumah tangga yang terkumpul per tahunnya.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 33 persennya tidak dikelola dengan baik. Bagi negara-negara dengan luas wilayah terbatas, hal itu menjadi tantangan sendiri. Sebab, Tempat pembuangan akhir (TPA) yang tersedia juga terbatas. Kondisi itu dialami oleh Swiss. Namun, karena keterbatasan itu, Swiss mengupayakan alternatif lain yang menjadi cara optimal untuk mengurangi dan mengelola sampah.
Baca juga: TPA Piyungan Tutup, Pemda DIY Siapkan Lahan Penampungan Sampah Sementara
Warga Swiss bukannya tidak banyak membuang sampah. Justru mereka termasuk produsen sampah tertinggi di antara negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Menurut data OECD, setiap orang di Swiss menghasilkan sekitar 700 kilogram sampah per kapita. Jumlah itu di atas rata-rata produksi sampah per kapita di negara-negara OECD yang sekitar 500 kilogram.
Jumlah sampah yang dihasilkan setiap orang di Swiss juga meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Hanya saja, pengolahan sampah mereka juga meningkat jauh lebih baik. Terbukti, lebih dari separuh rumah tangga telah rutin memisahkan dan mengelompokkan sampah untuk didaur ulang. Kebiasaan itu didorong oleh kebijakan pemerintah sejak 1990 yang menerapkan biaya khusus bagi kantong sampah yang dibuang.
Selain itu, sistem pengumpulan dan pendaurulangan sampah di lingkup kecil rumah tangga juga sudah tersistematis dengan rapi. Setiap kawasan perumahan memiliki titik pengumpulan sampah yang dapat didaur ulang. Fasilitas publik, seperti supermarket dan stasiun kereta, juga melayani pengumpulan plastik, botol, baterai, dan kertas sebagai bahan untuk daur ulang. Semua fasilitas dan layanan untuk daur ulang bisa diakses dengan gratis.
Pengelolaan sampah di Swiss itu menunjukkan bahwa memang butuh kebijakan yang lebih ketat terkait penanganan sampah. Tidak hanya itu, fasilitas dan sistem pengelolaan sampah hingga lingkup terkecil di kawasan permukiman juga perlu menunjang proses pengumpulan dan pengolahan sampah. Dari dua hal itu, kesadaran akan pengelolaan sampah sedikit demi sedikit tertanam di masyarakat. Namun, perlu didukung dengan insentif dan keuntungan baik secara ekonomi dan non ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat.
Meksipun situasi pengelolaan di Indonesia masih terhambat banyak hal, bukan tidak mungkin Indonesia akan bebas dari sampah. Hal ini bukan suatu rencana semata, tetapi benar-benar harus dicapai. Sebab, kondisinya sudah darurat dan tidak dapat ditunda lagi.
EPR dan bank sampah sudah menjadi langkah awal yang baik dalam pengelolaan sampah yang melibatkan pihak swasta dan masyarakat. Ini bisa dioptimalkan lagi sehingga target pengurangan sampah hingga 30 persen dan penanganan sampah 70 persen bisa tercapai. (LITBANG KOMPAS)