Suhu Dunia Mendidih, Mengancam Kehidupan dan Produksi Pangan
Suhu global kembali mencatatkan rekor terpanas pada Juli lalu sehingga memicu fenomena ekstrem yang mengancam keselamatan jiwa dan produksi pangan di beberapa kawasan dunia.
Oleh
Yoesep budianto
·5 menit baca
Suhu global yang kembali mencatatkan rekor terpanas pada Juli lalu memicu fenomena ekstrem di beberapa kawasan dunia. Sebagian besar wilayah utara Amerika, Eropa selatan, dan Asia mengalami panas ekstrem, kebakaran lahan, dan juga kegagalan panen. Seluruh negara harus meningkatkan kewaspadaan karena fenomena ini berpotensi akan terus meluas ke seantero dunia.
Melonjaknya suhu harian permukaan bumi sepanjang Juli 2023 lalu menyebabkan munculnya gelombang panas yang melanda sebagian besar negara-negara di belahan bumi utara . Panas yang ekstrem ini mengakibatkan kerusakan besar pada lingkungan dan dampak kesehatan yang serius bagi tubuh manusia.
Pada 27 Juli lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres mengumumkan bahwa era pemanasan global telah berakhir dan era pendidihan global telah tiba. Ia menegaskan bahwa kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celsius akan sulit ditahan apabila tidak ada aksi radikal semua negara dan lembaga global.
Catatan WMO dan program Copernicus menunjukkan bahwa rata-rata suhu permukaan bumi sepanjang bulan Juli kemarin melonjak tajam. Rata-rata suhu global hampir mencapai 17 derajat Celsius. Angka ini terpaut cukup jauh dengan catatan suhu terpanas sebelumnya, yakni pada Juli 2019 lalu yang berkisar 16,63 derajat celsius.
Data pantauan iklim global menunjukkan bahwa Juli 2023 telah mencatatkan sejumlah fenomena alam yang ekstrem. Melaporkan adanya periode tiga minggu terpanas sepanjang sejarah, rekor tiga hari terpanas (5-7 Juli), dan temperatur suhu lautan tertinggi selama 12 bulan terakhir. WMO memperkirakan intensitas kejadian ekstrem seperti ini akan semakin tinggi. Hampir dapat dipastikan bahwa rekor terpanas suhu global akan tercapai lagi sepanjang 1-5 tahun mendatang.
Lantas, apa dampak terburuknya?. Setidaknya ada empat anomali cuaca dan iklim yang berdampak buruk bagi lingkungan akibat kenaikan suhu global. Terdiri dari gelombang panas, kebakaran hutan, gelombang panas pesisir, dan hujan ekstrem serta banjir. Untuk sementara ini, wilayah yang paling terdampak karena anomali cuaca dan iklim tersebut berada di Amerika bagian utara, Eropa, dan Asia.
Meskipun saat ini belahan utara bumi adalah wilayah paling berbahaya karena pendidihan global, tetapi tidak menutup kemungkinan wilayah lain seperti di ekuator dan belahan selatan pun memiliki risiko yang juga tak kalah besar. Risiko tersebut meliputi kejadian banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, gagal panen, hingga sulitnya akses air bersih.
Gelombang panas
Pertengahan tahun ini diperkirakan akan menjadi musim panas yang sangat terik untuk sebagian besar sisi utara Amerika, Asia, Afrika, dan Eropa. Wilayah tersebut dilanda gelombang panas yang mematikan dengan jumlah kematian mencapai ribuan orang. WMO mencatat wilayah Perancis, Yunani, Italia, Spanyol, Aljazair, dan Tunisia melaporkan rekor suhu ekstrem pada siang dan malam hari, demikian pula wilayah daratan China.
Fenomena gelombang panas di wilayah utara bumi itu sebenarnya tidak lepas dari hubungan antara kondisi daratan es Arktik dengan pola cuaca wilayah subtropis yang berimbas pada dinamika jet stream. Akibatnya, memicu intensitas gelombang panas dan suhu esktrem yang berpotensi merusak metabolisme tubuh manusia.
Akhir Juli 2023 kemarin, laporan suhu daerah Figueres, Spanyol mencapai 45,4 derajat Celsius. Sementara itu, di Pulau Sardinia, Italia mencatat suhu sebesar 48,2 derajat celsius. Negara-negara di kawasan Timur Tengah seperti Aljazair dan Tunisia melaporkan suhu masing-masing sebesar 48,7 derajat celsius dan 49 derajat Celsius.
Untuk daratan Amerika Serikat, gelombang panas melanda di wilayah Phoenix, Arizona dengan lonjakan suhu hingga lebih dari 45 derajat Celsius. Di Asia, lembaga meteorologi China melaporkan lonjakan suhu hingga mencapai 52,2 derajat pada 16 Juli lalu.
Suhu yang lebih dari 40 derajat Celsius tersebut sangat berbahaya karena berpotensi mematikan bagi tubuh manusia. Batasan normal suhu yang dapat ditoleransi manusia adalah tidak lebih dari 35 derajat celsius. Keterpaparan tubuh oleh sinar matahari melalui gelombang panas sangat berisiko mengganggu fungsi organ tubuh manusia.
Beraktivitas di lingkungan yang sangat panas membuat metabolisme tubuh terganggu bahkan memicu stres pada sistem tubuh. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan suhu inti tubuh dan permukaan kulit yang jauh lebih besar. WHO menyebut bahwa gelombang panas dapat menyebabkan tekanan terhadap kesehatan fisik dan mental individu.
Kebakaran
Suhu global yang terus meningkatkan akan menurunkan kadar air di permukaan bumi, termasuk di udara dalam bentuk kelembapan udara dan kelembapan di dalam tanah. Kondisi tersebut mampu memicu kebakaran di lingkungan karena situasi menjadi sangat kering.
Sejumlah bencana kebakaran hutan telah menyebabkan kehancuran bagi lingkungan dan juga menelan korban jiwa. Gelombang evakuasi ribuan orang terjadi di beberapa negara Mediterania, seperti Aljazair, Yunani, Italia, dan Spanyol. Pantauan The Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) mencatat kenaikan emisi karbon yang signifikan dari kebakaran hutan di daratan Eropa selatan.
Salah satu kejadian memilukan pada saat panas ekstrem Juli lalu adalah kebakaran hutan yang hebat di Yunani, tepatnya di pulau Rhodes, Evia, dan Corfu. Kebakaran hutan memaksa evakuasi ratusan penduduk dan wisatawan. Emisi karbon dari kebakaran hutan turut menurunkan kualitas udara setempat. Kebakaran juga terjadi di Aljazair hingga menewaskan sedikitnya 30 orang dan memaksa 1.500 orang mengungsi.
Bencana kekeringan lainnya adalah kebakaran terbesar sepanjang empat dekade terakhir di Kanada akibat kondisi kering dan panas. Total lahan yang terbakar mencapai 10,1 juta hektar, tersebar di sisi barat laut Kanada dan Quebec. Akibatnya, lebih dari 120.000 orang harus mengungsi dan jutaan orang di sisi utara benua Amerika harus menghirup udara yang kotor karena kebakaran.
Gagal panen
Selain gelombang panas dan kebakaran hutan, dampak lain dari tren pemanasan yang memuncak pada Juli 2023 lalu adalah risiko kegagalan panen. Kondisi diproyeksikan akan jauh lebih buruk karena berdasarkan pantauan WMO, anomali atmosfer El Nino akan melanda sebagian besar wilayah di dunia sepanjang periode Juli hingga September 2023.
El Nino merupakan pola iklim yang terkait pemanasan suhu permukaan laut di tengah dan timur Samudera Pasifik. Bagi sebagian wilayah, El Nino menyebabkan kekeringan parah dan berisiko menyebabkan kegagalan panen komoditas tanaman pangan. FAO melihat ancaman lebih parah terhadap ketahanan pangan, sebab kekeringan karena El Nino saat ini diperparah dengan pemanasan global.
Berdasarkan dokumen global information and early warning system on food and agriculture yang dirilis April 2023, FAO menegaskan bahwa kondisi kering karena perubahan iklim dan El Nino sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas tanaman pangan. Wilayah terdampak paling parah adalah Brazil, Afrika Selatan, Thailand, Indonesia, Filipina, dan sisi timur Australia.
Dari tiga jenis komoditas yang diteliti FAO, yaitu jagung, padi, dan gandum, semuanya diproyeksikan mengalami penurunan di era kekeringan tahun 2023. Sebuah studi yang berjudul “Forecasting global crop yields based on El Nino Southern Oscillation early signals” tahun 2023 menyebutkan bahwa El Nino mampu memengaruhi masing-masing produktivitas jagung, padi, dan gandum sebesar 11,8 persen; 13,4 persen; dan 12,8 persen.
Implikasi lanjutan dari penurunan produktivitas lahan pertanian itu adalah risiko kelaparan. Dokumen “The state of food security and nutrition in the world” yang dirilis FAO pada tahun 2023 mencatat sekitar 735 juta orang mengalami kelaparan di seluruh dunia dan sedikitnya 148,1 juta bayi di bawah lima tahun mengalami stunting.