Perdagangan Karbon Mengakselerasi Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca
Perdagangan karbon diharapkan mampu mengakselerasi keterlibatan swasta dalam menerapkan teknologi yang mampu mereduksi emisi karbon pada unit-unit usahanya.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
Dalam memenuhi komitmen Paris Agreement, Pemerintah Indonesia menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengakselerasi capaian target reduksi emisi karbon nasional. Salah satu yang dipacu segera diimplentasikan adalah kebijakan penerapan nilai ekonomi karbon yang diharapkan mampu menarik semua pihak untuk mengurangi emisi karbon dalam aktivitas sehari-hari.
Komitmen Indonesia dalam mereduksi emisi karbon nasional itu tertuang dalam dokumen nationally determined contribution (NDC). NDC merupakan perwujudan upaya setiap negara untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. NDC menjadi pijakan penting bagi setiap negara untuk bersama-sama berkontribusi mereduksi emisi karbon secara global sehingga tercapai net zero emission (NZE) dunia tahun 2050.
Pada rencana NDC pertama periode 2020-2030, Indonesia menargetkan akan mengurangi emisi karbon pada tahun 2030 sebesar 29 persen dari kondisi business as usual (BaU). Apabila Indonesia mendapat dukungan atau bantuan asing dalam upaya mitigasi reduksi emisi karbon tersebut, target NDC-nya meningkat lagi hingga 41 persen dari kondisi BaU. Patokan reduksi dalam NDC itu menggunakan tahun dasar (baseline) 2010 sehingga tren emisi karbon yang dijadikan estimasi BaU bermula dari tahun tersebut.
Dalam skenario NDC itu, ada lima sektor yang akan direduksi emisi karbonnya hingga tahun 2030. Sektor itu terdiri dari energi, limbah, industrial processing and product use (IPPU), pertanian, dan kehutanan. Pada tahun 2030, diperkirakan emisi karbon Indonesia akan mencapai 2.869 juta ton CO2. Emisi ini dihitung secara BaU atau tanpa adanya upaya reduksi emisi karbon. Namun, dengan adanya target NDC, emisi karbon di tahun 2030 ditekan menjadi 2.034 juta ton CO2 atau menyusut sekitar 29 persen dari skenario BaU 2030. Apabila Indonesia mendapat bantuan dari asing secara masif, target NDC Indonesia pada tahun 2030 menyusut lagi menjadi 1.787 juta ton CO2. Angka ini berkurang sekitar 41 persen dari skenario BaU 2030 yang mencapai 2.869 juta ton CO2.
Hanya saja, target NDC pertama itu tampaknya kurang ambisius karena diperkirakan masih mendorong peningkatan suhu global mendekati 2 derajat celsius dari tingkat pra-industrialisasi. Padahal, dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) menyebutkan tentang upaya membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celsius. Realisasi target ini akan berdampak signifikan untuk mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, pada tahun 2022, target NDC Indonesia ditingkatkan lagi agar lebih ambisius dalam mereduksi emisi gas rumah kaca (GRK) lebih besar lagi. Target NDC dengan usaha sendiri tanpa bantuan asing dari 29 persen meningkat menjadi 31,89 persen pada tahun 2030. Demikian juga, NDC dengan kolaborasi sumbangsih dari asing ditargetkan naik dari 41 persen menjadi 43,2 persen. Dengan target baru tersebut, NDC tanpa bantuan asing diskenariokan susut menjadi 1.953 juta ton CO2 dari baseline BaU emisi GRK tahun 2010. Untuk NDC dengan bantuan asing, akan berkurang lebih banyak lagi menjadi 1.632 juta ton CO2.
Dengan enhanced NDC tersebut, diharapkan skenario membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dapat tercapai. Dengan demikian, karbon netral Indonesia yang ditargetkan baru tercapai pada tahun 2060 dapat dipercepat realisasinya. Akselerasi kontribusi ini tentu saja kian memuluskan rencana global untuk mencapai NZE pada tahun 2050.
Ekonomi karbon
Untuk mengakselerasi capaian skenario NDC tersebut tidaklah mudah. Membutuhkan alokasi dana yang tidak sedikit dan juga penerapan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan. Dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka perlu dukungan dari berbagai pihak untuk merealisasikan komitmen global itu. Salah satu yang dilakukan pemerintah untuk menarik dukungan berbagai pihak ini pemerintah mengeluarkan sejumlah regulasi yang menguntungkan bagi para pelaku mitigasi emisi karbon.
Aturan tersebut di antaranya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Selain itu, ada pula Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Kedua regulasi itu terkait erat dengan tata niaga perdagangan karbon berbasis mekanisme pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui jual-beli unit karbon. Dengan regulasi itu, diharapkan upaya reduksi emisi karbon berjalan lebih akseleratif. Semua entitas yang menghasilkan emisi GRK dapat berperan aktif untuk melakukan sejumlah rekayasa baik secara teknis maupun nonteknis guna menekan emisi karbon di lingkungan usahanya.
Dengan mekanisme jual-beli karbon itu, akan mendorong setiap entitas usaha mereduksi GRK sebesar-besarnya di bawah kuota karbon yang ditetapkan pemerintah. Tujuannya, untuk dijual kepada entitas usaha lainnya yang masih belum efektif menekan emisi GRK sehingga penjual karbon akan mendapatkan keuntungan secara finansial. Di sisi lainnya, entitas yang membeli offset karbon ini memiliki pengimbang buangan emisi GRK-nya menjadi tidak melebihi kuota atau batas emisi GRK yang telah ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, entitas usaha atau industri yang belum berhasil menurunkan emisi karbon itu menjadi terbebas dari sanksi atau denda akibat emisi GRK yang melebihi ketetapan ambang batas.
Tentu untuk mengimplentasikan kebijakan tersebut dilakukan sejumlah tahapan terlebih dahulu. Tahapan itu di antaranya adanya Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang bertugas mengelola, menyediakan data, dan informasi tentang aksi mitigasi, adaptasi, serta nilai ekonomi karbon. Data emisi GRK itu diinventarisasi untuk melihat perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai sumber emisi dan penyerapannya. Serapan GRK ini dapat terjadi secara alamiah ataupun menggunakan rekayasa teknologi.
Setap entitas yang mampu mengurangi atau menyerap emisi karbon dapat memiliki Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPE GRK) di mana sertifikat ini keluar setelah melalui tahapan pelaporan, pengukuran, dan verifikasi yang tercatat dalam SRN PPI. SPE GRK ini keluar setelah pelaku usaha memperoleh Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim (DRAM).
Dokumen itu salah satunya memuat tentang Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) yang menetapkan tentang kuota emisi GRK pada periode tertentu. Dengan ketentuan ini, maka dapat terlihat entitas bersangkutan emisi karbonnya tereduksi atau terlampaui. Jika tereduksi atau masih menyisakan kuota, dapat memperoleh SPE GRK yang bernilai ekonomi sebagai karbon offset.
Sebaliknya, bagi unit-unit usaha yang melewati batas emisi GRK dapat menjual unit karbonnya pada bursa perdagangan. Sama seperti serapan GRK, unit karbon yang diperdagangkan juga termonitor dalam SRN PPI yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat yang dinyatakan dalam unit 1 ton karbon dioksida.
SPE GRK dan sertifikat karbon itu dapat diperdagangkan. Pihak yang melebihi ambang batas emisi GRK akan menukarkan sertifikatnya dengan membayar kepada pihak yang memiliki SPE GRK sebanyak sertifikat karbon yang ingin ditukarkan.
Pemerintah berupaya mengimplementasikan kebijakan tersebut secepat mungkin dengan terus mengupayakan sistematika yang transparan dan terukur. Bahkan, pemerintah juga mengupayakan perdagangan karbon dapat berlaku secara global sehingga perlu verifikasi dan metodologi pengukuran yang diakui oleh dunia internasional.
Langkah tersebut diharapkan mampu mengakselerasi keterlibatan swasta dalam menerapkan teknologi yang mampu mereduksi emisi karbon pada unit-unit usahanya. Selain itu, juga membuka peluang kerja sama investasi dengan asing guna mengaplikasikan teknologi dalam mereduksi emisi karbon dalam proses industrialisasi. Dengan aplikasi teknologi dan ilmu pengetahuan yang mumpuni, maka reduksi emisi GRK yang dilakukan akan kembali lagi menjadi sebuah revenue yang miliki nilai ekonomi yang tinggi. (LITBANG KOMPAS)