Minat kaum muda untuk berorganisasi politik ini juga cenderung sama. Minat untuk aktif sebagai pengurus partai, baik di kelompok usia 23 tahun ke bawah dan 24-40 tahun tak sampai 5 persen. Sementara, sebagian besar dari yang tertarik untuk masuk ke organisasi politik hanya mau berperan sebagai anggota atau bahkan simpatisan saja.
Kaum muda cenderung tidak tertarik masuk partai politik.
Lesunya minat untuk berpartai ini sejalan dengan rendahnya keinginan golongan muda untuk aktif berpolitik praktis. Mayoritas responden muda masih mengaku tak tertarik untuk mencalonkan diri di pemilu legislatif.
Di kategori umur 23 tahun ke bawah, hanya 14 persen yang tertarik untuk jadi calon anggota legislatif di pemilu. Sementara di usia yang sedikit lebih dewasa, niatan untuk berkontestasi di pemilu legislatif, angkanya justru menurun sampai 11 persen.
Selaras, kontestasi di ruang eksekutif juga tampak kurang diminati oleh para pemuda. Hanya ada 15 persen dari masyarakat berusia 23 tahun ke bawah yang tertarik maju menjadi calon kepala daerah. Minat kelompok 24-40 tahun untuk berkontestasi di pilkada bahkan lebih rendah di kisaran 10 persen.
Biaya politik
Hasil survei juga menunjukkan, ada tiga faktor yang paling banyak melatarbelakangi keengganan pemuda untuk terjun ke dunia politik. Faktor pertama yang paling dominan ialah perasaan inferior dalam hal politik.
Seperempat dari responden muda menyatakan enggan berpolitik karena merasa tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan seorang politisi.
Alasan kedua yang cukup menonjol adalah soal keterbatasan biaya. Berdasarkan survei Kompas, 8 persen dari responden muda mengaku urung untuk berpolitik karena merasa tak mampu menyediakan biaya yang dibutuhkan.
Ketakutan ini bukanlah tak berdasar. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyampaikan, biaya politik jadi beban berat yang harus ditanggung para kandidat ketika berkontestasi di pemilu. ”Politik kita memang mahal, bahkan untuk hal dasar seperti kebutuhan logistik kampanye,” ujar Titi saat diskusi bersama Litbang Kompas di Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Tak ayal, aturan main yang adil dan transparan terkait pembiayaan politik dibutuhkan agar kontestasi menjadi lebih adil bagi para politisi muda. Politisi muda Partai Solidaritas Indonesia yang saat ini juga aktif sebagai Staf Khusus Kementerian Sekretariat Negara Faldo Maldini pun menyampaikan pentingnya regulasi soal pembiayaan politik ini.
”Seperti di sepak bola, perlu ada financial fair play di politik Indonesia. Ketika pengeluaran maksimal kampanye dibatasi, politisi muda akan bisa punya kesempatan bersaing,” kata Faldo saat diwawancara di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Selain itu, alasan lain yang membuat generasi muda enggan masuk berpolitik adalah buruknya citra politik. Hampir 8 persen dari responden pemilih mula di survei Litbang Kompas menyatakan ketidakpercayaannya kepada politik di Indonesia. Sentimen negatif ini pun turut dirasakan oleh 6 persen dari responden muda di rentang usia 24-40 tahun.
Buruknya citra politik ini diamini oleh Daniel Gilrandy, seorang pekerja yang sedang menempuh kuliah pascasarjana di Jakarta. Daniel, yang ditemui pada Kamis (13/7/2023), mengungkapkan, maraknya kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh politisi membuat anak muda menjaga jarak terhadap dunia politik praktis.
Munculnya sentimen negatif terhadap politik di mata kaum muda ini bukanlah fenomena yang baru. Research Fellow di Institute for Advanced Research Unika Atma Jaya Jakarta, Yoes Kenawas, mengungkapkan, persepsi negatif ini terbangun sejak era pemerintahan Soeharto.
”Selama masa Orde Baru, terjadi depolitisasi sehingga masyarakat menjadi berjarak dengan politik. Politik menjadi hal tabu yang sebaiknya dihindari,” jelasnya melalui wawancara daring, Jumat (30/6/2023).
Optimisme publik
Namun, di tengah rendahnya minat untuk masuk ke dunia politik, masyarakat sebetulnya menyimpan harapan yang besar pada generasi muda untuk mau terjun ke gelanggang politik. Besarnya harapan ini tecermin dari besarnya minat publik untuk memilih caleg berusia muda.
Hasil survei Kompas menunjukkan, mayoritas publik akan lebih memilih calon legislatif yang berusia muda dibandingkan yang berusia tua.
Pada kalangan responden berusia 23 tahun ke bawah, tak kurang ada 57 persen responden yang menyatakan simpatinya terhadap caleg muda. Selaras, responden berusia 24-40 tahun juga cenderung lebih banyak yang ingin memilih caleg berusia muda (48,5 persen).
Besarnya harapan terhadap caleg muda ini tidak hanya diamini oleh kalangan seumurnya saja. Survei menunjukkan, sebagian besar warga di rentang usia yang sudah cukup matang, kisaran 40-60 tahun, lebih ingin memberikan suaranya ke caleg muda di bilik suara. Bahkan, persentase generasi tua, di atas 60 tahun, yang setuju untuk memberikan kesempatan bagi caleg muda pun cukup besar di angka 36 persen.
Namun, optimisme ini hanya akan jadi asa belaka tanpa adanya dukungan bagi pemuda untuk bisa bersaing di gelanggang politik.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyampaikan, pemerintah perlu memikirkan cara untuk meningkatkan kapasitas pemuda untuk bisa aktif di ruang politik. ”Kita harus bisa membekali generasi muda untuk mampu bersaing,” ungkap Bahtiar saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (26/6/2023).
Pada akhirnya, optimisme pada kaum muda berkelindan dengan tantangan mereka untuk berpolitik. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa ini untuk menemukan formula terbaik.
Harapannya, regenerasi politik bangsa ini berjalan elegan tanpa melupakan keberadaan kaum muda sebagai penerus masa depan politik Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Politik Anak Muda, Mau Kemana?